kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.333.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menanti efek racikan jamu moneter BI


Senin, 30 Juli 2018 / 14:26 WIB
Menanti efek racikan jamu moneter BI


Reporter: Khomarul Hidayat | Editor: Tri Adi

Selepas dilantik menjadi Gubernur Bank Indonesia (BI) pada dua bulan lalu, Perry Warjiyo langsung menghadapi kondisi pasar keuangan yang tak mengenakkan. Kurs rupiah melorot hingga menembus level Rp 14.000, juga tekanan capital outflow akibat  normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat dan naiknya imbal hasil obligasi  Pemerintah AS, US Treasury.

Ibarat lagi meriang, pasar keuangan sedang butuh obat penurun panas agar makin tenang. Sebagai Gubernur BI baru, tentu Perry sudah memilik resep untuk mengobati gejolak di pasar keuangan.

Dalam beberapa kali kesempatan, Perry selalu menyebut sudah menyiapkan ramuan jamu pahit dan jamu manis untuk menstabilkan moneter. Ramuan jamu pahit menjadi pilihan pertamanya untuk mengatasi rupiah.

Jamu pahit itu berupa kenaikan suku bunga. Sepekan setelah Perry resmi menjadi  gubernur bank sentral, atau tepatnya pada 30 Mei 2018, BI menaikkan suku bunga acuan BI 7-Day  Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin.

Rupanya dosis itu belum cukup menenangkan pasar. Bulan berikutnya, BI mengatrol lagi  bunga dengan dosis lebih besar yakni 50 basis poin menjadi 5,25%. Total dalam dua  bulan, BI menaikkan bunga 75 basis poin dan sepanjang tahun ini sudah 100 basis poin.

Naiknya bunga acuan BI memang jamu pahit bagi perekonomian. Kenaikan bunga BI menambah tekanan berat pada pencapaian target pertumbuhan ekonomi tahun ini yang sebesar 5,4%. Beberapa proyeksi terakhir menyebut ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh 5,1%–5,2% di tahun ini.

Sekalipun menyodorkan jamu pahit, BI juga mengombinasikan dengan resep jamu manis berupa pelonggaran rasio pembiayaan bank atau loan to value (LTV) kredit properti. Harapannya relaksasi ini bisa mendorong sektor perumahan. Sektor ini termasuk pendorong perekonomian karena bisa menggerakkan  170 sektor lain yang berkaitan dengan perumahan.

Persoalannya, bunga BI yang sudah naik 75 basis poin ternyata belum cukup manjur juga menahan tekanan rupiah. Nilai tukar rupiah malah sempat menyenggol Rp 14.500-an

Untungnya BI tak menaikkan lagi dosis jamu pahitnya lagi di bulan ini. BI lebih memilih mengeluarkan racikan jamu manis. Yakni menghidupkan lagi lelang Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tenor sembilan bulan dan SBI tenor 12 bulan untuk menjaring dana-dana asing masuk ke pasar keuangan lagi.

Pilihan menahan kenaikan bunga ini lebih masuk akal. Toh, dua bulan berturut bunga BI naik, rupiah juga tak beranjak jauh dari Rp 14.400 per dollar AS. Mengatrol bunga malah akan membuat pasar berekspektasi lebih tinggi lagi pada BI. Padahal, The Federal Reserve sudah menyiratkan akan menaikkan bunganya dua kali lagi di tahun ini.

Lagi pula menyedot arus modal asing asing tak melulu dengan bermodal pemanis bunga tinggi. Instrumen investasi yang lebih bervariasi lagi aman pun bisa menjadi sarana menjaring dana-dana asing jangka pendek alias hot money.

Memang ke ekonomi riil, arus hot money tak bermanfaat langsung. Namun, inflow ini dibutuhkan untuk membantu menstabilkan rupiah sekarang. Derasnya aliran modal asing menandakan kepercayaan investor asing yang tinggi terhadap fundamental ekonomi Indonesia.

Nah, modal kepercayaan ini penting untuk menjaga citra Indonesia di mata investor, lembaga pemeringkat maupun lembaga keuangan internasional.  Mudah-mudahan saja racikan jamu BI ini lebih mustajab dan yang lebih penting BI masih belum kehabisan jamu-jamu manis lain untuk membantu menstimulus ekonomi.•                              

Khomarul Hidayat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×