Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi
Tensi tinggi perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China tak kunjung turun. Yang terjadi hingga tulisan ini dibuat justru sebaliknya. Suhu hubungan dagang Negeri Uwak Sam dan Negeri Tirai Bambu semakin memanas.
Semua kondisi ini, tidak dapat dilepaskan dari sosok Presiden AS, Donald Trump. Dikutip dari pemberitaan di berbagai media, Trump meminta agar Presiden China Xi Jinping untuk hadir dalam penyelenggaraan konferensi tingkat tinggi G20 di Jepang, akhir bulan ini. Kehadiran Xi disebut Trump akan menentukan nasib negosiasi perdagangan antara dua negara dengan tingkat produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia tersebut.
Melalui sambungan telepon kepada CNBC dan Fox News pekan ini, Trump meyakini kesepakatan dagang ini akan tercapai. Pasalnya, China sangat membutuhkan kesepakatan tersebut. Hal tersebut, menurut Trump, dipicu oleh berbagai faktor, misalnya sejumlah perusahaan yang mulai memindahkan basis produksi dari China ke luar negeri.
Tensi tinggi perang dagang AS-China juga telah membuat pertumbuhan ekonomi global terkoreksi. Baru-baru ini World Bank atau Bank Dunia kembali merevisi turun proyeksi ekonomi dunia untuk tahun ini hingga 0,3%, dari 2,9% menjadi 2,6%, meskipun mereka tetap meramalkan ekonomi RI bisa tumbuh di angka 5,2%.
Lalu bagaimana sebaiknya Indonesia menyikapi situasi terkini tersebut? Perang dagang AS dan China telah dimulai sejak tahun lalu. Penggunaan frasa "perang" tidaklah mengherankan. Hal ini karena kedua negara raksasa ekonomi dunia bak berbalas pantun dan saling menaikkan tarif impor terhadap komoditas masing-masing negara.
Titik awal semua ini hadir pada 6 Juli 2018. Saat itu, Negeri Uwak Sam memberlakukan tarif 25% untuk barang impor Negeri Tirai Bambu senilai US$ 34 miliar. Sebulan kemudian, AS menambah lagi kategori pengenaan tarif juga 25% untuk barang impor China senilai US$ 16 miliar. Langkah tersebut segera direspons China dengan mengenakan kenaikan tarif untuk barang impor AS senilai US$ 50 miliar.
Saling berbalas pantun tersebut berakhir setidaknya pada akhir November 2018. Ketika itu, di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20, Trump dan Xi sepakat untuk melakukan gencatan senjata selama tiga bulan alias 90 hari. Itu artinya tak ada pengenaan tarif impor apapun atas produk masing-masing negara.
Memasuki tahun 2019 ini, serangkaian pertemuan dan negosiasi dagang terus dilakukan antara AS-China. Baik di Washington DC maupun di Beijing. Namun, pembicaraan tidak ada yang membuahkan hasil, termasuk dalam pertemuan pada bulan Mei lalu.
Jika dicermati, AS memiliki alasan tersendiri saat memulai perang dagang dengan China, yaitu menekan defisit neraca perdagangan. Namun, penulis menilai semua ini lebih dari sekadar perdagangan. Ada unsur teknologi yang lebih dominan.
Salah satu indikasinya adalah kasus yang melibatkan raksasa teknologi asal China, Huawei Technologies. Semua bermula dari penangkapan petinggi Huawei yang juga anak dari pendiri perusahaan Meng Wanzhou. Setelah itu, Trump pun menyebut bakal memasukkan Huawei ke dalam poin negosiasi dagang antara kedua negara.
Peluang Indonesia
Riuh rendah perang dagang AS-China bukannya tak dicermati oleh Indonesia. Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam berbagai kesempatan selalu meminta hal ini jangan dianggap sebagai sebuah masalah besar, melainkan adalah sebuah peluang.
"Ada sebuah opportunity (kesempatan) yang bisa kita ambil dari ramainya perang dagang ini. Dan saya melihat bapak, ibu, dan saudara semuanya berada pada garis paling depan dalam memanfaatkan peluang ini," ucap Presiden Jokowi ketika bertemu dengan pengusaha - pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) dan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), pekan lalu.
Penulis menilai ada dua peluang yang dapat dimanfaatkan oleh Indonesia seiring memanasnya perang dagang AS-China. Baik dari sisi ekspor maupun investasi.
Pertama, dari sisi ekspor, Indonesia dapat mengisi celah yang ada di AS dan China. Komoditas-komoditas yang kiranya dibutuhkan kedua negara, namun tingkat ekspornya berkurang akibat pengenaan tarif impor, bisa dioptimalkan.
Oleh karena itu, Kementerian Perdagangan (Kemdag) harus segera mengidentifikasi produk-produk yang diperlukan kedua negara tersebut. Begitu proses identifikasi tuntas, segera sosialisasikan secara besar-besaran kepada pengusaha dalam negeri, entah itu skala besar maupun usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Dengan begitu, mereka bisa segera mempersiapkan diri demi ekspansi ke kedua negara.
Kedua, dari sisi investasi, sudah terlihat sejumlah perusahaan memindahkan basis produksi dari China ke negara-negara tetangga. Misalnya Airpods Apple dari China ke Vietnam pada tahun lalu atau Nintendo dari Taiwan (bagian dari China) ke luar negara tersebut baru-baru ini.
Pemerintah Indonesia harus sigap memanfaatkan potensi ini. Pasalnya, jumlah perusahaan yang memindahkan basis produksi ke luar China masih akan terus bertambah, seiring ketidakpastian yang terjadi saat ini.
Ketimbang sibuk merevisi aturan insentif fiskal maupun non-fiskal yang memakan waktu panjang dan tak tahu kapan rampungnya, pemerintah dapat memanfaatkan perang dagang ini lewat Batam.
Sejak lama, Batam dikenal sebagai wilayah yang ramah untuk industri. Namun, dualisme kepengurusan yang terjadi sekarang bisa menjadi faktor pembatas. Untuk itu, segera selesaikan masalah internal tersebut agar investor tak ragu memindahkan investasinya dari China ke Batam.
Selain peluang, ada pula tantangan yang harus diwaspadai Pemerintah Indonesia. Sebagaimana kami jelaskan di awal, efek perang dagang AS dan China sudah berdampak pada revisi pertumbuhan ekonomi dunia oleh berbagai lembaga global.
Walau Indonesia tetap diramal Bank Dunia dapat tumbuh 5,2%, tetap saja ada risiko-risiko yang menghantui dan berpotensi membuat pertumbuhan ekonomi meleset dari target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 sebesar 5,4%. Untuk itu, mitigasi harus segera dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.
Fokus utama belanja negara tetap mempertahankan daya beli masyarakat sehingga tingkat konsumsi rumah tangga tetap terjaga. Hal lain yang perlu menjadi perhatian pemerintah adalah memastikan akselerasi belanja pemerintah sesuai dengan jalurnya alias on the track. Sedangkan untuk komponen lain seperti investasi dan ekspor perlu dipastikan agar tidak tertekan terlalu dalam.
Intinya, dalam sebuah peristiwa, termasuk perang dagang AS dan China, selalu ada peluang hingga tantangan. Yang terpenting adalah sinergi semua pihak dari kalangan pemerintah maupun swasta agar efek negatif dari perang dagang tersebut minimal terhadap perekonomian Indonesia.♦
William Henley
Founder IndoSterling Group
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News