kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mengadang efek dari perang dagang


Senin, 19 Maret 2018 / 14:58 WIB
Mengadang efek dari perang dagang


| Editor: Tri Adi

Perang dagang atau dalam bahasa Inggris disebut dengan trade war banyak diperbincangkan akhir-akhir ini. Tak lain dan tak bukan, penyebabnya adalah kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Dalam pengumuman pada Kamis, 8 Maret 2018 waktu AS, Trump secara resmi menetapkan kenaikan tarif bea masuk impor baja sebesar 25 % dan aluminium 10 %.  

Kebijakan tersebut mulai berlaku pada 23 Maret 2018, atau mulai hari Jumat nanti waktu Amerika dan dikenakan bagi seluruh negara di dunia terkecuali Kanada dan Meksiko. Dua negara tetangga AS itu sedang bernegosiasi dengan Negeri Paman Sam terkait Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA).  

Trump mengklaim kenaikan tarif bea masuk baja dan alumunium bertujuan melindungi industri dan buruh di dalam negeri. Selain itu, Trump juga ingin meningkatkan kapasitas industri dalam negeri AS yang disebutnya telah lama menderita akibat ketidakadilan perdagangan. Semua ini, menurut Trump, juga sesuai dengan janji kampanye saat Pemilihan Presiden 2016.

Kebijakan Trump kemudian menuai reaksi dari berbagai belahan dunia. Cina menilai kebijakan itu sebagai ancaman serius bagi perdagangan dunia karena memicu perang dagang. Para pengusaha baja dan aluminium di Negeri Tirai Bambu mendesak pemerintah mereka menyiapkan kebijakan balasan atas barang-barang impor asal AS seperti produk pertanian.

Sedangkan Korea Selatan berencana mengadukan masalah ini ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization atau WTO). Sementara di Indonesia, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan Indonesia siap membalas kebijakan AS. Salah satu jalan dengan mengurangi impor komoditas dari AS seperti kedelai dan gandum.

Untuk lebih jelasnya, kita perlu memaknai arti dari perang dagang. Menurut definisi, perang dagang merupakan situasi di mana sebuah negara atau kawasan saling berupaya menghancurkan perdagangan masing-masing. Cara yang sering digunakan adalah memberlakukan kuota serta meningkatkan tarif bea masuk.

Dalam artikelnya di The New York Times, mantan negosiator perdagangan AS-Jepang Clyde Prestowitz menilai, perang dagang bukan sesuatu yang baru bagi dunia internasional. Ia mencontohkan ketika Jepang mengizinkan produsen mobil mengendalikan distribusi mobil, Cina melarang Google dan Facebook beroperasi di Negeri Tirai Bambu, dan masih banyak contoh lain.

Namun, sebagaimana perang dengan penggunaan senjata nuklir, perang dagang juga memiliki dampak buruk. Salah satu indikator dapat terlihat pada pertumbuhan ekonomi global. Bloomberg Economics dalam laporan yang dirilis, Senin 13 Maret 2018, memproyeksikan ekonomi dunia akan tumbuh 0,5% lebih rendah pada 2020 dibandingkan jika kebijakan Trump tidak dibuat.

Ekonomi AS juga terkoreksi sekitar 0,9% pada 2020 jika dikomparasi dengan situasi tanpa kenaikan bea masuk baja dan aluminium AS. Sedangkan bagi Indonesia, perang dagang juga berpotensi membuat pertumbuhan ekonomi tertekan. Hal tersebut terjadi karena Cina sebagai mitra dagang terbesar AS, berpotensi mengurangi impor, tidak terkecuali dari Indonesia. Itu artinya, ekspor Indonesia nantinya dapat mengalami kontraksi.

Hal tersebut patut diwaspadai. Sebab, komponen ekspor merupakan salah satu motor pertumbuhan ekonomi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor memberikan kontribusi sebesar 20,37% dari struktur produk domestik bruto (PDB) pada tahun lalu dengan pertumbuhan mencapai 9,09%.     

Belajar dari CPO

Jika dirunut, Indonesia sudah memiliki pengalaman menghadapi perang dagang. Baik secara tidak langsung seperti yang dipicu AS maupun secara langsung. Perang dagang secara langsung yang sekarang menjadi perhatian pemerintah adalah langkah Parlemen Uni Eropa melarang penggunaan minyak kelapa sawit mentah (CPO) sebagai bahan baku biofuel mulai 2021.

Parlemen Uni Eropa menilai biofuel yang berbahan baku CPO tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap penurunan emisi gas rumah kaca. Apabila permintaan CPO terus meningkat, maka pembukaan lahan perkebunan akan membidik wilayah-wilayah rentan seperti gambut. Penilaian Parlemen Eropa tak jauh berbeda dengan kampanye negatif terhadap CPO Indonesia beberapa tahun lalu seperti kelapa sawit ditanam di atas lahan yang dibuka lewat pembalakan liar.

Untuk menghadapi potensi perang dagang serupa di masa mendatang, maka pemerintah mau tidak mau harus memperluas pasar ekspor. Jangan hanya bergantung kepada negara atau kawasan zaman old seperti AS, Cina, India, dan Uni Eropa. Indonesia juga harus mulai membidik negara-negara di kawasan lain antara lain Afrika maupun Amerika Selatan.

Salah satu langkah yang sudah diinisiasi namun belum maksimal adalah peran duta besar. Tanggung jawab duta besar lewat atase, dituntut untuk bekerja lebih ekstra. Utamanya bagaimana mengupayakan peningkatan ekspor Indonesia dengan berperan aktif menyosialisasikan produk andalan Indonesia kepada pemerintah dan pengusaha di lokasi mereka bertugas.

Selain itu diversifikasi produk ekspor juga harus dipercepat. Sebab, ekspor Indonesia masih didominasi komoditas seperti batu bara, CPO, dan karet. Diversifikasi dapat diupayakan dengan cara meningkatkan produk ekspor non komoditas (manufaktur).

Namun, upaya ini pun tidaklah mudah. Apalagi, industri manufaktur dalam negeri terus mengalami kontraksi. Jalan keluar yang dapat diupayakan mengatasi ini harus komprehensif. Mulai dari peningkatan sumber daya manusia (produktivitas tenaga kerja), beradaptasi dengan perkembangan produk terbaru di pasar global, hingga meningkatkan efisiensi produksi agar harga produk bersaing.

Akhirnya, penulis berharap perang dagang yang dipicu AS tidak akan berdampak banyak kepada perekonomian Indonesia. Jikalau akhirnya  terpengaruh, maka Indonesia harus mampu memitigasi sehingga ekonomi dalam negeri tidak guncang. Apalagi di tengah kondisi global seperti sekarang yang penuh ketidakpastian. Jangan sampai pepatah 'Gajah Bertarung Pelanduk Mati di Tengah' menjadi nyata.                             

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×