kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mendamba demokrasi konstruktif


Rabu, 06 Maret 2019 / 12:59 WIB
Mendamba demokrasi konstruktif


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Pemilihan umum (pemilu) semakin dekat. Kini masyarakat dihadapkan dengan berbagai pilihan yang ditawarkan partai-partai politik.

Pilihan ini mulai dari yang sifatnya ideologis seperti platform partai, visi dan misi partai, program-program kerja, dan rekam jejak calon yang diusung oleh partai politik, entah di tingkat kabupaten/kota, provinsi, atau nasional dalam pemilihan presiden. Namun, tidak sedikit pula yang pragmatis, mulai dari popularitas sang kandidat yang kebetulan adalah mantan artis atau aktor, menjual isu sektarian, primordial, dan hal-hal lainnya

Sayangnya, secara natural masyarakat Indonesia yang multikultural ini, penekanan penjaringan aspirasi para pemilih dengan mengandalkan sisi-sisi pragmatisme. Misalnya berpolitik yang menonjolkan perbedaan suku, agama, ras, dan dibumbui dengan sikap konfrontatif sehingga menjadikan pemilu sebagai sebuah momok. Padahal, pemilu adalah bagian inheren demokrasi, seharusnya menjadi festival kebangsaan yang hangat dan ceria.

Namun, alih-alih menjadi sebuah pesta demokrasi, pemilu kerap dipersamakan dengan perang. Mulai dari perang yang membawa sentimen kebudayaan seperti analogi Mahabarata, dimana ada satu sisi yang disimbolkan sebagai para Pandawa yang protagonis dan sisi lainnya dianggap sebagai kaum Kurawa yang antagonis.

Ada juga, yang mengambil sisi dari sudut religi yang mempersamakan pemilu dengan salah satu dari beberapa perang keagamaan di masa silam, entah itu perang badar, perang uhud, sampai perang salib. Bahkan, untuk menghadapi lawan politiknya, masing-masing kubu pun menggunakan pendekatan perang, entah strategi total war atau strategi frontal war. Padahal, jika para elite politik tidak hati-hati, justru perang yang sedang menanti bangsa ini adalah perang paregreg.

Dalam sejarah bangsa kita, Kerajaan Majapahit yang jaya nan digdaya pun tercatat pada akhirnya runtuh. Sekalipun para ahli sejarah masih memperdebatkan penyebabnya keruntuhan Majapahit, namun yang pasti banyak yang sepakat bahwa Perang Paregreg sebagai salah satu penyebab runtuhnya Kerajaan Majapahit.

Perang Paregreg, perlahan tapi pasti, memastikan berakhirnya hegemoni Majapahit atas nusantara. Nengah Bawa Atmadja (2010) dalam Genealogi Keruntuhan Majapahit, mencatat bahwa perang saudara yang berlarut-larut mengakibatkan Majapahit sangat lemah, sehingga gagal mengontrol wilayah kekuasaannya.

Padahal, perang yang bermula dari soal suksesi kekuasaan di Majapahit pasca Hayam Wuruk ini seharusnya bisa diatasi. Karena para pihak yang bertikai sejatinya masih keluarga kerajaan.

Walaupun pada akhirnya ada salah satu pihak yang memenangkan pertarungan, namun kemenangan ini justru awal dari kekalahan yang lebih besar dan proses berkelanjutan dari perpecahan (B.J.O. Schrieke 2016:79).

Dalam konteks historis bangsa kita, sudah sepatutnya kita belajar bahwa kerajaan digdaya yang besar, hancur bukan melulu karena faktor eksternal, namun justru harus tersungkur karena gagal mengelola konflik internalnya. Dalam pengertian inilah, pemilihan demokrasi sebagai sistem pemerintahan ditujukan untuk meminimalisir atau bahkan menihilkan sama sekali peperangan antar sesama anak bangsa.

Demokrasi kita, yang jadi impian berdasarkan Pancasila seharusnya dimaknai betul sebagai sebuah cara beradab untuk menghindarkan bangsa kita dari perang berkepanjangan. Betapapun heroiknya sebuah perang, tetaplah ia akan berujung pada penderitaan. Akankah kita menukarkan keutuhan dan kesejahteraan bangsa ini demi sebuah romantisme peperangan dan heroisme yang berdarah-darah?

Merawat keutuhan bangsa

Demokrasi sejatinya harus diletakkan pada konteksnya sebagai alat untuk mencapai tujuan kesejahteraan kita bersama. Sebagai sebuah sistem pemerintahan, demokrasi perlu memenuhi tiga kondisi esensial, yaitu kompetisi yang penuh arti untuk mendapatkan kekuasaan politik, baik diantara individu maupun kelompok, partisipasi yang inklusif dalam pemilihan pemimpin dan kebijakan (salah satunya melalui pemilu), dan kebebasan sipil dan politik yang cukup untuk memastikan integritas dari kompetisi politik dan partisipasinya (Diamond, Linz, & Lipzet 1995:xvi).

Sayangnya, model demokrasi seperti ini yang bertumpu pada kontestasi dan partisipasi akan sangat sulit dalam masyarakat yang plural dan terbagi dalam social cleavages yang dalam (Reilly 2001:3), seperti bangsa kita ini.

Kini, bangsa kita sedang membuktikan apa yang dikhawatirkan oleh Reilly tersebut. Jika Esman (1994:41) menyoroti demokrasi seperti itu akan memfasilitasi politisasi etnis dan mengakibatkan bahaya ekstrimisme etnis dan destabilisasi tatanan politis, bangsa kita diambang yang lebih parah lagi. Tidak hanya soal etnis (pribumi atau non-pribumi), demokrasi kita hampir menyasar soal konflik agama dan konflik kelas yang lebih serius. Apalagi, politisi yang memainkan kartu agama dan primordial justru mendapatkan insentif elektoral, alih-allih sanksi sosial ataupun yuridis.

Tendensi demokrasi yang kompetitif seperti ini jika tidak hati-hati akan membawa kita pada mengulangi sejarah Majapahit yang harus terjebak dalam perang saudara hanya karena gagal mengelola konflik. Untuk itu, sistem politik kita harus mulai membangun sebuah insentif bagi politisi dan partai yang mengedepankan pendekatan-pendekatan multietnis, multireligi, dan semangat pluralisme berbangsa sebagai agenda politik dan kebijakan yang diambilnya.

Selama bangsa kita tidak memberikan insentif terhadap partai-partai semacam itu, praktik-praktik penjaringan aspirasi masyarakat dengan mengedepankan kapitalisasi sentimen rasial dan agama akan memperuncing perbedaan dan garis batas yang semakin tegas antara kelompok yang satu dengan kelompok yang berbeda dengannya sekalipun keduanya merupakan sesama warga bangsa Indonesia.

Untuk itu, sudah saatnya para elite harus mulai membangun fatsun diantara mereka untuk memberikan batasan-batasan yang jelas terhadap tabu-tabu dalam poltik bangsa Indonesia. Jika para elite saja sudah gagal mengelola konflik di antara mereka, bagaimana mengharapkan mereka mengelola konflik yang lebih besar lagi di skala nasional? Kuncinya ada pada elite politik apakah akan memberikan panggung bagi orang yang gemar memanfaatkan perpecahan demi meraih kemenangan atau akan menjadi benteng pertahanan bagi rakyat dari hadirnya politisi-politisi macam itu.

Jika para elite politik gagal untuk mengarahkan bangsa ini untuk mencapai visi politik yang mulia, tak usahlah kita jauh-jauh bermimpi menjadi Negara Adidaya karena untuk menjaga integrasi saja kita akan kewalahan. Oleh karena itu, demokrasi yang konstruktif haruslah dimaknai sebagai demokrasi dengan keberagaman dalam bangsa ini tidak bisa terpupuskan hanya demi mengejar keseragaman dengan dalih kesatuan dan persatuan tanpa memfasilitasi nilai-nilai pluralisme.♦

Michael H. Hadylaya
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Litigasi, Jakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×