| Editor: Tri Adi
Akhir September 2017, World Economic Forum (WEF) menerbitkan Global Competitiveness Report 2017-2018. Laporan ini mengukur posisi daya saing 137 negara dari hasil survei opini eksekutif dan data statistik yang dikumpulkan.
Prestasi Indonesia cukup gemilang dalam lomba daya saing global tahun ini karena naik lima tingkat, dari urutan ke-41 tahun lalu menjadi 36. Namun diantara negara ASEAN, posisi Indonesia masih berada di bawah Singapura (3), Malaysia (23) dan Thailand (32).
Dalam kelompok negara G-20, Indonesia berada pada urutan ke-11, di bawah Arab Saudi (30), dan di atas Rusia (38), India (40), Italia (43), dan lima negara berkembang lain.
Walaupun masih di bawah peringkat tahun 2014 (posisi 34) namun kenaikan peringkat daya saing Indonesia kali ini cukup menggembirakan karena didukung 10 dari 12 pilar daya saing. Pilar pendidikan tinggi dan pelatihan menurun satu tingkat (ke-64), dan pilar inovasi tetap pada posisi ke 31.
Lonjakan daya saing Indonesia tahun ini berkat kinerja yang cukup baik bidang ekonomi makro, kecanggihan berusaha, dan infrastruktur. Pilar ekonomi makro naik empat tingkat ke 26. Ini berkat dukungan tingkat tabungan nasional yang relatif tinggi (32,5% PDB, posisi 19) dan utang pemerintah yang relatif rendah (27,85% PDB, posisi 21).
Pilar kecanggihan berusaha (business sophistication) juga naik tujuh tingkat menjadi posisi ke 32. Penyebabnya antara lain karena kualitas pemasok lokal yang semakin baik. Lantas proses produksi yang semakin canggih, jangkauan rantai nilai yang semakin luas serta persaingan usaha yang membaik.
Daya saing Indonesia juga meningkat karena pembangunan Infrastruktur yang masif, baik di bidang transportasi maupun di bidang listrik dan telekomunikasi. Infrastruktur transportasi naik enam tingkat, menempati posisi 30, terutama disebabkan perbaikan kualitas prasarana jalan, bandara dan kereta api. Kualitas infrastruktur pelabuhan juga meningkat walaupun kecil. Jumlah kursi pesawat terbang dan jumlah telepon genggam per 100.000 penduduk menempati posisi ke-14 dan 18 dunia.
Kenaikan peringkat daya saing Indonesia juga disebabkan perbaikan kinerja lembaga pemerintah yang lebih baik setahun terakhir ini. Indikator akuntabilitas belanja pemerintah dan manfaat peraturan pemerintah berada pada posisi ke-25 dan ke-27, masing-masing naik 5 dan 10 tingkat. Aspek etika dan korupsi serta efisiensi sektor publik juga menunjukkan perbaikan yang signifikan, walaupun posisinya masih di 30-40.
Tak cuma itu, lembaga swasta juga mengalami kenaikan tingkat daya saing, yang ditunjukkan dengan perbaikan akuntabilitas perusahaan (naik 12 tingkat, ke posisi 45).
Jaga stabilitas ekonomi makro
Dalam pilar efisiensi pasar barang, berbagai paket kebijakan ekonomi yang ditetapkan pemerintah selama tiga tahun terakhir ini menunjukkan perubahan positif yang signifikan. Beberapa indikator mengalami kenaikan peringkat cukup besar, seperti waktu untuk memulai bisnis, efektivitas kebijakan anti persaingan, intensitas persaingan lokal, prosedur memulai usaha, hambatan perdagangan, dan prosedur kepabeanan. Secara keseluruhan kondisi persaingan domestik lompat hingga 29 tingkat, mengantarkan Indonesia pada posisi ke-39 dunia.
Patut dicatat bahwa Indonesia berada pada urutan ke-12 dalam hal lelang pemerintah untuk produk teknologi maju, setara dengan kinerja negara maju. Ini membuat World Economic Forum menyebut Indonesia sebagai salah satu inovator terkemuka di emerging markets.
Adapun kelemahan utama Indonesia adalah dalam pilar efisiensi pasar tenaga kerja, yang berada pada posisi ke-96. Posisi yang sangat rendah ini disebabkan biaya redundansi yang besar, partisipasi perempuan yang rendah dalam komposisi tenaga kerja, dan kekakuan dalam penentuan upah. Kelemahan yang lain pada pilar kesehatan dan pendidikan dasar (94) dan kesiapan teknologi (80).
Melihat hasil itu, Pemerintah Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) jangan lantas berpuas diri. Sebab negara lain juga tengah berupaya mendongkrak peringkat daya saing. Jika lengah, posisi Indonesia bisa terjungkal.
Untuk itu, pemerintah dan dunia usaha perlu bersama-sama mengupayakan agar daya saing Indonesia naik kelas, setidaknya mendekati Malaysia. Tujuannya bukan untuk memperoleh pujian dari dalam atau luar negeri, melainkan untuk meningkatkan produktivitas perusahaan nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan negara lain.
Tindakan minimal pemerintah adalah menjaga stabilitas lingkungan ekonomi makro, meningkatkan efisiensi pemerintahan, menghapus peraturan penghambat usaha dan membuat aturan untuk menjaga transformasi ekonomi berlangsung tanpa korban seperti di angkutan publik.
Di samping membenahi bidang yang posisinya masih terbelakang, pemerintah perlu mendorong inovasi di berbagai sektor usaha. Pemerintah juga dituntut bisa menggairahkan aplikasi paten yang peringkatnya sangat rendah (97). Penemuan dan pendaftaran paten adalah salah satu langkah penting untuk membawa Indonesia meningkat ke kelas lebih tinggi, yaitu menjadi negara yang ekonominya didorong oleh inovasi seperti yang dilakukan negara maju saat ini.
Strategi ini mengacu pada pandangan Michael E. Porter, pakar manajemen terkemuka dari Harvard University, bahwa inovasi adalah kunci untuk meningkatkan produktivitas, dan produktivitas adalah kunci untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa.
Pemerintah perlu perbanyak infrastruktur riset, memberikan insentif finansial dan non-finansial agar inovasi dalam desain, proses produksi, pengiriman, pengelolaan dan pembiayaan berbasis internet berlangsung secara luas di banyak perusahaan besar dan kecil. Kerja sama antara pemerintah, dunia usaha dan perguruan tinggi secara sistematis, konsisten dan terukur perlu dilakukan. Pemerintah perlu membentuk unit kerja baru atau merevitalisasi lembaga yang ada untuk menyiapkan dan mengawal peningkatan produktivitas nasional seperti yang dilakukan di banyak negara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News