| Editor: Tri Adi
Akhir tahun telah menjelang, namun isu perlambatan ekonomi justru semakin menjelang. Dari perspektif hukum, fenomena ekonomi yang terjadi, apabila tidak dikelola dengan baik, dapat menjadi salah satu faktor pencetus terjadinya konflik. Dalam hal ini, efek dari perlambatan ekonomi yang jika semakin parah bisa berujung krisis ekonomi, perlu dijaga terutama terkait bagaimana kemampuan para pihak dalam memenuhi prestasi dalam hubungan kontraktual atau bahkan mempertahankan keberlangsungan usaha. Semua itu terkait erat dengan kesiapan pranata hukum yang ada.
Kesiapan pranata hukum, baik dalam tataran hukum materiil maupun hukum prosedural, diperlukan agar bangsa kita dapat menjalani krisis yang ada dengan dampak negatif seminimal mungkin. Sejarah menunjukkan bahwa fenomena ekonomi pasti berkaitan erat dengan aktifitas legalitas yang ada. Pada saat krisis ekonomi 1998, bangsa kita tergopoh-gopoh mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998.
Dari sisi hukum formil, tentu perbaikan yang harus dilakukan lebih banyak lagi. Apalagi, hukum acara Indonesia masih mengacu pada Herzien Inlandsch Reglement (HIR) zaman Belanda. Namun, hukum formil tidak bisa lagi hanya dimengerti secara sempit tentang tata cara beracara di persidangan semata. Proses seperti pendaftaran perkara, pembayaran, dan hal teknis lainnya perlu mendapat sentuhan zaman now agar proses pencarian keadilan tidak hanya sekedar formalitas belaka. Pertanyaannya sederhana, harus dimulai dari mana?
Terkait hal itu, relevan kiranya untuk menyoroti hasil Ease of Doing Business (EODB) dari Bank Dunia terutama poin enforcing contract sebagai salah satu kriteria yang digunakan untuk menilai peringkat Indonesia. Dalam hal ini, kualitas proses yudisial perlu mendapat perhatian yang penting. Dari rentang skor 0-18, Indonesia hanya mendapatkan 8. Terdapat empat indikator yang digunakan untuk menilai kualitas proses yudisial, yaitu court structure and proceedings, case management, court automation, dan alternative dispute resolution.
Dari total 8 poin yang dikumpulkan Indonesia terkait kualitas proses yudisial, alternative dispute resolution (ADR) menyumbangkan poin tertinggi dan sangat baik, yaitu 2,5 (dari skala 3). Artinya, upaya masyarakat sipil dan juga pemerintah dalam mengembangkan alternatif penyelesaian sengketa (arbitrase dan mediasi) tergolong berhasil. Untuk penyelesaian melalui pengadilan sendiri, court structure and proceedings juga menyumbang poin yang cukup baik, yaitu 3 (dari skala 5). Artinya secara struktural, pengadilan mengalami pembenahan.
Namun, capaian pada kedua indikator tersebut sangat kontras apabila dibandingkan dengan dua kriteria lainnya. Untuk manajemen beperkara (case management) dan otomatisasi beperkara (court automation), yang masing-masing memiliki skala 6 dan 4, Indonesia hanya memperoleh point 2 dan 0,5. Artinya, ada banyak persoalan terkait manajemen perkara dan otomatisasi beperkara.
Jika mengambil hasil survei EODB sebagai bahan titik tolak, maka Indonesia perlu membenahi manajemen berperkara di pengadilan dan juga proses otomatisasi dalam berperkara. Yang menarik adalah, pada kedua poin tersebut, Indonesia mendapatkan nilai yang rendah karena adanya komponen penilaian berupa penggunaan sistem informasi dan teknologi (TI) dalam penyelesaian perkara seperti electronic case management, pengajuan gugatan atau keluhan melalui sebuah sistem elektronik di pengadilan, pembayaran biaya perkara melalui elektronik, dan diseminasi informasi kepada publik melalui internet.
Tiru Korea Selatan
Indonesia perlu mengakomodir perkembangan zaman, terutama terkait pelibatan TI untuk memudahkan para pencari keadilan. Memang, saat ini Mahkamah Agung telah melakukan pembenahan sistem. Putusan pengadilan, contohnya, dapat diakses dengan mudah melalui internet. Namun, hal ini masih terkendala pada pengadilan di daerah. Terkait dengan panggilan, Mahkamah Agung sebenarnya sudah melakukan melalui SEMA No. 6/2014 agar panggilan melalui email ataupun faksimili. Namun untuk pelaksanaannya masih jarang terdengar.
Untuk pembayaran perkara pun, saat ini masih harus dilakukan melalui setor tunai ke bank. Hanya terhadap proses kasasi, berdasarkan kebijakan Ketua Mahkamah Agung No. 2167/PAN/KU.00/8/2017, pembayaran dapat dilakukan melalui transfer. Namun, peringkat Indonesia di EODB menunjukkan upaya ekstra masih harus dilakukan oleh pemerintah, termasuk Mahkamah Agung.
Hal-hal yang terkait dengan teknis pengadilan ini, sekalipun kesannya remeh-temeh, namun sangat berpengaruh pada kelancaran para pencari keadilan kelak. Apalagi jika perlambatan ekonomi benar terjadi dan berujung pada banyaknya default oleh para pelaku usaha, pengadilan akan benar-benar menjadi tempat bagi rakyat untuk mencari keadilan.
Namun yang pasti, semua proses pembenahan tersebut membutuhkan waktu dan biaya. Belajar dari pengalaman Korea Selatan misalnya, Heike Gramckow dan Omniah Ebeid (2016) dalam Leveraging Technology to Improve Service Delivery in the Justice Sector in South Korea , menunjukkan bahwa kesuksesan Korea Selatan untuk mendapatkan poin tinggi terkait Quality in the Judicial Processing Index, tidak lepas dari pembenahan sistem TI yang telah dilakukan sejak 1979.
Selain itu, Gramckow dan Ebeid melihat bahwa kesuksesan Korea Selatan tersebut tidak lepas dari kegiatan Mahkamah Agung yang memahami bahwa perubahan ini memerlukan waktu dan dilakukan secara bertahap sehingga memberikan kesempatan bagi para user, baik masyarakat, hakim, maupun staf pengadilan, untuk secara bertahap beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.
Perubahan kultur ini menunjang kesuksesan Korea Selatan disamping memang penggunaan teknologi yang semakin lama semakin canggih. Namun, pembangunan sistem yang dilakukan secara bertahap namun berkesinambungan, telah membuahkan hasil yang baik bagi sistem peradilan.
Kuncinya adalah adanya posisi yang jelas tentang ke mana arah pembangunan peradilan Indonesia ke depan. Apakah akan bertumpu pada model birokratis seperti sekarang atau semakin akomodatif dan user friendly terhadap para pencari keadilan. Tidak selamanya kemudahan dan fleksibilitas dalam berperkara perlu dipandang dari kacamata negatif. Adakalanya, peradilan memang harus luwes untuk meringankan beban di pundak para pencari keadilan yang tengah menghadapi masalah.
Kemudahan berperkara dan kepekaan pranata hukum di Indonesia menjadi sebuah pekerjaan rumah yang laten untuk dituntaskan.Ketika ekonomi susah kelak, pengadilan Indonesia benar-benar dapat menjadi oase, bukan justru sekedar fatamorgana.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News