kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Menelisik kualitas belanja negara


Minggu, 25 Agustus 2019 / 09:45 WIB
Menelisik kualitas belanja negara


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Tren perlambatan ekonomi Indonesia tampaknya terus menggejala selama empat tahun belakangan ini. Ekonomi nasional pada triwulan kedua 2019, misalnya, hanya tumbuh 5,05% atau melambat dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang mampu tumbuh 5,27% secara tahunan.

Komparasi dengan perspektif kuartalan sepertinya tidak mengubah simpulan awal. Selama periode yang sama, ekonomi Indonesia hanya meningkat sebesar 4,20% dari triwulan pertama tahun 2019. Angka tersebut nyaris sama dengan pertumbuhan ekonomi kuartal kedua tahun lalu yang sebesar 4,21%.

Sinyal stagnasi ekonomi juga terpancar dari faktor pembentuk pertumbuhan ekonomi. Misalnya pertumbuhan industri manufaktur yang dominan terhadap produk domestik bruto, tercatat hanya 3,54%, melambat dari periode yang sama tahun lalu 3,88%.

Kinerja perlambatan ekonomi di atas juga terkonfirmasi dari data mikro. Indeks Tendensi Bisnis (ITB) pada triwulan kedua 2019 sebesar 108,81. Pada triwulan ketiga 2019, kondisi bisnis diperkirakan bakal lebih rendah. Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan nilai ITB triwulan ketiga 2019 di posisi 105,46.

Cerita yang sama juga terjadi di ranah konsumen. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) berada pada level 124,8. Lagi-lagi, angka itu masih tetap lebih rendah dibandingkan dengan IKK pada bulan sebelumnya sebesar 126,4.

Persoalan stagnasi ekonomi tidak berhenti di situ. Indeks Penjualan Riil (IPR) pada Juni 2019 menurun 1,8%, dari IPR bulan sebelumnya yang tumbuh 7,7% secara tahunan. Celakanya lagi, penurunan itu terjadi pada komoditas leissure (kelompok barang budaya dan rekreasi) yang diklaim sebagai representasi menggeliatnya perekonomian.

Sehimpun fakta di atas mengindikasikan belum ada perubahan yang substansial dalam dinamika perekonomian nasional. Tanda-tanda pergeseran struktur ekonomi baik secara absolut maupun relatif tidak tampak. Alhasil, angka pertumbuhan ekonomi 5% dipandang sebagai pertumbuhan alami (natural growth).

Stagnasi ekonomi mengindikasikan tidak ada sektor yang menjadi penggerak utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Artinya, perekonomian terkesan bergerak sendiri secara apa adanya tanpa pilot yang mampu memberi arahan ke mana dan bagaimana ekonomi musti bergerak. Istilah populernya "business as usual".

Dalam kondisi demikian, harapan dibebankan pada peran pemerintah. Fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi yang diemban pemerintah melalui belanja negara digadang bisa menjadi pionir. Sayangnya, efektivitas belanja negara dalam menyokong pertumbuhan ekonomi relatif lemah lantaran kualitas belanja yang rendah.

Per definisi, belanja negara yang berkualitas adalah belanja yang utamanya mampu memberikan dampak berganda (multiplier effect) pada pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi ketimpangan sosial dan ekonomi. Ukuran yang sering dipakai mengukur kualitas belanja pada pertumbuhan ekonomi adalah indeks elastisitas.

Kajian Bappenas menunjukkan bahwa indeks elastisitas belanja negara hanya sebesar 0,06. Artinya, setiap 1% peningkatan belanja negara memberikan andil terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 0,06%. Faktanya, peningkatan belanja rata-rata mencapai 11% per tahun hanya berkontribusi sekitar 0,24% terhadap pertumbuhan ekonomi.

Suboptimalitas peningkatan belanja negara bisa diurai dari jenis belanjanya. Jenis belanja rutin, seperti belanja pegawai, belanja barang/jasa, dan pembayaran bunga utang, bersifat independen terhadap gejolak perekonomian. Naik turunnya volume belanja ini tidak berefek langsung pada kinerja perekonomian.

Hal yang sama tampaknya terjadi pada klasifikasi belanja fungsional Kementerian/ Lembaga (K/L). Belanja K/L mencerminkan komitmen pemerintah dalam menjalankan tugas pelayanan publik. Konsekuensinya, belanja ini bersifat asiklikal terhadap siklus ekonomi sehingga kemampuan mengungkit perekonomian juga rendah.

Kasus belanja publik agak sedikit berbeda. Belanja subsidi, misalnya, cenderung tinggi pada saat resesi, seperti pada krisis finansial global tahun 2008. Kendati bersifat kontra siklikal, tipe belanja publik ini tergolong tidak produktif, sehingga kemampuan melawan konjungtur perekonomian tidaklah efektif.

Belanja modal

Asa penanggulangan stagnasi ekonomi pada akhirnya diarahkan pada belanja modal. Sayangnya, volume belanja modal pemerintah di APBN masih sangat jauh dari ideal. Porsi belanja modal yang lebih kecil dibandingkan dengan belanja rutin berakibat kemampuan belanja modal dalam mengonter melambatnya pertumbuhan ekonomi menjadi lemah.

Lemahnya daya dorong belanja modal berawal dari perencanaan anggaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan riil. Kurang maksimalnya kinerja belanja modal juga karena waktu penyelesaian program tidak tepat waktu. Ringkasnya, kesalahan alokasi anggaran membuat dampak ekonomi dari belanja modal lebih rendah daripada yang seharusnya.

Lebih parah lagi, belanja modal memiliki tendensi untuk bias. Pengalaman sejauh ini menunjukkan konstelasi politik acap kali mendorong overspending justru di saat perekonomian sedang boom. Sebaliknya, underspending terjadi pada saat stagnasi ekonomi seperti sekarang ini.

Kebiasaan menghabiskan anggaran yang dilakukan di akhir-akhir tahun hingga kini belum juga berubah. Bagaimana anggaran belanja modal mampu mendatangkan benefit yang optimal jika dieksekusi hanya dalam waktu tiga bulan dan pada akhir tahun harus selesai beserta laporan keuangan lengkapnya?

Ironisnya, pola penghabisan anggaran belanja di akhir tahun pada umumnya juga terjadi berbarengan di sektor privat. Sektor privat berkembang beriringan dengan aliran belanja pemerintah. Konsekuensinya, pola belanja pemerintah menjadi pro-siklikal terhadap konjungtur perekonomian nasional.

Dengan konfigurasi problematika di atas, perubahan yang radikal di bidang anggaran tampaknya diperlukan untuk menggenjot kualitas belanja negara. Indikator kunci untuk mengukur pendalaman instrumen belanja yang produktif, akuntabilitas, transparansi tata kelola, dan outcome-nya perlu dibangun untuk setiap jenis belanja negara.

Pada akhirnya, kemauan politik (political will) pemerintah memegang peranan yang sangat vital. Efektifitas belanja negara sejatinya merupakan pertanggungjawaban terbaik terhadap uang pajak yang dibayar rakyat. Alhasil, tanpa pertanggungjawaban yang berkualitas, ekonomi mode autopilot akan tetap teraktivasi.♦

Haryo Kuncoro
Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×