kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45908,33   -18,40   -1.99%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menanti Efek PSBB


Rabu, 08 April 2020 / 10:16 WIB
Menanti Efek PSBB
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bisa sedikit bernapas lega. Setelah usulan lockdown Jakarta ditolak mentah-mentah oleh Presiden Joko Widodo, Anies mengantongi izin untuk menetapkan status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dari Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Anies sudah mengajukan PSBB ini sejak tanggal 1 April 2020 lalu.

Ditetapkan Jakarta di bawah status PSBB patut diapresiasi. Sebab, jumlah kasus terinfeksi korona di Jakarta saja hingga Selasa (7/4/2020) sore sudah mencapai 1.369 kasus. Ini menjadikan Jakarta sebagai provinsi dengan kasus infeksi tertinggi di Indonesia, sehingga perlu PSBB.

Mari kita tengok Singapura. Negeri Merlion ini mengalami perbedaan mencolok hanya dalam kurun waktu sebulan. Pada awal Maret, Singapura hanya memiliki 100 lebih kasus infeksi virus korona. Tak heran, banyak negara menjadikan Singapura sebagai inspirasi dalam penanganannya atas wabah korona. Apalagi, pada saat itu, Singapura tetap membuka sekolah dan mal.

Namun, per tanggal 1 April, Singapura mencatatkan kasus yang melewati level psikologis signifikan di mana korban yang terinfeksi mencapai 1.000 kasus lebih. Singapura rupanya luput dengan adanya serangan gelombang kedua virus korona. Sebagian besar dari gelombang infeksi kedua melibatkan penduduk Singapura yang kembali dari negara-negara seperti Amerika Serikat dan Inggris.

Yang lebih mengkhawatirkan Singapura, gelombang kedua juga mencakup peningkatan jumlah infeksi yang ditularkan secara lokal dan kasus-kasus yang tak bisa dilacak. Barulah sejak saat itu, Singapura memberlakukan kebijakan menjaga jarak fisik yang lebih ketat.

Melarang masuknya semua pelancong, menutup bar dan tempat hiburan malam, membatasi pertemuan hingga 10 orang dan memberlakukan hukuman bagi individu dan restoran yang gagal membuat pelanggannya terpisah jarak satu meter. Tak hanya itu, warga didesak untuk tinggal di rumah dan pergi hanya untuk mendapatkan barang-barang kebutuhan pokok.

Dari Singapura, kita bisa belajar. Menjaga jarak tidak lah cukup. Tinggal di rumah menjadi satu-satunya jalan untuk memutus rantai penyebaran korona. Agar warga mau tinggal di rumah, harus ada penegakan hukum dari pemerintah. Di sisi lain, warga mau tinggal di rumah jika kebutuhannya tercukupi. Persoalan ini bisa diibaratkan sebagai lingkaran setan yang tak berujung. Bagaimana nasib Jakarta?

Penulis : Barratut Taqiyyah Rafie

Redaktur Pelaksana

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×