Reporter: Bagus Marsudi | Editor: Tri Adi
Pekan lalu, seorang teman akhirnya bisa bernapas lega. Harapan namanya bisa masuk dalam daftar calon anggota legislatif (caleg) dari partai tertentu akhirnya terkabul. Meski ia mendapat daerah pemilihan (dapil) yang tidak berkaitan dengan tempat tinggal dan daerah asalnya, yang penting namanya akhirnya bisa masuk. Tinggal selanjutnya berjuang untuk meraih suara sebanyak mungkin agar bisa lolos ke Senayan.
Sekitar lima tahun lalu, teman yang juga aktivis lembaga sosial kemasyarakatan nirlaba itu sempat hampir lolos sebagai bakal caleg. Sayangnya, di akhir menjelang penyetoran nama ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), namanya dicoret dan digantikan oleh orang lain yang juga aktivis yang dianggap jauh lebih berpotensi mendulang suara lantaran memiliki jejaring lebih luas.
Tidak sedikit orang yang sujud syukur setelah namanya positif masuk dalam daftar caleg partai. Menurut sistem informasi pencalonan (sipol) KPU, 16 partai telah menyerahkan daftar bakal caleg untuk DPR-RI (pusat) dengan total sebanyak 8.370 orang. Sebanyak 3.371 (40,3%) di antaranya merupakan caleg perempuan. Mereka akan meperebutkan 579 kursi di Senayan.
Mereka inikah calon wakil rakyat terbaik yang disiapkan partai? Tidak mudah menjawabnya. Soalnya, menjelang akhir pendaftaran caleg, justru ramai diperbincangkan etika partai membajak kader partai dan caleg yang loncat pagar, berpindah ke partai lain. Fenomena ini memunculkan isu soal uang mahar bagi anggota partai yang mau berpindah. Ironisnya, ada caleg yang terdaftar di partai B, padahal saat ini dia masih mewakili partai A di struktur Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Tidak sedikit juga partai menggunakan strategi lawas untuk mendongkrak suara, yakni memobilisasi figur publik, seperti artis, sebagai caleg dapil tertentu. Tercatat ada 54 artis yang masuk daftar caleg di beberapa partai. Tentunya, fenomena ini kembali memunculkan pertanyaan klasik: apakah partai mengejar suara dengan lebih mengandalkan popularitas ketimbang kualitas caleg?
Wajar saja jika fenomena loncat pagar dan pemanfaatan figur publik itu mendorong orang bertanya-tanya, apakah partai sedang kesulitan membentuk kadernya sendiri? Kita tahu, beberapa partai memiliki pendidikan khusus untuk mempersiapkan kader partai. Sebutannya beragam, entah Sekolah Kader, Sekolah Partai, atau Sekolah Politik. Nyatanya, tetap saja cara instan dipakai demi mencapai tujuan.
Proses yang instan ini pada akhirnya juga akan tampak dari kinerja. Survei Poltracking Indonesia mengenai institusi negara pada awal November 2017 lalu menunjukkan, DPR masuk daftar paling buncit dalam penilaian kinerja institusi demokrasi dan penegakan hukum. Hanya 34% dari 2.400 responden yang mengaku puas. Begitu juga dari penilaian terhadap fungsi pengawasan, hanya 36% yang puas.
Artinya, sepertinya butuh waktu lebih lama bagi masyarakat untuk mendapatkan wakil rakyat hasil pemilihan legislatif dengan kinerja mumpuni. Salah satu penyebabnya, ada yang salah dalam proses penjaringan di level partai politik. Masih mending KPU membuat aturan lebih ketat soal larangan terpidana korupsi dan kejahatan tertentu untuk jadi caleg. Jika tidak, daftar wakil rakyat yang jadi terpidana korupsi bakal kian panjang.
Mengubah kualitas wakil rakyat dari partai memang tak mudah. Tapi, masyarakat sebagai pemilih bisa bergerak dengan menjadi pemilih yang rasional dan retrospektif. Cermati dengan baik caleg maupun partai politik yang mengusungnya. Mungkin ada yang fanatik kepada calon atau partai politik tertentu. Tapi, jika tak sesuai dengan hati, tidak memilih mereka juga merupakan pilihan.•
Bagus Marsudi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News