kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mengendalikan Perilaku Risk Taking Bank


Selasa, 03 Desember 2019 / 11:55 WIB
Mengendalikan Perilaku Risk Taking Bank


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Penurunan suku bunga kebijakan oleh banyak bank sentral hingga pada level rendah dibutuhkan sebagai stimulus untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Tapi terkadang kebijakan tersebut diikuti oleh meningkatnya perilaku ambil risiko (risk taking behavior) dari pelaku ekonomi, terutama investor institusi.

Perilaku itu telah mendorong mereka berinvestasi pada aset yang berisiko tinggi dan tidak likuid untuk mendapatkan imbal hasil yang tinggi (search for yield). Dan perilaku risk taking biasanya makin eksesif tatkala periode suku bunga rendah berkepanjangan.

Kondisi tersebut tentu akan menciptakan kerentanan yang dapat memicu timbulnya krisis keuangan. Ambil contoh pada 2008-2009, ketika terjadi krisis keuangan global. Kala itu suku bunga rendah yang berlangsung lama telah mendorong akselerasi perilaku risk taking pelaku ekonomi (Warjiyo, 2016).

Hal ini terlihat dari maraknya kredit perumahan kelas dua (subprime mortgage) yang kemudian disekuritisasi dan diperdagangkan di pasar keuangan global. Perilaku risk taking yang berlebihan itu berperan dalam menyulut risiko sistemik yang berujung krisis.

Dana Moneter International (IMF) sebenarnya telah mencermati fenomena mulai menggeliatnya kembali perilaku risk taking ini. Merujuk pada Global Financial Stability Report Oktober 2019, IMF menilai kondisi keuangan yang melonggar seiring dengan kebijakan akomodatif yang ditempuh (suku bunga rendah) telah mendorong munculnya perilaku risk taking dan kerentanan di sistem keuangan global.

Perilaku ini ditunjukkan dari meningkatnya beban utang korporasi. Lantas makin banyaknya kepemilikan aset yang berisiko tinggi dan tidak likuid oleh investor institusi. Kemudian makin besarnya ketergantungan utang luar negeri dari negara emerging.

Sementara di dalam ekonomi domestik, perilaku risk taking pada beberapa institusi keuangan non bank tampak begitu kentara, seperti pada Asuransi Jiwasraya dan Reksadana Saham Naranda. Mereka diketahui telah berinvestasi pada aset yang berisiko tinggi dengan harapan akan memperoleh imbal hasil tinggi.

Janji ataupun torehan imbal hasil yang tinggi ini kemudian digunakan untuk menarik para investor (nasabah) menanamkam dananya di perusahaan tersebut. Ketika pasar keuangan dalam kondisi tertekan yang berimbas pada penurunan harga aset-asetnya, maka perusahaan tersebut tidak mampu merealisasikan janjinya.

Hasrat penyaluran di bank

Lalu bagaimana dengan sektor perbankan? Pada dasarnya industri perbankan domestik juga memiliki perilaku risk taking yang sama dengan industri keuangan non bank. Namun sejauh ini perilaku mereka mampu dikendalikan dan dimitigasi. Hal ini tidak lepas dari instrumen pengendaliannya yang cukup banyak, terutama ditujukan untuk mengendalikan hasrat penyaluran kredit yang berlebihan.

Pertama, bank diminta untuk memupuk modal tambahan di luar modal yang sudah ditentukan (regulatory capital). Modal tambahan tersebut berupa countercyclical capital buffer, yakni modal penyangga untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit yang eksesif.

Lalu, capital conservation buffer, yakni modal penyangga untuk menyerap kerugian pada periode krisis. Terakhir, capital surcharge. Yakni modal penyangga untuk memitigasi risiko yang bersumber dari bank yang ditetapkan sebagai bank sistemik. Semakin tinggi penyaluran kredit, maka semakin tinggi pula modal yang harus disiapkan.

Kedua, penerapan rasio uang muka kredit properti atau loan to value (LTV). Peluncuran aturan LTV tersebut dimaksudkan untuk meredam perilaku perbankan yang sering agresif dalam menyalurkan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan meningkatkan kehati-hatian Bank. Keagresifan mereka ditopang oleh perilaku spekulatif dari nasabah yang beranggapan harga properti akan terus naik di kemudian hari (mengharapkan capital gain), sehingga mereka akan tetap membeli properti berapapun harga properti yang ditawarkan.

Selain itu, pertumbuhan KPR yang terlalu tinggi juga akan mendorong peningkatan harga aset properti hingga melampaui nilai wajarnya (bubble). Akan timbul risiko bilamana bubble tersebut pecah. Sejarah mencatat krisis pada banyak negara umumnya didahului oleh gelembung harga properti dan boom kredit.

Ketiga, pengawasan yang lebih ketat terhadap ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) untuk mencegah perbankan memberikan kredit yang berlebihan pada grup bank atau nasabah tertentu. Penguatan pengawasan BMPK itu berkaca pada pengalaman krisis keuangan Asia 1997-1998 yang telah merontokkan banyak bank domestik akibat jor-joran memberikan kredit, terutama pada kelompok usaha banknya sendiri.

Keempat, pemberlakuan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 71 yang direncanakan mulai tanggal 1 Januari 2020. PSAK ini akan mencegah penyaluran kredit yang biasanya eksesif pada masa ekspansi. Ini karena penyaluran kredit baru harus diiringi dengan pembentukan cadangan kredit.

Artinya, semakin tinggi penyaluran kredit, maka semakin tinggi pula cadangan yang harus dibentuk. Pembentukan cadangan itu diperlakukan sebagai biaya sehingga konsekuensinya laba akan menurun.

Terakhir, mengendalikan perilaku risk taking bank di area likuiditas. Pengendalian di area ini bertujuan agar bank tidak menyalurkan seluruh dananya ke kredit, namun juga menahan sebagiannya dalam bentuk alat likuid. Sehingga ketika dibutuhkan seperti ada penarikan dana nasabah, bank dapat memenuhinya dengan segera.

Maka, bank diharuskan untuk menyiapkan alat likuid yang berkualitas tinggi yang diperkirakan cukup untuk menutupi kebutuhan kas keluarnya selama 30 hari ke depan pada kondisi krisis (liquidity coverage ratio /LCR). Di samping itu, bank diharuskan untuk menyamakan tenor kredit dengan sumber dananya (net stable funding ratio/NSFR).

Dengan kata lain, bila bank ingin menyalurkan kredit dengan tenor jangka panjang, maka bank harus menggunakan sumber dana dengan tenor jangka panjang pula. Dengan begitu, bank akan terhindarkan dari permasalahan likuiditas akibat ketidaksesuaian tenor (maturity mismatch).

Penulis : Ardhienus

Asisten Direktur Departemen Surveilans Sistem Keuangan Bank Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×