kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menelaah Peluang RCEP Bagi Indonesia


Selasa, 24 November 2020 / 11:40 WIB
Menelaah Peluang RCEP Bagi Indonesia
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Babak baru pembentukan pakta perdagangan baru saja disepakati. Negara-negara ASEAN, bersama dengan lima negara mitra dari kawasan Indo-Pasifik menyetujui apa yang disebut dengan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) pada 15 November 2020. Dengan beranggotakan negara ASEAN beserta Australia, China, Jepang, Korea Selatan, serta Selandia Baru, RCEP adalah pakta perdagangan dengan proporsi sekitar 30% dari populasi dunia dan 30% dari Produk Domestik Bruto (PDB) global. Secara historis, Indonesia berperan penting dalam pembentukan kerjasama perdagangan ini karena menjadi usulan dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Bali tahun 2011.

Salah satu poin penting dari skema perjanjian RCEP adalah target eliminasi 90% tarif impor antar negara-negara anggota yang akan sepenuhnya direalisasikan 20 tahun mendatang. Dengan kerjasama ini, perdagangan dunia diproyeksikan akan meningkat sebesar US $ 186 miliar.

Tapi tidak semua negara melihat manfaat yang maksimal dari kerjasama tersebut. India yang sebelumnya menjadi calon anggota, memutuskan keluar atas kekhawatiran bahwa perjanjian tersebut justru berpotensi meningkatkan ketergantungan dengan produk-produk impor.

Bagi India, dumping produk impor terutama akan membuat banjir masuknya komoditas, antara lain produk-produk pertanian dari Australia dan Selandia Baru, dan barang-barang elektronik, terutama dari China. Format kesepakatan RCEP mengharuskan India untuk menghapus tarif atas lebih dari 70% barang dari China, Australia dan Selandia Baru, dan hampir 90% barang dari Jepang, Korea Selatan dan Asean.

Dari data Bloomberg ditemukan bahwa sejak 2013, India mengalami defisit sebesar 60% dari volume perdagangan dengan negara-negara Asia. Sebagai contoh pada 2019, India mengekspor sebanyak 2.8 juta twenty-footer equivalent units (TEUs) kontainer dan sebaliknya menerima impor sebesar 8 juta TEUs. Tidak mengherankan jika ketidakseimbangan kargo keluar masuk itu menyebabkan defisit neraca transaksi berjalan sejumlah US$ 105 miliar dengan separuhnya merupakan defisit perdagangan terhadap China.

Serupa dengan India, hubungan perdagangan antara Indonesia dengan mayoritas negara anggota RCEP juga tidak seimbang. Setidaknya pada 2019 lebih dari 67% proporsi impor Indonesia berasal dari negara anggota RCEP, lebih tinggi jika dibandingkan dengan persentase ekspor yang hanya sebesar 57%. Sebagai tambahan, secara rata-rata, selama periode tahun 2014 - 2019 negara-negara anggota RCEP menyumbangkan defisit US$ 18 miliar di neraca perdagangan Indonesia.

Mencari peluang RCEP

Asia merupakan kontributor terbesar dari perdagangan global. Dari data Bloomberg disebutkan bahwa volume perdagangan intra-Asia sebesar 25% dari seluruh perdagangan global. Hingga Agustus 2020 terdapat sekitar 170 juta TEUs kargo diperdagangkan di dunia, di mana sebesar 43 jutanya berputar di negara-negara Asia. Dari sini ada beberapa peluang yang bisa dimanfaatkan berkaitan dengan biaya logistik

Meskipun China selalu terlihat sebagai negara dengan kekuatan pasar yang kuat, pola perdagangan China umumnya menunjukkan ketidakseimbangan kargo. Dengan kata lain, volume kargo ekspor China berada dalam kondisi kontainer penuh, sementara volume impor nya relatif lebih kecil. Hal ini yang menyebabkan biaya transportasi (freight rate) ekspor ke China lebih murah dari impor.

Misalnya biaya ekspor komoditas Eropa masuk ke China hanya 77% daripada rute sebaliknya, sementara dari West Coast Amerika ke China hanya 20% dari rute sebaliknya, dari Mediterania hanya sebesar 50% dari rute sebaliknya. Kargo yang tidak seimbang menyebabkan repositioning (repo) kontainer kosong kembali ke China menjadi salah satu celah untuk diisi kargo ekspor dengan biaya yang lebih rendah.

Indonesia menikmati celah tersebut. Dalam kondisi normal sebelum-Covid-19, biaya ekspor ke China kurang lebih hanya sekitar US$ 50- US$ 60 per TEU sementara biaya impor sekitar US$ 200 -2 US$ 250 per TEU. Hal ini berkorelasi dengan isi kargo umumnya ful masuk Indonesia dan hanya 30%-40% dari Indonesia ke China. Biaya ekspor ke China jauh lebih murah dari tarif domestik rute Jakarta-Belawan (pada kisaran Rp 3 juta - Rp 4 juta) atau Jakarta-Sorong (Rp 14 juta - Rp 16 juta).

Dengan fakta ini, RCEP seharusnya tidak hanya dilihat sebagai tujuan akhir, tapi harus dibarengi dengan kebijakan sektor perindustrian yang lebih komprehensif secepat mungkin. Dengan skema ini, siapapun yang memiliki kargo dan pasar akan menghadapi biaya transportasi yang cenderung semakin murah dan hambatan perdagangan yang semakin minimal.

Namun demikian ada hal menarik berdasarkan studi dari Martinez-Zarzoso pada 2008 di jurnal Applied Economics yang menunjukkan bahwa biaya transportasi memiliki dampak yang tidak seragam antar negara. Penurunan biaya akan memberikan pengaruh yang lebih besar kepada negara dengan high-value added products daripada yang negara dengan low value-added products.

Perlu analisa lebih detail apakah tren penurunan biaya logistik memberikan manfaat kepada Indonesia atau justru negara lain. Sekedar gambaran, portofolio ekspor Indonesia menunjukkan peningkatan proporsi ekspor batubara yang tajam dari hanya 5% pada 2005 menjadi 25% di 2019.

Data dari World Integrated Trade Solution (WITS) juga menyiratkan pesan yang sama bahwa mayoritas ekspor Indonesia ke negara-negara Asia Timur dan Pasifik pada 2018 adalah bahan bakar, sedangkan mayoritas impornya adalah produk-produk mesin dan elektronik. Artinya komoditas impor Indonesia dari Asia Timur dan Pasifik, yang mayoritasnya adalah negara-negara anggota RCEP, memiliki nilai tambah yang relatif lebih tinggi daripada komoditas ekspor Indonesia. 

Dua temuan di atas konsisten dengan data di Trade in Value Added yang dikeluarkan OECD yang menunjukkan bahwa Indonesia memiliki backward value added yang rendah mengindikasikan keterlibatan kita dalam global value chain global sangat terbatas. Backward GVC Indonesia lebih rendah daripada Malaysia, Filipina, Thailand dan Vietnam.

Ini jadi salah satu rujukan India menunda ikut RCEP karena penurunan atau penghapusan tarif tidak meningkatkan ekspor berdasarkan karakteristik komoditas ekspornya. Dengan perangkat standar Marshallian Demand ekspor India lebih terpengaruh perubahan pendapatan daripada harga. Jadi RCEP kurang relevan.

Penulis : Ibrahim Kohlilul Rohman dan Asad Mahdi

Kepala Samudera Indonesia Research Initiative dan Alumni FEB UI

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×