kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.499.000   -40.000   -2,60%
  • USD/IDR 15.935   -60,00   -0,38%
  • IDX 7.246   -68,22   -0,93%
  • KOMPAS100 1.110   -11,46   -1,02%
  • LQ45 880   -11,76   -1,32%
  • ISSI 222   -0,92   -0,41%
  • IDX30 452   -6,77   -1,48%
  • IDXHIDIV20 545   -7,80   -1,41%
  • IDX80 127   -1,32   -1,03%
  • IDXV30 136   -1,06   -0,77%
  • IDXQ30 150   -2,29   -1,50%

Mencari akar persoalan korupsi


Rabu, 19 Desember 2018 / 13:54 WIB
Mencari akar persoalan korupsi


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Korupsi adalah penyakit, kanker yang menggerogoti tatanan budaya, politik, ekonomi, serta menghancurkan fungsi organ vital masyarakat. Dalam terminologi Transparansi Internasional, korupsi adalah salah satu tantangan terbesar dunia kontemporer. Namun terminologi ini hanya menggambarkan tentang potensi destruksi sosial yang diakibatkan praktik korupsi. Sebab butuh kajian multidisipliner agar pemahaman korupsi benar-benar filosofis dan kompleks.

Definisi korupsi juga tidak bisa lepas dari kerangka ruang dan waktu, dan selalu berkembang dari waktu ke waktu. Contoh, siapa sangka istilah money laundry berasal dari bisnis tempat cucian milik mafia Al Capone di Amerika Serikat (AS), kini menjadi istilah umum yang masih tetap digunakan sampai sekarang. Untuk itu, kerja akademis dan advokat sangat dibutuhkan disini agar pemahaman dan pencegahan terhadap korupsi dapat dilakukan dengan baik.

Apalagi secara historis korupsi memiliki narasi yang bisa dirunut hingga ke masa lampau. Ada serangkaian kronologi waktu yang panjang dalam pewarisan nilai patrimonial masa lampau yang terkesan koruptif terhadap kehidupan masyarakat saat ini. Seperti halnya negosiasi, pemberian hadiah dan solidaritas tanpa syarat kepada keluarga besar berpengaruh, klan dan kelompok komunal lainnya (de Sardan 1999). Sehingga, realita sosial yang terjadi disuatu masyarakat akan mengakibatkan adanya perbedaan dalam memandang suatu kasus korupsi. Misalnya antara kultur masyarakat di Afrika dan Eropa tentu tidak bisa disamakan.

Begitupun dalam konteks kelompok keagamaan antara kelompok katolik di Eropa Barat yang bercorak kultur latin dan kelompok Nordic yang beraliran protestan. Bahkan di China, ada istilah Guanxi, yaitu semacam tradisi atau kebiasaan temurun (custom) untuk memberikan hadiah, bunga ataupun barang bagus dalam rangka membangun relasi dan koneksi dengan orang yang berpengaruh.

Oleh karena itu, tidak bisa dimungkiri bahwa pada saat ini penelitian tentang korupsi selalu dihadapkan pada perdebatan yang bias yang justru menghasilkan problema baru. Semisal, benarkah demokrasi dan korupsi memiliki relasi yang berlawanan? Apakah ada bukti kongkret membenarkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan berimplikasi pada penurunan tingkat korupsi atau justru korupsi terjadi karena memang ada kesempatan yang terbuka?

Namun, beberapa pengamat tidak berhenti sampai disitu, mereka tetap mengusahakan sebuah konsensus bersama dengan memfokuskan pada satu titik, yaitu tentang penyebab dari korupsi itu sendiri. Paling tidak dengan menyandarkan pada penyebab hadirnya korupsi, pengamat dapat menemukan konklusi utuh tentang definisi terbaik korupsi.

Penyebab korupsi

Dalam hal ini, penelitian dari Inge Amundsen (2007) dapat dijadikan acuan mengenai penyebab korupsi. Dari penelitian tersebut diketemukan bahwa penyebab korupsi setali tiga uang dengan persoalan ekonomi dan politik. Ini didukung berbagai presentasi statistik yang menunjukkan bahwa tingkat korupsi memiliki relasi negatif dengan tingkat kemakmuran ekonomi. Dengan kata lain, ketika sebuah negara semakin kaya, tingkat korupsi menurun.

Berdasarkan laporan Transparancy International lima negara dengan indeks persepsi korupsi paling rendah yaitu Selandia Baru, Denmark, Finlandia, Norwegia dan Swiss merupakan negara maju dengan tingkat perekonomian yang stabil dan meningkat. Meskipun begitu ada sedikit anomali yang muncul disini, walaupun China berada di posisi 80, namun secara produk domestik bruto (PDB) China berada di posisi ke dua setelah AS.

Namun, bukan berarti persoalan korupsi di China tidak menjadi prioritas utama pemerintah, bahkan pemerintahan Xie Jinping telah mengeluarkan serangkaian kerangka hukum yang komprehensif baik di sektor publik dan swasta untuk mengkriminalisasi beberapa praktik korupsi. Seperti pembayaran fasilitas, pencucian uang, suap aktif dan pasif, dan hadiah di sektor publik dan swasta melalui penerbitan UU Persaingan Tidak Sehat yang berfokus pada komersial penyuapan. Sehingga dapat dimaknai bahwa upaya dalam pemberantasan korupsi di China yang walaupun belum meminimalisir secara keseluruhan dampak korupsi, tapi paling tidak langkah yang dilakukan selama ini telah memberikan angin yang segar bagi kemajuan dan pertumbuhan ekonomi.

Dari sisi politik, penyebab korupsi lebih menitik beratkan pada tipe rezim dan pemerintahan yang ada di suatu negara. Namun, salah satu asumsi umum yang paling banyak diyakini adalah bahwa tingkat korupsi berhubungan negatif dengan demokratisasi. Yaitu bahwa tingkat korupsi akan menurun seiring dengan meningkatnya tingkat demokrasi. Pada satu sisi kita boleh bersepakat dengan pendapat ini, tapi bukan berarti menelan mentah-mentah data yang ada tanpa melakukan verifikasi secara objektif berdasarkan laporan lembaga yang kredibel.

Kembali, kali ini China juga menjadi contoh dari bagaimana anomali itu muncul. Berdasarkan laporan The Economist tentang Indeks Demokrasi 2017, China yang hanya menempati posisi 139, tapi dari sisi Indeks Persepsi Korupsi, China jauh lebih baik dari Indonesia yang menempati posisi 68 secara Indeks Demokrasi. Indeks Persepsi Korupsi China tahun 2017 berada di posisi 80, sedangkan Indonesia berada di posisi 101. Dengan demikian, asumsi tentang demokrasi yang memiliki relasi kuat dengan korupsi mesti diuji kembali. Sebab, kerangka dan indikator demokrasi yang masih abstrak dengan realita sosial di berbagai negara yang berbeda-beda secara kultur dan tradisi, tidak selalu berhubungan dengan komitmen pemerintah untuk mengatasi korupsi.

Meskipun, secara umum lima besar negara demokratis dunia, yaitu Norwegia, Islandia, Swedia, Selandia Baru dan Denmark merupakan negara dengan tingkat korupsi yang paling rendah di dunia. Tapi, pemahaman ini harus dilihat secara meluas dan komprehensif, bahwa ada satu pola yang sama, bahwa negara yang berada di tingkat paling tinggi dari sisi demokrasi dan paling rendah dalam korupsi adalah negara Skandinavia, negara Nordic.

Oleh karena itu, tidak bisa dinafikan, faktor kearifan masyarakat, ditunjang dengan human nature masyarakat mereka yang sangat beradab, membuat nilai moral dan kemanusiaan benar-benar dijunjung tinggi disana, sehingga dengan sendirinya nilai anti korupsi akan terbangun.

Nabhan Aiqani
Alumnus Indef School of Political Economy

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Kiat Cepat Baca Laporan Keuangan Untuk Penentuan Strategi dan Penetapan Target KPI Banking and Credit Analysis

[X]
×