Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Akhir-akhir ini banyak kalangan memperkirakan, di ujung tahun 2018 hingga tahun depan, perbankan Indonesia akan menghadapi kondisi likuiditas yang semakin ketat. Hal ini tidak terlepas dari penyaluran kredit yang akan terus tumbuh. Pihak lainnya, perolehan dana pihak ketiga (DPK) cenderung tersendat.
Bila kita mengacu data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) per September 2018 yang dikeluarkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), memang terlihat kredit telah tumbuh lumayan tinggi. Secara tahunan mencapai 12,98%. Bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama di tahun lalu, yang tumbuh 7,93%. Tapi, derasnya laju penyaluran kredit tersebut ternyata tidak dapat diimbangi oleh perolehan DPK yang hanya tumbuh 6,60%, atau melambat dibandingkan September 2017 yang tumbuh 11,69%.
Sementara itu, bila kita bersandar pada indikator loan to deposit ratio (LDR), yakni indikator yang sering kali menjadi patokan dalam menilai kondisi likuiditas perbankan, yang telah mencapai 94,39% dan meningkat ketimbang akhir tahun 2017 yang baru mencapai 90,41%, memang memberi pertanda likuiditas perbankan yang semakin menipis. Pasalnya, LDR sebesar 94,39% itu berarti bahwa hampir 95% dari DPK yang diperoleh telah disalurkan dalam bentuk kredit.
Pada waktu yang sama, tren kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI), yakni BI seven day reverse repo rate (BI7DRR), semakin menguatkan persepsi adanya keketatan likuiditas itu. Padahal, kenaikan suku bunga BI7DRR tersebut sejatinya lebih ditujukan untuk menurunkan current account deficit (CAD) ke dalam batas yang aman, dan agar pasar keuangan domestik tetap menarik bagi investor dengan mengantisipasi kenaikan suku bunga global dalam beberapa bulan ke depan (ahead the curve).
Pengambilan kebijakan ini mengingatkan kita pada waktu Indonesia menghadapi adanya kepanikan pasar di pasar finansial dari para investor akibat rencana pelonggaran kuantitatif (quantitative easing) oleh Bank Sentral Amerika Serikat (AS) pada tahun 2013. Waktu itu, BI merespons dengan mengerek suku bunga acuan hingga 175 bps dari 6,00% menjadi 7,75% seiring dengan meningkatnya defisit transaksi berjalan (CAD) dan pelarian modal dari pasar obligasi dan saham secara massal dari Indonesia.
Sesungguhnya perbankan telah menyadari kondisi tersebut. Oleh karena itu, pelbagai langkah akan diambil. Yang pasti, mereka akan menyesuaikan kembali penyaluran kredit dengan DPK yang ada.
Pasalnya, pendorong utama (main driver) kredit tentu berasal dari ketersediaan likuiditas. Mereka otomatis akan menginjak pedal rem untuk mengurangi kencangnya laju penyaluran kredit apabila likuiditas yang diperoleh tidak mendukung. Terlebih, perbankan juga harus menyisihkan sebagian DPK itu untuk ditempatkan di giro wajib minimum (GWM) di BI dan aset likuid sebagaimana yang diwajibkan otoritas terkait.
Perbankan juga mulai mencari alternatif pendanaan non-DPK atau yang biasa disebut wholesale funding. Bank-bank yang terutama dari kalangan bank menengah dan besar akan memilih untuk menerbitkan surat utang seperti obligasi, medium term notes (MTN) dan negotiable certificate deposits (NCD), termasuk juga menarik pinjaman dari pihak lain berupa pinjaman bilateral atau utang luar negeri. Sementara untuk bank-bank dengan aset mini tampaknya lebih mengandalkan injeksi modal dari pemegang saham sebagai sumber dana untuk ekspansi kredit kedepan.
Selain sebagai alternatif atau diversifikasi sumber pendanaan, wholesale funding tersebut juga bermanfaat dalam mengurangi risiko likuiditas, terutama risiko yang bersumber dari ketidaksesuaian tenor (maturity mismatch). Pasalnya, wholesale funding umumnya memiliki tenor menengah panjang, sehingga sangat cocok sebagai sumber dana penyaluran kredit yang juga bertenor menengah panjang.
Pelonggaran likuiditas
BI juga sejatinya tidak menampik adanya kekhawatiran akan ancaman pengetatan likuiditas perbankan, walaupun jumlah alat likuid bank, baik yang ditanamkan di BI maupun dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) masih cukup besar.
Namun, BI tetap merespons cepat dengan mengambil langkah antisipasi ke depan (ahead the curve) melalui relaksasi dua kebijakan sekaligus yang terkait dengan likuiditas. Kebijakan itu adalah kebijakan makroprudensial yang berupa rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) dan kebijakan moneter berupa GWM rerata (GWM averaging).
Langkah itu sendiri diambil BI pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 15 November 2018 yang lalu. Lebih lanjut dalam keterangan pers, BI menyatakan, relaksasi kedua ketentuan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan fleksibilitas dan distribusi likuiditas di perbankan. Harapannya, likuiditas tetap terjaga sehingga kestabilan sistem keuangan dapat terpelihara dengan baik.
Mengacu pada RDG tersebut, relaksasi PLM ditujukan pada perubahan besaran surat berharga yang dapat direpokan ke BI. Semula, surat berharga yang dialokasikan untuk memenuhi PLM (4% dari DPK) dapat direpokan ke BI sebesar 2% dari DPK. Namun, saat ini besaran yang dapat direpokan tersebut telah ditingkatkan menjadi 4% dari DPK. Ini berarti bahwa bila bank membutuhkan likuiditas, maka bank dapat merepokan seluruh surat berharga tersebut ke BI.
Sementara itu, relaksasi yang menyangkut GWM rerata ditujukan pada porsi GWM rerata selama dua minggu. Semula GWM rerata ditetapkan sebesar 2%, lalu ditingkatkan menjadi 3%. Dengan demikian pembagian GWM yang harus dipelihara bank terdiri dari GWM tetap 3,5% dan GWM rerata 3%. Tercipta keleluasaan bagi bank untuk memanfaatkan saldo GWM nya terlebih dahulu sebesar 3% selama 2 minggu.
Bagi perbankan itu sendiri, relaksasi PLM dan GWM rerata itu dinilai sangat bermanfaat dan membantu pelonggaran likuditas perbankan. Pasalnya, bank akan memiliki ruang gerak yang lebih luas dan semakin fleksibel dalam mengelola likuiditasnya.
Tidak hanya itu, relaksasi PLM dan GWM rerata memberikan kepada bank tambahan buffer (dana bantalan) dalam jangka pendek. Terlebih pada bank kecil yang hanya mengandalkan sumber dana dari DPK.•
Ardhienus
Analis Senior Departemen Surveilans Sistem Keuangan Bank Indonesia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News