kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.310.000   -177.000   -7,12%
  • USD/IDR 16.625   15,00   0,09%
  • IDX 8.168   -69,68   -0,85%
  • KOMPAS100 1.131   -13,70   -1,20%
  • LQ45 810   -10,28   -1,25%
  • ISSI 288   -2,01   -0,69%
  • IDX30 424   -4,58   -1,07%
  • IDXHIDIV20 483   -4,10   -0,84%
  • IDX80 125   -1,41   -1,11%
  • IDXV30 135   0,28   0,21%
  • IDXQ30 135   -1,38   -1,02%

Menatap Era Relaksasi Industri


Senin, 12 April 2021 / 10:32 WIB
Menatap Era Relaksasi Industri
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Lebih setahun pandemi Covid-19 telah menghinggapi kehidupan kita, dan entah kapan akan berakhir. Hampir seluruh tatanan sosial dan ekonomi, termasuk kalangan industri di Indonesia, turut berubah. Ada yang mampu bertahan, meskipun tak sedikit yang porak poranda.

Memang, harapan akan kebangkitan ekonomi nasional mulai tumbuh seiring masuknya Indonesia pada era vaksinasi massal. Kini, pemerintah dan berbagai kalangan terkait tengah berupaya turut serta mempercepat proses vaksinasi masyarakat. Tujuan utamanya hanya satu: membawa bangsa Indonesia dan segenap elemennya pada pemulihan.

Lantas, bagaimana dengan situasi industri hari-hari ini? Secara umum, kondisi pelaku usaha dan industri masih berada dalam tekanan hebat. Hantaman yang terjadi lebih dari setahun belum membuat industri pulih sepenuhnya. Apalagi, berbagai risiko dan ketidakpastian hingga saat ini masih membayangi pelaku usaha.

Maka tak heran, jika pemerintah terus berupaya memberikan penguatan kepada industri utamanya sektor usaha yang menyerap tenaga kerja besar. Tentu ini bukan tanpa sebab. Ancaman pengangguran dan kemiskinan sudah di depan mata saat industri terpaksa harus mengurangi karyawan demi bisa bertahan.

Langkah pemerintah untuk menggelontorkan berbagai jenis insentif, baik fiskal maupun non-fiskal untuk industri patut mendapatkan apresiasi. Sebut saja yang terbaru adalah insentif fiskal terkait dengan perluasan relaksasi pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) di sektor otomotif yang berlaku mulai 1 April 2021. Ada pula insentif berupa pajak pertambahan nilai (PPN) ditanggung oleh pemerintah untuk pembelian rumah.

Selain kebijakan fiskal, pemerintah juga berjanji akan mereformasi pendekatan pemulihan izin usaha dari sebelumnya yang berbasis perizinan menjadi berbasis risiko. Reformasi tersebut diharapkan mampu mendorong efisiensi, kemudahan usaha, dan transparansi. Semua jenis perizinan juga akan dilakukan dalam satu sistem online single submission mulai Juni 2021.

Di tengah tekanan yang begitu besar, industri memang sangat membutuhkan stimulus dan relaksasi berbagai kebijakan. Tujuannya utamanya agar industri bisa kembali menggeliat dan turut menggulirkan kembali roda ekonomi yang tahun lalu sudah masuk jurang resesi.

Di antara sektor industri yang menghadapi tekanan besar adalah industri hasil tembakau (IHT). Tak tanggung-tanggung, tahun ini IHT harus menerima dua pukulan sekaligus. Pertama, industri ini harus mengahadapi penurunan daya beli konsumen akibat pandemi. Kedua, saya daya beli masyarakat menurun mereka harus menghadapi kebijakan kenaikan tarif cukai rata-rata 12,5% yang berlaku sejak 1 Februari 2021.

Kementerian Keuangan memproyeksikan tahun ini produksi rokok nasional akan turun imbas dari kenaikan tarif cukai. Total produksi rokok tahun ini diperkirakan hanya 288 miliar batang, turun lebih dari 3% dibandingkan dengan realisasi tahun 2020 sebanyak 298,4 miliar batang.

Dua tekanan bagi industri hasil tembakau inipun mulai merambah pabrikan di daerah, termasuk di provinsi Jawa Timur. Kondisi ini tentu sangat ironis, karena dua tekanan muncul itu di tengah tren peningkatan jumlah pengangguran terbuka.

Data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Timur mencatat, selama 2020 angka pengangguran melonjak tajam. Sampai akhir tahun lalu, pengangguran di Jawa Timur tercatat 1,3 juta orang atau setara 5,26%. Dalam setahun ada penambahan sekitar 300.000 pengangguran baru. Tentu fakta-fakta ini tak bisa dianggap enteng.

Kontra produktif

Pemerintah saat ini sudah pada koridor yang tepat saat memberikan insentif dan relaksasi kebijakan menghadapi krisis akibat pandemi virus korona Covid-19. Namun adanya pengetatan berbagai aturan, termasuk terhadap IHT, justru akan kontra-produktif terhadap upaya percepatan pemulihan sosial ekonomi masyarakat.

Sayangnya, berbagai upaya memberikan tekanan lebih besar terhadap IHT begitu kentara. Sebagai contoh, beberapa pihak terus mendorong revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Belum lagi berbagai wacana revisi peraturan lain yang terkait. Padahal, revisi regulasi yang pada ujungnya bertujuan melarang total iklan dan promosi produk tembakau bukan hanya akan berdampak pada industri rokok, tetapi juga sektor lain yang masuk dalam rantai pasokan (supply chain) seperti ritel, periklanan, hingga petani tembakau.

Mengacu pada data Kementerian Perindustrian, kini sektor IHT mampu menyerap lebih dari 6 juta tenaga kerja baik langsung maupun tidak langsung. Tak bisa dibayangkan dampak yang muncul manakala sektor ini mengalami kelumpuhan. Bukan hanya pengangguran yang membludak, tetapi penerimaan negara dari cukai akan turut tergerus.

Di tengah situasi yang serba sulit, ada beberapa hal yang dapat dilakukan pemerintah. Pertama, pemerintah sebaiknya lebih fokus kepada berbagai program prioritas seperti percepatan vaksinasi Covid-19 dan optimalisasi berbagai stimulus yang telah diberikan kepada industri dan masyarakat. Vaksinasi dan upaya-upaya progresif dalam memutus rantai penyebaran virus korona Covid-19 menjadi kunci pemulihan kesehatan dan ekonomi.

Kedua, ihwal perdebatan mengenai industri rokok dan dampaknya, hal yang perlu dilakukan semestinya adalah menggencarkan proses edukasi secara konsisten yang melibatkan komunitas dan tokoh masyarakat. Sejatinya, ada banyak pekerjaan rumah lain yang belum dikerjakan. Desakan terhadap pengetatan regulasi seolah hanya mencoba menyederhanakan persoalan yang sangat mungkin melahirkan masalah baru yang tak kalah rumitnya.

Ketiga, saat ini adalah era relaksasi kebijakan. Pengetatan kebijakan yang tidak perlu justru akan kontradiktif dan kontraproduktif dengan upaya pemerintah memulihkan segera kondisi sosial ekonomi nasional yang sempat mati suri akibat pandemi.

Tiga aspek inilah yang semestinya menjadi pertimbangan saat akan mengetatkan sebuah kebijakan. Pada akhirnya semua pilihan akan kembali kepada pemerintah. Meski memang tak mudah saat harus menatap era relaksasi kebijakan untuk industri yang kontroversi.

Penulis : Adik Dwi Putranto

Ketua Kamar Dagang dan Industri Provinsi Jawa Timur

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×