kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,34   -28,38   -2.95%
  • EMAS1.321.000 0,46%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mencemburui optimisme RAPBN 2018


Jumat, 17 November 2017 / 15:28 WIB
Mencemburui optimisme RAPBN 2018


| Editor: Tri Adi

DPR sudah menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) APBN 2018 menjadi Undang-Undang. Adapun asumsi makro yang disetujui adalah  pertumbuhan ekonomi 5,4%, inflasi 3,5%, nilai tukar rupiah Rp 13.400 per dollar Amerika Serikat (AS), dan suku bunga SPN tiga bulan 5,2%. Selain itu harga minyak mentah (ICP) US$ 48 per barel, lifting minyak 800.000 barel per hari, dan lifting gas bumi 1,2 juta barel setara minyak per hari.

Sementara itu, target pembangunan yang disetujui Badan Anggaran (Banggar) DPR, yaitu tingkat pengangguran 5%-5,3%, tingkat kemiskinan sebesar 9,5%-10%, ketimpangan 0,38, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 71,5. Secara umum, target pendapatan negara yang disetujui Banggar DPR sebesar Rp 1.894,72 triliun, yang terdiri dari penerimaan perpajakan Rp 1.618,1 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 275,43 triliun, dan penerimaan hibah Rp 1,2 triliun.

Sisi lain, target belanja negara yang disetujui Banggar DPR sebesar Rp 2.220,66 triliun, yang terdiri belanja pemerintah pusat Rp 1.454,49 triliun dan belanja transfer ke daerah dan dana desa Rp 766,16 triliun. Artinya, target defisit anggaran 2018 yang disetujui Rp 325,94 triliun atau 2,19% dari produk domestik bruto (PDB). Sejalan dengan defisit anggaran itu, target pembiayaan juga disetujui sebesar Rp 325,94 triliun.

Secara keseluruhan, RAPBN 2018 terlihat sangat optimistis, terutama terkait dengan asumsi pertumbuhan ekonomi, target penerimaan pajak, dan inflasi. Optimisme dari ketiga sisi tersebut kemudian merembes ke optimisme target pengurangan angka pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan.

Karena target pertumbuhan 5,4%, maka diproyeksikan bisa menekan angka pengangguran dan kemiskinan sekitar 5%-5,3% dan 9,5%-10%. Walhasil, secara umum RAPBN 2018 disahkan dengan penuh keyakinan.

Catatan saya, pertama soal asumsi pertumbuhan ekonomi di level 5,4%. Dari sisi asumsi makro, boleh jadi masih ada celah untuk menorehkan angka tersebut jika, misalnya, konsumsi rumah tangga tetap kuat, investasi tumbuh lebih cepat dan harga komoditas ekspor Indonesia di pasar global terus membaik.

Tetapi dari perkembangan yang ada, terutama sejak awal tahun ini dan prediksi makro sampai awal tahun depan, proyeksi saya untuk pertumbuhan ekonomi 2018 hanya ada di angka 5,2%--5,3% saja.

Mari berkaca pada torehan angka tahun ini. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data pertumbuhan ekonomi kuartal pertama dan kedua 2017, angkanya meradang turun, yakni 5,01%. Dari perkembangan kontributor pertumbuhan ekonomi yang ada (tahun ke tahun), bisa disimpulkan bahwa Indonesia memang membutuhkan pertumbuhan investasi yang besar untuk meraih skenario pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

Belum ada faktor wow

Sekalipun mengantongi status layak investasi dari berbagai lembaga pemeringkat,  namun ternyata tidak maksimal dimanfaatkan oleh pemerintah.  Tahun ini, pertumbuhan ekonomi dalam APBN-P ditargetkan 5,2%. Sedangkan  di 2018, pertumbuhan ekonomi berkisar 5,4%. Dan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi di angka tersebut, setidaknya dibutuhkan pertumbuhan investasi 6%. Sementara hingga kini pertumbuhan investasi masih di bawah 5%.

Tahun lalu saja, investasi hanya tumbuh 4,48%. Untuk bisa mencapai pertumbuhan investasi 6%-8% tentu tidak tidak hanya berharap kepada APBN, tetapi juga harus diiringi dengan peran sektor swasta dan BUMN yang keduanya diharapkan terus meningkatkan belanja modal (capital expenditure), kontribusi dari kredit perbankan, pasar modal, penanaman modal dalam negeri (PMDN), dan penanaman modal asing (PMA).

Semula, dengan membaiknya prospek investasi, rasanya secara teori pemerintah mempunyai peluang untuk memperbaiki kinerja ekonomi nasional dengan torehan pertumbuhan yang kontekstual dengan kebutuhan Indonesia. Namun dua kuartal di tahun 2017 sudah berlalu, angka pertumbuhan masih jauh dari harapan dan status layak investasi kemudian ibarat piagam yang hanya indah di dalam lemari kaca pajangan. Dan kondisi serupa, saya kira, akan menghantui di tahun depan, jika terobosan-terobosan pemerintah ternyata tidak tepat.

Apalagi tahun depan adalah tahun politik (pilkada serentak). Untuk tetap menjaga ekonomi terus bergerak positif, tugas pemerintah yang tak kalah berat selain urusan perekonomian adalah menjamin stabilitas politik di Tanah Air. Salah satunya stabilitas politik selama pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak  dan pemanasan jelang tahun politik 2019. Kondisi politik yang stabil akan menciptakan iklim kondusif bagi dunia usaha.

Tapi nampaknya perpaduan antara isu-isu panas politik jelang pilpres dan menurunnya kredibilitas fiskal pemerintah (realisasi penerimaan pajak rendah, target terlalu tinggi, isu utang yang kurang terkelola baik, daya beli yang melemah, dan lainnya) membuat target asumsi makro dalam RAPBN 2018 menjadi tidak mudah untuk ditorehkan. Dan oleh karena itu, mengapa saya mengatakan bahwa asumsi makro yang ditetapkan pemerintah dan DPR terlalu optimistis.

Sementara itu, untuk inflasi, dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan asumsi kurs rupiah yang melemah dibanding tahun ini serta adanya kenaikan harga komoditas energi, inflasi 2018 kemungkinan besar bisa lebih tinggi dari yang ditetapkan. Asumsi pemerintah untuk 2018, inflasi bisa ditekan sampai ke level  3,5%. Tapi nampaknya bisa lebih, proyeksi saya bisa sampai 4%.

Dan terakhir soal penerimaan dan belanja negara. Lagi-lagi, saya kira, pemerintah akan terbentur dengan shortfall penerimaan pajak jika menetapkan target penerimaan sebesar  Rp 1.894,72 triliun, yang terdiri dari penerimaan perpajakan Rp 1.618,1 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 275,43 triliun, dan penerimaan hibah Rp 1,2 triliun.

Lihat saja kinerja pajak mutakhir. Secara keseluruhan,  Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan baru mengumpulkan penerimaan Rp 770,7 triliun sepanjang Januari-September 2017 atau 60% dari target
Rp 1.283,6 triliun yang ditetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2017. Artinya,   masih ada pekerjaan rumah untuk mengejar setoran sebanyak Rp 512,9 triliun pada sisa waktu tiga bulan terakhir.

Dengan situasi saat ini, shortfall pajak seperti tahun 2016 pun diperkirakan kembali membayangi anggaran negara 2017.  Dalam APBNP 2017, pemerintah memperkirakan terjadi shortfall penerimaan perpajakan sekitar Rp 48 triliun. Alhasil, target perpajakan pun direvisi turun, dari Rp 1.499 triliun menjadi Rp 1.451 triliun.

Bahkan dengan perkembangan sampai hari ini, saya justru curiga potensi shortfall bisa jauh lebih besar dari angka tersebut. Nah, apalagi jika target penerimaan pajak dikerek naik terlalu tinggi untuk tahun depan, sementara di sisi lain belum ada faktor "wow" yang membuat prospek penerimaan pajak semakin cerah.

Lantas dari mana datangnya kalkulasi tersebut?             

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×