kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menanti green index di Bursa Efek Indonesia


Rabu, 19 Juni 2019 / 16:34 WIB
Menanti green index di Bursa Efek Indonesia


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Tingginya kebutuhan masyarakat terhadap jenis investasi ramah lingkungan (green investment) di lantai bursa, menarik minat Bursa Efek Indonesia (BEI) menerbitkan indeks hijau atau green index (GI). Bekerjasama dengan Yayasan Kehati, penyelenggara bursa efek itu menargetkan indeks tersebut meluncur pada akhir tahun ini.

Perkembangan ekonomi yang cepat dengan adopsi teknologi super canggih menuntut pelaku ekonomi perlu memperhatikan keberlanjutan lingkungan atau environmental sustainability. Kita selama ini terjebak dalam trade off investasi, antara pertumbuhan dan keberlanjutan lingkungan. Memacu investasi, ibarat ikut memacu kerusakan lingkungan. Faktanya, berapa banyak lingkungan yang telah terdegradasi akibat investasi di sektor pertambangan batu bara, yang booming sebagai sumber energi murah dalam lima dekade terakhir.

Persoalan trade off investasi ini di Indonesia sangat banyak. Rezim pertumbuhan yang diadopsi oleh sistem perekonomian di Tanah Air dalam dua dekade terakhir, telah menjadi pemicu kerusakan lingkungan. Memang, ekonomi bisa meroket dengan masuknya investasi, yang faktanya kita bisa tumbuh 4%–6% per tahun. Meski pun demikian, kerugian akibat lingkungan yang rusak sangat tidak terhitung nilainya.

Faktanya demikian. Misalnya, investasi di sektor perkebunan sawit dan kehutanan yang menjadi primadona ekonomi, bertumbuh sangat tinggi. Meski demikian, kerusakan hutan pun luar biasa luasnya. Laju deforestasi dari hutan tropis di Nusantara adalah yang terluas di dunia.

Bencana kebakaran hutan dan lahan silih berganti terjadi, yang menyebabkan kerugian ekonomi yang besar. Sayangnya, deplesi lingkungan belum masuk dalam perhitungan neraca ekonomi. Padahal, menurut Bank Dunia, bencana kebakaran hutan dan lahan 2015 menimbulkan kerugian Rp 221 triliun, setara 2% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Kebutuhan investasi yang ramah lingkungan mendesak dilakukan. Mengejar pertumbuhan tinggi boleh saja, namun tak harus mengabaikan lingkungan. Pertumbuhan dan keberlanjutan lingkungan bisa sejalan, bila rancangan pertumbuhan itu pro pada lingkungan (green growth).

Caranya, perlu mendorong potensi-potensi ekonomi yang ramah lingkungan, seperti energi terbarukan, transportasi ramah lingkungan, green infrastructure, ekowisata dan sebagainya.

Potensi itu sudah mulai dikembangkan di Indonesia. Meski perlu dukungan kebijakan dari pemerintah dalam mendorong daya saing. Misalnya, kita sudah memiliki komitmen untuk pengembangan energi terbarukan yang ramah lingkungan dengan target 23% dalam bauran energi nasional pada 2025. Selanjutnya, pengembangan biodiesel juga sangat cepat dan diproyeksikan semakin meningkat. Begitu juga perubahan sistem transportasi yang ramah lingkungan (green transportation) sudah mulai dirancang. Dan berbagai proyek infrastruktur hijau atau green infrastructure terus dipacu. Semua butuh kanal investasi.

Desain indeks
 

Sudah tepat momentumnya BEI meluncurkan GI. Investor bisa mendapatkan rujukan dari indeks tersebut untuk berinvestasi di pasar modal. Para investor terutama investor asing, seperti Amerika Serikat (AS) dan Jepang memiliki minat yang tinggi terhadap investasi hijau. Mereka akan melirik ini sebagai tujuan investasinya.

Untuk itu, desain indeks ini harus benar-benar profesional, mencerminkan potensi yang besar dan sesuai dengan faktanya. Bekerjasama dengan Yayasan Kehati sangat tepat. Karena, sejak 2009, mereka sudah meluncurkan Sustainable and Responsible Investment (SRI-Kehati), yang merupakan indeks saham di BEI yang mengacu pada kinerja keuangan, tata kelola sosial, dan tata kelola lingkungan. SRI-Kehati masuk kategori GI dan pelopor investasi hijau pertama di bursa efek di Asia Tenggara.

Desain indeks nantinya harus mengacu kepada environmental social governance (ESG). Ada beberapa indikator yang penulis usulkan untuk menjadi penilaian, seperti pengelolaan lingkungan, keterlibatan masyarakat, etika bisnis dan komitmen terhadap anti-korupsi, penegakan hak asasi manusia (HAM), pengelolaan sumber daya manusia yang baik, dan manajemen perusahaan.

Indikator ini harus dirumuskan secara terukur dan melibatkan tim ahli yang terdiri dari akademisi, pelaku usaha di bursa efek, pemerhati lingkungan, dan pemerhati sosial. Penilaian harus dilakukan oleh tim independen dan semua proses harus transparan.

Meski demikian, ada beberapa tantangan dalam penerapan GI di Indonesia. Pertama, seringkali penilaian terhadap kinerja lingkungan tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Kita memiliki banyak fakta soal itu. Misalnya, pelaksanaan sistem sertifikasi seperti Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), banyak perusahaan yang memiliki sertifikasi, tapi tidak memenuhi kriteria. Misalnya seperti masih beroperasi dalam kawasan hutan, atau melakukan pembalakan hutan, dan pelanggaran kasus lingkungan lainnya.

Penulis juga menemukan beberapa emiten yang tergabung dalam Indeks SRI-Kehati yang bermasalah dalam pengelolaan lingkungan, sosial, dan pelanggaran HAM, seperti perusahaan sawit dan pertambangan. Padahal, indikatornya sangat jelas mengeliminasi perusahaan seperti itu. Artinya, ada persoalan penilaian yang kurang baik terhadap emiten.

Kedua, persoalan transparansi. Kita memiliki pengalaman yang buruk soal transparansi penilaian kinerja lingkungan dan sosial perusahaan. Mulai dari proses membangun indikator, penilaian sampai pascapenilaian tidak terbuka ke publik. Hal ini membuat partisipasi publik sangat terbatas.

Padahal, pengawasan oleh publik merupakan salah satu kunci dalam tata kelola yang baik. Misalnya, itu terjadi pada Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (Proper) yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Kita berharap, pengalaman yang kurang baik terhadap penilaian kinerja lingkungan dan sosial tak terjadi dalam pelaksanaan GI. Oleh karena itu, Bursa Efek Indonesia (BEI) perlu membangun tim independen yang memiliki pengalaman dalam merumuskan indeks berbasis ESG. Selain itu, tim ini juga harus memiliki integritas tinggi.

Selanjutnya, indikator GI harus mampu mencerminkan kondisi riil tata kelola ESG oleh emiten dengan indikator yang terukur. Tak ada lagi emiten yang lolos penilaian dan sudah tergabung ke dalam GI, ternyata di lapangan, praktik bisnisnya justru tidak sesuai dengan indikator GI. Oleh karena itu, publik perlu diberikan ruang yang luas dalam proses penilaian dan pengawasannya. Tak mungkin, hanya diserahkan kepada tim penilai dan BEI semata.

Pada akhirnya, kita perlu mengapresiasi niat BEI meluncurkan GI. Sudah saatnya, Indonesia memiliki komunitas bisnis yang ramah lingkungan dan sosial. Apalagi, kita didukung oleh potensi yang besar dan masyarakat yang mulai menyadari pentingnya bisnis yang ramah lingkungan.

Wiko Saputra
Peneliti Kebijakan Ekonomi, Yayasan Auriga Nusantara

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×