Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi
Disrupsi teknologi telah mengubah perilaku masyarakat, termasuk mengubah produk dan layanan yang ditawarkan oleh industri. Contohnya di layanan peminjaman uang.
Minat masyarakat berinvestasi dan meminjam melalui aplikasi yang disediakan perusahaan fintech peer to peer lending (P2PL) terus meningkat. Sampai dengan Mei 2019, pinjaman yang disalurkan lewat aplikasi P2PL mencapai Rp 41 triliun, tumbuh 81% dibandingkan dengan awal tahun. Menurut data OJK, nilai itu meningkat 566% dibandingkan dengan Mei 2018.
Bagi pemberi pinjaman, ada peluang mendapatkan imbal hasil menjanjikan di tengah tren suku bunga yang melandai. Apalagi keuntungan investasi ini sepertinya tak dikenai pajak. Bagi peminjam, mereka dapat memperoleh pinjaman lebih mudah dan cepat, meski bunga pinjaman umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan pinjaman bank.
Pada dasarnya, inovasi yang dapat menyelesaikan masalah akan menjadi pemenang dalam kompetisi, apalagi meluncur pada saat yang tepat. Layanan P2PL muncul ketika masih banyak masyarakat atau usaha kecil tidak bisa mengakses pinjaman perbankan karena terganjal berbagai persyaratan.
Melihat potensi ini dan didukung penetrasi internet dan smartphone yang semakin luas, perusahaan fintech P2PL semakin agresif memperluas layanannya di masyarakat. Potensi penyaluran pinjamannya memang besar.
Menurut data PwC, tahun 2018, dari 186 juta masyarakat usia kerja dengan tingkat pengeluaran per kapita menengah ke bawah, ada 71% yang tidak memiliki akses ke pinjaman formal. Dari sekitar 63 juta UMKM, hampir tiga perempatnya juga tidak memiliki akses pinjaman formal.
Belakangan ini fintech P2PL semakin gencar menyalurkan pinjaman, terutama ke usaha mikro dan kecil, baik berupa pinjaman modal kerja maupun investasi. Pinjaman disalurkan melalui beragam cara.
Ada yang bekerjasama dengan bank dalam bentuk channeling pinjaman, serta kerjasama dengan berbagai marketplace untuk membiayai para penjual yang mayoritas pengusaha mikro dan kecil. Ada pula yang menyalurkan langsung kepada pelaku usaha mikro dan kecil tanpa melalui kerjasama dengan pihak lain.
Apa dampak perkembangan fintech P2PL bagi perbankan? Tren penyaluran P2PL yang terus meningkat berpotensi mengurangi dana pihak ketiga (DPK) yang dapat dihimpun perbankan. Implikasi lainnya, layanan ini mengambil potensi pasar penyaluran pinjaman, bahkan dapat menggerus pangsa pasar pinjaman yang sudah dimiliki perbankan.
Terkait DPK, alih-alih menyimpan di bank, pemberi pinjaman P2PL lebih memilih menyalurkan dana ke para peminjam P2PL karena potensi imbal hasil lebih tinggi. Sejak kuartal III-2017, pertumbuhan DPK perbankan dalam tren menurun (yoy), dari kisaran 12% menjadi 7% di Mei 2019.
Sebaliknya, penyaluran pinjaman tumbuh dari kisaran 7% menjadi 11% di periode yang sama. Meski penyaluran pinjaman tumbuh, DPK yang melambat akan menahan laju pertumbuhan pinjaman.
Meskipun ada banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya pertumbuhan DPK, meningkatnya preferensi menyalurkan pinjaman lewat platform P2PL perlu diantisipasi oleh perbankan.
Pertumbuhan DPK yang melambat, selain menahan pertumbuhan kredit, berpotensi mengurangi pendapatan berbasis komisi dari berbagai transaksi nasabah. Hal ini karena transaksi hanya akan terjadi jika nasabah memiliki dana di bank. Di tengah persaingan ketat mendapatkan DPK dan menyalurkan pinjaman, meningkatkan pendapatan non bunga menjadi strategi penting untuk mempertahankan bahkan meningkatkan pendapatan perbankan.
Untuk meningkatkan DPK, terutama dana murah, bank dapat menerapkan berbagai strategi. Salah satunya adalah strategi akuisisi payroll dimana pinjaman kepada institusi atau perusahaan dikaitkan dengan akuisisi rekening gaji. Biasanya masyarakat menjadikan rekening gaji sebagai sumber berbagai transaksi untuk konsumsi dan utilitas. Selain mendapatkan dana murah berupa tabungan, bank memperoleh komisi atas berbagai transaksi nasabah.
Keuntungan lainnya, bank mendapatkan basis nasabah untuk ditawarkan kredit konsumsi lain. Misalnya, kredit perumahan, kredit kendaraan bermotor, kartu kredit, hingga produk deposito.
Strategi lainnya adalah menjalin kerjasama dengan berbagai institusi yang memberikan pelayanan kepada masyarakat luas, seperti BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, hingga lembaga pendidikan agar mau menyimpan dana di bank. Tujuannya untuk memperbanyak nasabah, meraup dana murah dan meningkatkan pendapatan berbasis komisi.
Maraknya penyaluran pinjaman melalui platform P2PL adalah momentum bagi ban untuk meningkatkan digitalisasi penyaluran pinjaman. Saat ini memang sebagian besar bank telah menyediakan layanan digital. Tapi mayoritas hanya untuk transaksi pembayaran, kirim dana atau pembukaan rekening.
Yang juga mendesak dikembangkan adalah layanan digital pemberian pinjaman, seperti dilakukan aplikasi P2PL. Terdigitalisasi artinya berbagai persyaratan konvensional seperti verifikasi fisik dan ketersediaan dokumen fisik dapat dikurangi bahkan dihilangkan karena semua dapat dilakukan secara digital. Untuk itu, perlu dukungan regulasi yang sesuai perkembangan teknologi.
Agar efektif dan cepat, layanan ini bisa dilakukan melalui aplikasi (apps) yang saat ini menjadi point of contact yang sangat efektif antara konsumen dan berbagai penyedia jasa, termasuk bank. Untuk memitigasi risiko kredit, layanan pinjaman digital bisa dimulai kepada pelaku UMKM yang risikonya cukup kecil.
Misalnya kepada para rekanan dan pemasok untuk proyek di kementerian, lembaga pemerintah atau terkait rantai pasok nasabah bank yang prudent. Nilai lebih bank dibandingkan fintech P2PL adalah bunga pinjaman bisa lebih rendah, jumlah nasabahnya banyak dan memiliki jaringan luas.
Dengan jumlah nasabah yang besar, bank harus lebih proaktif mengoptimalkan analisis big data untuk memahami perilaku nasabah. Tujuannya agar produk atau layanan dan pricing benar-benar menjawab kebutuhan nasabah.
Dengan kian masifnya masyarakat berbelanja online, lewat analisis big data perbankan bisa mengidentifikasi peluang bisnis yang dapat disediakan. Misalnya, memberi pinjaman konsumsi berjangka pendek bagi masyarakat agar dapat tetap berbelanja online di periode volume transaksi belanja online biasanya tercatat rendah.♦
Bobby Hermanus
Analis Mandiri Institute
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News












