Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Ekonomi digital terus berkembang. Mengutip United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), saat ini belanja online di negara maju dilakukan hampir dua pertiga penduduknya.
Secara global, nilai transaksi belanja online meningkat. Dibandingkan delapan tahun lalu, nilai transaksi business to consumer (B2C) terhadap PDB global naik tiga kali lipat, dari 0,5% menjadi 1,5%. Di Indonesia, ekonomi berbasis internet setara 3% PDB, rata-rata tumbuh 49% antara 2015 hingga 2018 (Google Temasek, 2018). Pada 2018 nilainya US$ 27,2 miliar. Berdasarkan empat sektor utama ekonomi digital, proporsi perdagangan online mencapai 45%, diikuti travel online (32%), transportasi online dan pengantaran makanan (14%), serta media online (10%).
Ekonomi digital adalah penerapan teknologi digital berbasis internet untuk kegiatan produksi dan perdagangan barang atau jasa. Ekonomi digital butuh infrastruktur teknologi memadai seperti jaringan internet, hardware dan software pendukung, hingga layanan telekomunikasi. Contohnya, penyaluran pinjaman oleh perusahaan teknologi finansial membantu masyarakat dan UMKM meraih akses pembiayaan. Per Oktober 2018, peminjam melalui aplikasi peer to peer lending menjadi 2,8 juta akun, naik 11 kali lipat dibanding akhir 2017, sementara nilai pinjaman naik enam kali lipat menjadi Rp 16 triliun (OJK).
Mengutip riset Google dan Temasek, nilai investasi ekonomi digital di ASEAN meningkat. Pada 2015, investasi dari private equity, modal ventura, dan investor korporasi di empat sektor utama ekonomi digital mencapai US$ 1,1 miliar. Di 2016, nilainya naik lebih dari empat kali jadi US$ 4,7 miliar, kemudian di 2017 US$ 9,4 miliar. Di semester I 2018 nilainya US$ 9,1 miliar, naik 2,5 kali lipat dari periode sama 2017. Setengah nilai investasi 2018 masuk transportasi online dan pengantaran makanan, 30% ke perdagangan online. Singapura dan Indonesia menjadi dua negara tujuan investasi dengan proporsi masing-masing 75% dan 20%.
Meski banyak berefek positif, ekonomi digital punya catatan. Pertama, efek perdagangan online terhadap sektor ritel. Perdagangan online yang kian marak dikhawatirkan menambah pengangguran dan mengurangi daya saing di ritel tradisional. Bagi investor, penting memastikan semua sektor tumbuh bersama.
Kedua, terkait akuisisi atau penyertaan modal secara masif dari asing ke perusahaan lokal. Implikasinya, perusahaan lokal beralih ke penguasaan asing, termasuk penguasaan data. Soal ini, investor perlu kejelasan mengenai kebijakan kepemilikan asing di perusahaan lokal.
Ketiga, terkait perpajakan. Ekonomi digital yang banyak disokong UMKM butuh insentif, baik pajak maupun non-pajak, untuk mendukung pertumbuhan. Saat ini ada beberapa tantangan dalam mengembangkan ekonomi digital di Indonesia.
Kualitas jaringan internet belum merata. Selain itu, masih belum ada sistem pembayaran yang menjangkau konsumen lebih luas. Ketersediaan talent di bidang teknologi, juga menjadi tantangan. Banyak startup lokal sulit menemukan talent untuk mengembangkan berbagai platform digital. Akibatnya, mereka mendatangkan talent dari luar negeri atau mengalihdayakan ke talent di luar negeri. Tantangan lain adalah bagaimana pemerintah mengumpulkan data ekonomi digital, seperti data perdagangan online demi pengambilan kebijakan yang lebih baik.
Saat ini, kebijakan yang mendorong transisi menuju ekonomi digital menjadi prioritas utama berbagai negara, tak terkecuali Indonesia. Pertama, perlakuan pajak terhadap perdagangan online perlu didesain sedemikian rupa agar menciptakan keseimbangan antara mendorong pertumbuhan industri dan mengoptimalkan penerimaan pajak. Kedua, pemerintah menyediakan sebanyak mungkin data yang dapat diakses publik. Ini harus menjadi prioritas jangka pendek. Saat ini, banyak data yang tersedia dari pemerintah namun dengan cakupan kurang detail. Ini tentu mengurangi kedalaman insight yang dapat digali dari data itu. Sementara untuk memperoleh data yang lebih detail perlu biaya cukup besar. Memastikan ketersediaan data lebih beragam, berkualitas, murah dan mudah diakses menjadi penting agar masyarakat, dunia pendidikan, pebisnis dan pemerintah dapat membuat keputusan lebih baik.
Ketiga, perlu dipertimbangkan insentif pajak untuk perusahaan yang membeli peralatan teknologi informasi dan komunikasi dan software untuk tranformasi digital. Ini telah dilakukan Malaysia dan Thailand. Dapat juga insentif non-pajak, misalnya izin kerja bagi pekerja asing dengan keahlian khusus di teknologi digital. Syaratnya, perusahaan wajib transfer keahlian ke pekerja lokal.
Keempat, terus meningkatkan inklusi keuangan. Perlu dukungan sistem pembayaran menggunakan channel elektronik, misalnya ATM, internet banking atau dompet elektronik.
Seharusnya masyarakat kian dipermudah menyimpan uang di bank, misalnya dengan penyederhanaan syarat pembukaan rekening, mengurangi biaya, menjangkau masyarakat melalui agen bank, hingga memperluas transaksi nontunai. •
Bobby Hermanus
Peneliti Mandiri Institute
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News