| Editor: Tri Adi
Konsumsi masyarakat merupakan share atau penyumbang terbesar bagi perekonomian Indonesia. Prosentase konsumsi terhadap total perekonomian mencapai 55% atau jauh lebih besar bila dibandingkan dengan pengeluaran pemerintah (9%) dan investasi (30%). Oleh sebab itu, tingkat pertumbuhan konsumsi harus ditingkatkan atau setidaknya terjaga untuk bisa mencapai pertumbuhan ekonomi yang sudah ditargetkan pemerintah.
Beberapa tahun terakhir, tingkat konsumsi masyarakat Indonesia dinilai stagnan tumbuh di sekitar 5%. Padahal pada tahun 2012, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat konsumsi masyarakat masih mampu tumbuh sebesar 5,49%. Namun selanjutnya terus mengalami penurunan menjadi 5,15% (2014), dan kemudian anjlok lagi 4,96% (2015), dan di paruh pertama tahun ini juga terpangkas tipis menjadi 4,94%.
Tertahannya konsumsi juga terlihat dari tingkat pertumbuhan Indeks Penjualan Rill (IPR) yang dibuat Bank Indonesia (BI). Secara umum, IPR mengalami tren penurunan dari tahun 2016 hingga September 2017 kemarin. Kelompok barang yang mengalami tren penurunan cukup tajam adalah kelompok non makanan, seperti peralatan komunikasi, perlengkapan rumah tangga, serta produk pakaian.
Lalu apa saja faktor membuat tertahannya tingkat pertumbuhan konsumsi masyarakat saat ini? Pertama, kenaikan harga barang yang diatur pemerintah atau istilahnya administered price. Kenaikan disebabkan berubahnya skema subsidi energi dari barang langsung ke orang yang berhak menerima.
Tujuan dari kebijakan tersebut adalah agar subsidi mencapai tepat sasaran. Namun dalam jangka pendek kebijakan tersebut justru bisa menekan konsumsi masyarakat yang selama ini turut merasakan barang subsidi tersebut meskipun tidak berhak.
Misalnya, kenaikan tarif dasar listrik (TDL) golongan 900 VA, dengan jumlah pengguna terbanyak berasal dari kelas menengah ke bawah. Kenaikan yang sangat signifikan di listrik membuat masyarakat perlu mengatur ulang keuangan rumah tangganya terutama alokasi untuk konsumsi.
Kedua, pengeluaran operasional pemerintah cenderung stagnan. Dalam dua tahun terakhir, misalnya, gaji pegawai negeri sipil (PNS) tidak mengalami kenaikan dan cenderung mengurangi kegiatan di luar kota yang dapat berdampak terhadap sektor rumah makan (restoran), perhotelan, jasa travel, dan lainnya. Sehingga hal tersebut mempengaruhi kemampuan daya beli.
Ketiga, terdapat kebijakan yang cenderung menekan konsumsi. Misalnya kebijakan pembukaan informasi rekening tabungan untuk pajak, pembatasan kartu kredit, dan penambahan pajak untuk rumah-rumah yang tidak dipakai atau disewakan. Kebijakan yang memiliki tujuan yang baik tetapi efek sampingnya ada masyarakat butuh waktu penyesuaian mendorong konsumsi
Menunda kenaikan tarif
Secara siklus, konsumsi masyarakat pada kuartal III dan IV cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan kuartal II yang memiliki momentum hari libur yang panjang, Lebaran, dan tahun ajaran baru untuk sekolah dan universitas. Nah, apabila tidak ada upaya untuk mendorong daya beli di kuartal terakhir ini maka tingkat konsumsi masyarakat akan cenderung stagnan atau malah bisa turun selama tahun 2017.
Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mendorong konsumsi masyarakat di akhir tahun nanti. Pertama, mengeluarkan stimulus berupa paket kebijakan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat dan perusahaan. Pemerintah harus mendapat kepercayaan dari masyarakat agar tidak takut membelanjakan uangnya dan pihak swasta tidak takut untuk ekspansi usaha. Hal yang mudah dilakukan adalah dengan menghindari kebijakan yang kontraproduktif dengan dalih untuk dongkrak target penerimaan negara.
Kedua, optimalisasi pengeluaran atau belanja pemerintah pusat pada kuartal IV-2017. Setelah di kuartal-kuartal sebelumnya pengeluaran pemerintah masih sangat terbatas karena pendapatan yang masih di bawah target maka diharapkan pada kuartal IV-2017 ini belanja negara dapat lebih dioptimalkan lagi. Kondisi tersebut sebagai upaya pencapaian target realisasi belanja di akhir tahun. Dengan demikian, percepatan belanja pemerintah dapat meningkatkan konsumsi masyarakat.
Ketiga, mendorong realisasi belanja dana pemerintah daerah (pemda). Memasuki kuartal III-2017, dana pemda yang parkir di bank masih sekitar Rp 220 triliun. Masih sangat besar dan lebih tinggi bila dibandingkan jumlah tahun lalu. Upaya untuk mendorong realisasi anggaran di akhir tahun perlu dilakukan untuk meningkatkan meningkatkan peredaran uang di daerah sehingga konsumsi masyarakat dapat lebih terdorong.
Keempat, menunda kenaikan harga barang yang diatur pemerintah (administered price). Apabila sesuai dengan rencana terdapat penyesuaian atau rencana kenaikan untuk TDL 450 VA, bahan bakar minyak (BBM), dan LPG 3 kg di semester II-2017.
Dengan penundaan kenaikan tersebut diharapkan daya beli juga terjaga mengingat peningkatan harga di semester I-2017 dicurigai signifikan terhadap daya beli masyarakat. Penundaan kenaikan tarif tersebut diharapkan bisa ditahan sampai paruh pertama 2018. Sehingga konsumsi bisa terjaga seiring dengan ekspektasi masyarakat yang ingin kebutuhannya juga bisa terjaga.
Kelima, mempercepat penyaluran bantuan non-tunai kepada masyarakat. Bantuan sosial merupakan cara yang paling efektif untuk menaikkan tingkat konsumsi masyarakat. Sebab pada umumnya masyarakat penerima bantuan tidak punya tabungan sehingga bantuan akan habis dibelanjakan.
Naiknya konsumsi masyarakat mendorong perusahaan untuk bisa ekspansi. Efeknya adalah pinjaman perbankan bisa melonjak dan pada ujungnya adalah ekonomi kembali tumbuh. (Tulisan ini merupakan pendapat pribadi).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News