kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mendorong start up ke arah go public


Kamis, 26 Juli 2018 / 13:33 WIB
Mendorong start up ke arah go public
ILUSTRASI. ILUSTRASI OPINI - Mendorong Start Up ke Arah Go Public


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Saat ini usaha rintisan (start up) di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik, dari segi kuantitas maupun kualitas. Masuknya investor global juga mendorong laju pertumbuhan industri ini. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan, selama tahun 2017 total suntikan dana asing ke sejumlah start up mencapai US$ 4,8 miliar dollar atau kurang lebih Rp 64,8 triliun. Tidak heran jika kemudian beberapa rintisan lokal, seperti Go-Jek, Tokopedia dan Traveloka, berhasil memperoleh predikat Unicorn.

Kontradiktif dengan kondisi tersebut, belum banyak perusahaan rintisan yang go public lewat penawaran saham perdana alias initial public offering (IPO). Hingga kini, baru tiga perusahaan bidang teknologi dan e-commerce yang mencatatkan namanya di papan bursa: MCAS, NFCX, dan KIOS (Harian KONTAN, Juli 2018). Para unicorn justru belum listing ke bursa.

Salah satu aturan utama Bursa Efek Indonesia (BEI) yang menyulitkan start up bisa listing di bursa adalah ketentuan perusahaan harus sudah menghasilkan laba pada satu tahun buku terakhir (di papan utama). Atau proyeksi dua tahun harus menghasilkan laba (papan pengembangan).

Berbeda dengan bisnis konvensional, perusahaan start up pada umumnya pada tahap awal lebih berfokus pada pertumbuhan (growth) daripada keuntungan (profit). Dilihat dari segi model bisnis dan juga siklus usahanya, strategi mereka adalah mengakumulasi user base secara masif di awal, baru kemudian melakukan monetisasi atas bisnis mereka. Konsekuensinya, tidak segan-segan investor start-up menggelontorkan dana besar sebagai kompensasi strategi pertumbuhan itu. Misalnya, banyak start up memberikan gimmick diskon harga besar-besaran. Konsekeuensinya, hampir sebagian besar perusahaan start-up mencatatkan rugi dalam beberapa tahun awal operasi.

Bisa dipahami, ketentuan menghasilkan laba memang menjadi syarat penting bagi perusahan yang ingin listing di bursa. Hal ini merupakan tugas BEI sebagai self-regulating body memberikan keamanan bagi investor. Seorang investor yang menanamkan uang di pasar saham tentu dengan keinginan mendapatkan potensi keuntungan (gain) baik dari pembayaran dividen maupun dari apresiasi nilai saham yang dibeli. Sebuah bisnis yang terus-terusan merugi tentu tidak akan sustainable dan tidak akan mampu memberikan gain bagi investor.

Dari sisi perusahaan, IPO adalah salah satu cara untuk memperoleh pendanaan untuk ekspansi dan me- leverage skala bisnis untuk meningkatkan profit. Berbeda dengan pinjaman, IPO tidak menimbulkan beban bunga bagi perusahaan yang dapat menggerus profit. IPO hanya mendilusi persentase kepemilikan saham para investor awal karena sebagai konsekuensinya bertambahnya saham beredar (outstanding shares). IPO ini juga memberikan kesempatan bagi masuknya investor baru ke dalam perusahaan, baik investor institusional maupun individu.

Lantaran perusahaan start up punya potensi, tentu masuk akal bia BEI memberi harapan bagi start-up agar bisa listing. Tanpa adanya kemudahan, start up sulit meraih pendanaan dan berkembang dan tetap menjadi milik investor asing.

Salah satu bentuk kemudahan yang bisa ditawarkan BEI adalah memberikan relaksasi untuk ketentuan atas periode kerugian. Misalnya memperpanjang periode loss dari dua tahun menjadi lima tahun khusus untuk perusahaan start-up.

Lainnya dengan membuat alternatif standar persyaratan listing layaknya di New York Stock Exchange (NYSE). Sebagai contoh ketentuan harus sudah untung bisa digantikan dengan syarat jumlah pendapatan (revenue) yang signifikan lebih besar dari ketentuan normal.

Contoh terbaru adalah bagaimana Dropbox Inc dan Spotify berhasil listing di bursa kendati masih membukukan rugi. Lebih jauh, lebih dari tiga perempat dari total 108 perusahaan yang berhasil IPO di Amerika tahun 2017 melaporkan kerugian sebelum listing di bursa saham (Wall Street Journal, Maret 2018).

Valuasi start up

Valuasi start-up juga menjadi kendala yang menghambat perusahaan start-up untuk go public. Berbeda dengan bisnis konvensional yang asetnya berwujud (tangible), hampir semua perusahaan start up mempunyai aset tidak berwujud (non-tangible asset) dalam bentuk kekayaan intelektual (intellectual property) dan juga software yang nilainya jauh lebih besar dari aset berwujud. Mengukur nilai aset non-tangible ini cukup sulit, berbeda dengan aset tangible yang bisa diukur dari nilai historis atau nilai wajar.

Valuasi perusahaan sangat krusial, karena untuk menentukan berapa harga saham yang ditawarkan pada saat IPO. Harga saham per lembar pada saat IPO diperoleh dengan cara membagi nilai perusahaan (enterprise value) dengan jumlah saham yang beredar. Untuk perusahaan konvesional, valuasi akan lebih mudah dilakukan. Pendekatan dividend discount model (DDM) atau discounted cash flow (DCF) dapat dengan mudah diterapkan.

Dua metode itu sulit diterapkan di perusahaan start up. Cashflow yang masih negatif dan belum adanya pembayaran dividen, karena masih rugi, mengharuskan penilaian dengan menggunakan metode lain. Beberapa metode yang bisa diterapkan antara lain dengan menghitung nilai perusahaan dengan menggunakan bilangan pengali dari sales atau revenue. Bisa juga dengan pendekatan comparable method, misalnya membandingkan jumlah pengguna dengan perusahaan yang sudah listing. Cara ini tetap sulit diterapkan karena harus ada pembanding sejenis.

Namun, ada manfaat bila BEI memberi jalan start up untuk go public. Start-up mempunyai peluang berkembang untuk melayani permintaan bonus demografi.

Hadirnya start-up di lantai bursa diharapkan mampu memberikan semangat bagi para entrepreneur muda untuk mendirikan dan mengembangkan bisnis. Bermunculannya usaha rintisan ini juga bisa menampung tenaga kerja serta menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi. Harapan ke depan adalah bertumbuhnya para champion start up lokal yang berskala global tetapi juga dimiliki oleh para investor lokal.

Tantangan bagi perusahaan start up adalah membuat model bisnis yang baik disertai dengan revenue model yang sustainable. Pengeluaran kas secara masif wajar saja dilakukan untuk marketing dan mengakuisisi user di tahap awal perusahaan. Namun hal ini tidak bisa dilakukan secara terus-menerus. Pada suatu tahap perusahaan harus menghasilkan profit dan cashflow yang positif.

Bagi investor hadirnya perusahaan start up di bursa saham akan menambah pilihan investasi disesuaikan dengan profil dan toleransi terhadap risiko. Start up menawarkan potensi pertumbuhan nilai saham dalam jangka panjang. Namun demikian, penilaian atas fundamental dan model bisnis perusahaan, serta kehati-hatian tetap diperlukan dalam menentukan perusahaan mana yang berpotensi untuk meningkatkan shareholder value dan layak untuk dijadikan investasi.•

Rizal Fatkhur Rohman
Postgraduate Student Business School
University of Western Australia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×