kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45938,46   -25,27   -2.62%
  • EMAS1.321.000 0,46%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mengawal penyelesaian reklamasi


Selasa, 02 Oktober 2018 / 14:23 WIB
Mengawal penyelesaian reklamasi


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan akhirnya mencabut izin 13 pulau reklamasi. Masyarakat tentu masih mengingat isu reklamasi merupakan janji politik dan sudah dilaksanakan lewat keputusan gubernur dan surat gubernur. Kini yang menjadi persoalan adalah kepastian hukum terhadap nasib kelanjutan investasi dari proyek yang sudah dimulai sejak Orde Baru. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) pada tahun 1995, reklamasi masuk dalam proyek strategis nasional sehingga terbit Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 dan di level operasional provinsi lewat Perda DKI Nomor 8 Tahun 1995.

Perdebatan mengenai kelayakan reklamasi ini telah diputus oleh Mahkamah Agung (MA) hingga tingkat Peninjauan Kembali, melalui putusan nomor 12/PK/TUN/2011 MA menyatakan, reklamasi sah, legal, dan tidak melanggar kaidah lingkungan sehingga reklamasi dapat dilanjutkan pembangunannya. Secara hukum reklamasi seharusnya sah mengingat telah diuji dan diputuskan oleh pengadilan hingga tingkat tertinggi. Dan secara tata hukum sudah tidak ada upaya yang dapat dilakukan melalui peradilan untuk membatalkan reklamasi.

Artinya jika reklamasi hendak dibatalkan, harus mengganti norma hukumnya. Sehingga membatalkan kegiatan reklamasi hanya melalui keputusan gubernur dan surat gubernur secara hukum dapat dikatakan tidak serta merta dapat membatalkan kegiatan reklamasi. Persoalannya kegiatan reklamasi hanya dibatalkan melalui keputusan gubernur dan surat gubernur yang hanya berdampak pada subjek, tapi tidak pada objek yaitu kegiatan reklamasi.

Berdampak pada subjek, artinya hanya membatalkan subjek penerima manfaat kegiatan reklamasi tapi bukan membatalkan kegiatan reklamasi sebagai objek. Jika hendak membatalkan subjek, harus dilakukan dengan perubahan norma hukum, dalam hal ini melalui peraturan perundang-undangan yang membatalkan objek keputusan tata usaha negara, yakni kegiatan reklamasi. Penuntasan penyelesaian reklamasi ini perlu dikawal mengingat jika hanya dibatalkan subjeknya, artinya masih dimungkinkan pihak lain melakukan reklamasi, yang bertentangan dengan semangat mengakhiri reklamasi di Jakarta.

Persoalan reklamasi ini harus diselesaikan melalui penyempurnaan norma hukum, mengingat pada awalnya reklamasi lahir melalui peraturan perundang-undangan yang merupakan ranah legislatif. Jika dipahami secara komprehensif kegiatan reklamasi di pantai Jakarta ini melibatkan keputusan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pasca ditetapkan sebagai proyek strategis nasional tahun 1995 dan terbitnya Kepres terkait reklamasi di Jakarta disetujui dan dilegalkan melalui peraturan perundang-undangan yang dibuat serta dikuatkan melalui putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung sehingga secara tata hukum guna mengakhirinya tidak cukup hanya dengan keputusan setingkat gubernur saja.

Setelah melakukan kajian dan sampai pada kesimpulan bahwa reklamasi di Jakarta tidak diperlukan , maka Gubernur DKI harus berkoordinasi dengan pemerintah pusat dan DPR/DPRD selaku unsur legislatif terkait reorientasi dan penyelesaian kegiatan reklamasi. Jika disetujui maka kegiatan reklamasi akan dibatalkan melalui peraturan perundang-undangan. Tahapan inilah yang harus ditempuh Pemprov DKI Jakarta dalam menuntaskan persoalan reklamasi di teluk Jakarta.

Jika langkah pemerintah Provinsi DKI Jakarta hanya berhenti sampai pada keputusan gubernur dan surat gubernur untuk membatalkan hak subjek pengelolaan area reklamasi tersebut, keputusan gubernur dan surat gubernur akan rawan digugat melalui peradilan tata usaha negara. Lantaran Gubernur dapat dipandang berlaku sewenang-wenang mengingat perihal reklamasi telah dikuatkan melalui putusan PK Mahkamah Agung. Selain keputusan gubernur dan surat gubernur tidak sempurna, karena tidak membatalkan objek reklamasi pantai Jakarta sehingga bersifat subjektif.

Sekalipun pembatalan reklamasi ini bertujuan baik, perlu melakukan konstruksi hukum yang patut. Perdebatan reklamasi selalu bertitik tolak dari Pasal 33 UUD 1945, yang memandang negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat. Dalam hal ini organisasi kekuasaan rakyat dimanifestasikan melalui unsur eksekutif, legislatif dan yudikatif sehingga dalam hal pembatalan reklamasi di Jakarta tidak cukup hanya dilakukan dengan keputusan Gubernur DKI sebagai pejabat tata usaha negara tetapi juga harus dilakukan perubahan peraturan perundang-undangan terkait reklamasi melalui legislatif.

Pendekatan korektif

Guna menyikapi dan menyempurnakan langkah Pemprov DKI Jakarta perlu dilakukan langkah korektif, sehingga persoalan reklamasi ini bukan hanya semata-mata menjadi komoditi politik tetapi lebih ditekankan pada persoalan tata ruang guna dengan pendekatan keadilan korektif. Dilema yang dihadapi Pemprov DKI adalah menyikapi keterlanjuran pulau reklamasi yang telah terlanjur dibangun. Pemerintah DKI tidak dapat serta merta menghentikan pembangunan atau mengubah peruntukan, mengingat para pemegang hak telah memperoleh perizinan .

Bagir Manan (2008), sendiri mendefinisikan izin sebagai suatu persetujuan dari pemerintah selaku penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk memperbolehkan suatu tindakan atau perbuatan tertentu yang dilarang. Artinya dalam konteks pembatalan keputusan reklamasi jika hendak melakukan tindakan korektif harus menimbang antara asas kepastian hukum dan asas kepentingan umum sebagaimana diuraikan dalam UU Nomor 28 Tahun 1999.

Pasca terbitnya keputusan gubernur dan surat gubernur, tindak lanjut pada area yang telah dibangun belum ditentukan. Tetapi disebutkan akan digunakan untuk kepentingan umum sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945. Sehingga desain kebijakan pada area yang didefinisikan sebagai keterlanjuran haruslah menyeimbangkan kepastian hukum dan kepentingan umum.

Idealnya pada area yang didefinisikan sebagai bentuk keterlanjuran tersebut banyak mengakomodir fasilitas umum dan fasilitas sosial yang sifatnya bermanfaat untuk masyarakat luas. Sehingga tujuan keadilan korektif dapat dicapai.

Bagi area yang belum dibangun pasca dilakukan penyempurnaan dengan pembatalan objek reklamasi dan subjek pemegang hak pengelolaan, mengacu hasil rekomendasi Badan Pengelolaan Pantai Utara (BKP-Pantura) harus segera dibarengi revisi Perda Tata Ruang Kawasan Strategis (RTRKS) Pantai Utara Jakarta dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil. Sehingga tidak terulang keterlanjuran, dalam hal ini menyelaraskan keputusan Gubernur sebagai eksekutif dan pejabat tata usaha negara dengan unsur legislatif.

Sehingga keputusan reklamasi benar-benar objektif dan keadilan korektif harus diutamakan di balik setiap penerbitan keputusan eksekutif maupun legislatif. Agar membawa bangsa ke arah yang lebih baik.

Rio Christiawan
Dosen Hukum Bisnis Universitas Prasetiya Mulya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×