Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - Data tampaknya masih menjadi problem klasik di Indonesia. Belum reda polemik data produksi padi antara Badan Pusat Statistik (BPS) dengan Kementerian Pertanian, belakangan muncul persoalan data produk domestik bruto (PDB). Pertumbuhan PDB Indonesia yang konstan di seputar 5% selama empat tahun terakhir di tengah konstelasi perekonomian dunia yang kurang kondusif memunculkan kecurigaan terhadap validitas data PDB terbitan BPS.
Dari dalam negeri, kritik atas validitas data PDB menyasar pada ketidaksesuaian antara data makro dengan kenyataan di tingkat mikro. Merdunya data pertumbuhan ekonomi nasional dipandang sering tidak sinkron dengan pertumbuhan ekonomi regional, apalagi pertumbuhan ekonomi sektoral.
Kesangsian terhadap data PDB juga datang dari luar negeri. Keterkaitan, interaksi, dan bahkan ketergantungan yang kuat antara perekonomian Indonesia dengan perekonomian global adalah keniscayaan. Kalkulasi analis asing, pertumbuhan ekonomi Indonesia mestinya turun dan kalau tubuh tidak lah stabil.
Kecurigaan itu lumrah. Dari ranah metodologi, data PDB di negara manapun di dunia ini adalah angka hasil estimasi. Banyak perhitungan komponen PDB didasarkan pada hasil survei berbasis sampel, kemudian ditarik ke atas menjadi layaknya data populasi.
Hal yang sama juga dihadapi BPS. Perhitungan PDB menurut sisi pengeluaran, berdasarkan belanja konsumsi rumah tangga hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Data pengeluaran rumah tangga Susenas terlalu rendah (underestimate), khususnya untuk kelompok makanan dan bukan makanan.
BPS lalu melakukan penyesuaian dengan menggunakan data sekunder dari sisi suplai yang berasal dari sumber lain di luar Susenas. Asumsi data sekunder sumber lain lebih mencerminkan belanja konsumsi rumah tangga masih bisa diperdebatkan. Intinya, agregasi data menjadi pangkal persoalan yang dihadapi dalam perhitungan PDB.
Komparasi dengan PDB pendekatan produksi semakin menaikkan tensi kecurigaan. Secara konseptual, perhitungan PDB atas dasar pengeluaran akan sama besar dengan PDB lewat pendekatan produksi. Artinya, nilai barang/jasa yang dijual produsen ekuivalen dengan nilai barang/jasa yang dibeli konsumen.
Selisih antara perhitungan PDB menurut lapangan usaha dengan PDB menurut jenis pengeluaran untuk 2018 mencapai Rp 86,8 triliun atau setara dengan 0,6% dari PDB. Angka diskrepansi statistik yang besar menunjukkan metode perhitungan yang kurang cermat sehingga membuka peluang pihak tertentu untuk bermain data.
Sisi lain, BPS tetap bersikukuh dengan keandalan data yang mereka publikasikan. Pengumpulan data perhitungan PDB yang dilakukan BPS senantiasa dimonitor oleh Forum Masyarakat Statistik. IMF (International Monetary Fund) pun datang ke BPS minimal sekali setahun untuk mengecek akurasi data.
Klaim BPS tersebut tentu tidak mengada-ada. Data resmi yang dirilis BPS toh masih sejalan dengan estimasi survei lembaga internasional lainnya. Mengutip Reuters, nilai tengah dari 17 analis memprediksi, PDB Indonesia pada kuartal III ini tumbuh 5,01% secara tahunan. Artinya, data PDB rilisan BPS sudah dengan sendirinya diakui kredibilitasnya.
Data berbasis penerimaan
Sampai di sini, membandingkan pertumbuhan ekonomi lintas negara, seperti yang diungkap analis luar negeri, memberikan informasi mengenai posisi ekonomi suatu negara. Kesan yang ditangkap analis luar negeri, perekonomian Indonesia seakan kebal terhadap gejolak ekonomi internasional.
Sementara, penjelasan atas proses pengumpulan data seperti yang argumen BPS, menawarkan validitas internal. Kalaupun hasil perhitungan PDB dan pertumbuhannya yang telah memenuhi kaidah validitas internal ternyata tidak sinkron dengan negara lain, itu hanya kebetulan semata tanpa rekayasa.
Maka, pemerintah tidak perlu mengerem laju pertumbuhan ekonomi demi menjaga keharmonisan data dengan pertumbuhan ekonomi negara lain. Demikian pula, BPS tidak perlu berkecil hati lantaran kualitas datanya dikritik. Metode perhitungan yang konsisten niscaya menghasilkan nilai pertumbuhan ekonomi yang andal (reliable).
Dengan konfigurasi problematika di atas, indikator lain perlu diidentifikasi guna menjembatani perbedaan penafsiran tersebut. Perhitungan PDB berbasis penerimaan (revenue approach) yang mencakup penerimaan upah bagi tenaga kerja, pendapatan pemilik sumber daya alam, pendapatan pemodal, dan profit pengusaha bisa jadi alternatif rujukan.
Data ini bisa memberi wawasan lebih mendalam perihal produktivitas masing-masing input dalam pembentukan output nasional sehingga sebaran dan serapan kue perekonomian bisa jelas tergambar. Balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut terlibat dalam proses produksi niscaya juga bisa memetakan daya beli.
Oleh karenanya, data PDB mengikuti pendekatan penerimaan bisa meredam persoalan tidak nyambungnya antara data makroekonomi dengan kondisi mikroekonomi di lapangan. Angka diskrepansi statistik pun akan menyusut apabila direkonsiliasi dengan data PDB menurut pendekatan penerimaan.
Sayangnya, data ini belum secara reguler dipublikasikan BPS. Publikasi data ini lima tahun sekali lewat tabel input output. Itupun hanya terbagi menjadi dua kategori, yakni penerimaan upah/gaji dan surplus usaha. Sehingga analis domestik dan asing tadi tidak bisa secara komprehensif melakukan cross check.
Alhasil, beberapa kasus di atas memberi pelajaran penting kepada semua institusi penerbit data (BPS, kementerian dan lembaga lain) untuk menjelaskan secara detail konsep dan metode pengumpulan data, apalagi data yang dirilis untuk konsumsi publik. Perlu dicatat, data adalah produk statistik dari proses panjang aktivitas ilmiah.
Dasar konsep yang berbeda membawa konsekuensi metode pengumpulan data yang berbeda. Metode pengumpulan data yang berbeda menghasilkan data yang tidak sama. Data yang tidak sama menghasilkan informasi yang berlainan pula. Pada akhirnya, informasi yang berbeda membawa implikasi yang berbeda.
Menyadari pentingnya konsep dan metode pengumpulan data, konsumen data pun dituntut untuk senantiasa cerdas menelisik setiap kemungkinan sumber perbedaan yang bisa muncul. Dengan melek data semacam ini, polemik berkepanjangan perihal validitas data niscaya tidak akan muncul lagi di masa mendatang. Semoga.
Penulis : Haryo Kuncoro
Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News