kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,65   -11,86   -1.27%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menanti Digitalisasi Layanan Publik


Rabu, 23 September 2020 / 06:51 WIB
Menanti Digitalisasi Layanan Publik
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Transformasi digital sejak awal tahun 2000-an membuat dunia berubah begitu cepat. Apabila ingin tetap relevan dengan perubahan ini, seluruh sektor dituntut untuk menyesuaikan diri, termasuk sektor layanan publik. Terlebih, pandemi Covid-19 memaksa setiap orang beralih dari pelayanan dan kehidupan konvensional menjadi lebih digital.

Sebenarnya, lembaga publik sudah mulai mengadopsi kemajuan teknologi dalam mendukung pelaksanaan layanan publik jauh sebelum pandemi. Berdasarkan riset INDEF dan PricewaterhouseCoopers (PwC) bersama dengan Facebook Indonesia pada 2019 terhadap 410 lembaga pemerintahan di 15 kota di Indonesia, 75% aparatur sipil negara yang disurvei sudah menggunakan aplikasi Facebook untuk memberikan informasi ke masyarakat mengenai kebijakan-kebijakan baru.

Selain itu, implementasi teknologi juga tercermin dari pelaksanaan e-Procurement, atau sistem elektronik Imigrasi. Tapi, tidak dapat dipungkiri proses digitalisasi layanan publik masih belum optimal, terlebih bila dibandingkan dengan sejumlah dunia usaha sadar bahwa inisiasi digital menjadi salah satu faktor penting yang menentukan eksistensi dan kelangsungan usaha mereka.

Berbagai payung hukum sudah diterbitkan agar digitalisasi pelayanan publik di Indonesia bisa diimplementasikan secara optimal. Ada Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-Government, UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik; Lalu Peraturan Presiden (Perpres) No 81 / 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi Nasional, hingga Perpres No. 95 tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik.

Kerangka regulasi ini disusun agar dapat menghasilkan revolusi pelayanan publik modern yang mampu menjadi solusi kualitas performa birokrasi dalam melayani masyarakat. Sayangnya upaya 20 tahun ini belum memiliki dampak signifikan dalam mengubah cara hidup bermasyarakat dan bernegara. Tidak hanya tertinggal dari sektor swasta, tetapi juga timpang baik antar wilayah maupun antar lembaga.

Pemerintah harus banyak berkaca dari reformasi digital yang dilakukan sektor swasta agar tidak kehilangan eksistensi dan kepercayaan publik. Perusahaan-perusahaan rintisan yang muncul beberapa tahun belakangan mampu melakukan perubahan digital sangat cepat tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan tetapi juga menyelesaikan permasalahan yang ada di masyarakat.

Tiga prinsip

Setidaknya terdapat tiga prinsip transformasi digital yang oleh sektor swasta yang bisa diadopsi oleh pemerintah dalam mengakselerasi digitalisasi layanan publik.

Pertama, reformasi digital pelayanan publik harus berangkat dari prinsip pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam rangka terciptanya kepercayaan (public trust) pada pemerintah. Dalam konteks ini, kepercayaan publik tentu tidak bisa didefinisikan hanya sebatas masyarakat masih menggunakan layanan publik mengingat layanan publik bersifat monopolistik dan tidak ada persaingan.

Oleh sebab itu, digitalisasi layanan publik harus berorientasi menemukan lebih banyak masalah lalu menghadirkan solusi sistemik yang mengubah tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Reformasi digital sektor pelayanan publik seharusnya membantu pemerintah lebih memahami permasalahan yang dihadapi masyarakat sehingga kebijakan yang dihasilkan menyelesaikan permasalahan tersebut.

Keberadaan sosial media termasuk aplikasi-aplikasi Facebook dapat membantu lembaga publik memahami permasalahan yang dihadapi masyarakat. Survei INDEF dan PricewaterhouseCoopers (PwC) bersama dengan Facebook Indonesia menunjukkan 86% lembaga publik menggunakan aplikasi Facebook untuk memahami perkembangan isu di masyarakat. Selain itu, 80% responden lembaga publik menggunakan Facebook untuk meminta umpan balik masyarakat atau mendorong masyarakat untuk bertanya.

Kondisi ini sebenarnya sudah menjadi modal dalam upaya akselerasi digitalisasi layanan publik. Ke depan, proses digitalisasi layanan publik perlu diperkuat dengan berorientasi pada masyarakat (publik centric) agar digitalisasi yang dilakukan oleh pemerintah tepat sasaran dan tepat guna sesuai kebutuhan.

Kedua, kolaborasi untuk menyelesaikan permasalahan bersama. Sangat umum bagi perusahaan rintisan teknologi untuk berkolaborasi dan melakukan transfer pengetahuan guna mengatasi permasalahan yang dihadapi saat ini. Pentingnya kolaborasi seharusnya diadopsi lembaga publik karena permasalahan publik terlalu luas untuk diselesaikan sendiri.

Banyak model yang bisa diterapkan pemerintah untuk mendorong kolaborasi yang efektif. Salah satunya melakukan Innovation Procurement berkesinambungan.

Pemerintah harus aktif dan terbuka mendorong publik secara profesional menghadirkan solusi untuk mentransformasi layanan pemerintah. Hal ini bisa dilakukan dengan model pre-commercial procurement (PCP) ataupun Public Procurement of Innovative solutions (PPI).

Pengadaan solusi layanan publik inovatif dilakukan dengan fleksibel di mana pemerintah hanya memberikan gambaran permasalahan besar, lalu publik ataupun industri telekomunikasi informasi secara leluasa mengusulkan terobosan inovasi layanan publik.

Pemerintah juga bisa aktif mengakuisisi perusahaan-perusahaan rintisan yang bergerak di layanan publik untuk menjadi bagian dari pemerintah. Model innovation procurement ini dilakukan secara aktif oleh banyak negara di Eropa dan juga di Asia seperti Korea Selatan dan Singapura.

Ketiga, integrasi dan pengambilan keputusan berdasarkan data. Pada industri digital, data diperlakukan secara efektif dan efisien. Industri digital menjadikan data sebagai komponen utama dalam proses bisnis, dibuat terintegrasi, dan dapat digunakan untuk proses analisis dan pengembangan produk serta layanan.

Pemerintah sudah pasti memiliki seri data yang melimpah terkait dengan kependudukan, ekonomi, hingga pertahanan dan keamanan. Bedanya, apakah data itu terintegrasi dan digunakan secara efektif dalam kebijakan. Kita bahkan sering bertanya apa yang elektronik dari e-KTP karena sangat jauh fungsinya jika dibandingkan dengan digital identity dan digital signature yang telah digunakan Estonia sejak 2002.

Integrasi data juga harus diikuti dengan perlindungan data dan privasi. Saat ini kerangka hukumnya belum kuat sehingga rentan terhadap kejahatan siber. DPR dan pemerintah perlu menggarap undang-undang (UU) tersendiri yang mengatur mengenai perlindungan data pribadi dan privasi.

Pandemi Covid-19 mengajarkan kita tentang pentingnya peran pemerintah. Pada kondisi yang serba tidak pasti, masyarakat sangat bergantung kepada pemerintah. Pandemi juga memaksa kita mengakui bahwa transformasi digital layanan publik masih tertinggal sangat jauh. Paling sederhananya kita masih menyaksikan antrean layanan publik di tengah imbauan untuk menjaga jarak dan protokol kesehatan.

Penulis : Hanif Muhammad

Kepala Pusat Kajian Inovasi dan Ekonomi Digital INDEF

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×