kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Mengentaskan kemiskinan di era digital


Senin, 06 Agustus 2018 / 15:06 WIB
Mengentaskan kemiskinan di era digital
ILUSTRASI.


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Polemik tentang angka kemiskinan yang belum lama ini dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) masih terus bergulir. Bahkan diseret ke ranah politik. Dalam politik, kemiskinan adalah komoditas. Oleh penguasa ia disajikan nampak mempesona. Ditafsirkan sesuai dengan selera. Seperti klaim ini pertama kali dalam sejarah kemiskinan berada di posisi single digit.

Pada saat bersamaan, kelompok kontra tentu tak menerima begitu saja klaim tersebut. Terutama tentang standar kemiskinan yang debatable. Bank Dunia menggunakan standar US$ 2 atau Rp 28.800 perhari yang berarti Rp 864.000 perbulan.

Sementara versi pemerintah menggunakan standar pendapatan Rp 400.995 per bulan untuk masyarakat kota dan Rp 370.910 untuk desa. Standar itu dipandang sangat jauh untuk hidup layak. Terlebih di tengah melambungnya harga pangan.

Belum lagi jika berbicara bias antara parameter dengan kemiskinan riil di lapangan yang sangat mudah kita temukan. Kemiskinan jadi pemandangan harian. Bukan cuma di desa yang menurut BPS masih merupakan kantong utama kemiskinan. Di metropolitan yang ditumbuhi gedung-gedung megah dan kantor pemerintah tempat siklus ekonomi berputar dan kebijakan diramu, wajah kemiskinan amat kontras kita saksikan.

Bila ditelaah, keterbatasan peluang merupakan pangkal masalah kemiskinan selama ini. Kemiskinan diakibatkan oleh akses yang tertutup. Mulai dari akses informasi hingga akses ke sumber daya. Di masa lampau, sumber daya dan informasi adalah komoditas eksklusif.

Namun era itu telah berubah. Menyitir The Economist, sumber daya paling berharga saat ini bukanlah minyak atau sumber daya alam lainnya, tapi data. Dan kini, akses terhadap data tersaji di internet. Akses-akses terhadap sumber daya paling mahal di dunia telah terbuka. Bahkan dapat diperoleh cuma-cuma.

Maka era ledakan internet yang ditandai dengan digitalisasi di berbagai lini adalah gelom-bang ekonomi baru. Mengakhiri babak yang menjadi pangkal kemiskinan di masa lampau. Gelombang ekonomi digital itu, kini merambah ke berbagai penjuru negeri. Digitalisasi membawa titik terang untuk mengakhiri perang melawan kemiskinan. Akhir perang yang tentu saja harapannya kita menangkan.

Indonesia dapat belajar pada beberapa negara yang sukses memanfaatkan ekonomi digital untuk mengerek ekonomi dan memangkas kemiskinan. Dilansir oleh The Global Information Technology Report for 2015, El Salvador, Latvia, Armenia dan Makedonia adalah sederet negara berkembang yang sukses memanfaatkan ekonomi digital yang sanggup memberi kontribusi 20% terhadap ekonomi nasional.

Kisah sukses terbesar memangkas kemiskinan bahkan datang dari China. Negeri Tirai Bambu berhasil mengurangi kemiskinan hingga ke angka 2%. Xi Jinping berambisi mengakhiri kemiskinan di China pada tahun 2020.

Satu fakta yang tak banyak terungkap di balik kisah sukses China memangkas kemiski-nan, yakni kontribusi ekonomi digital. Pelaku UKM China kian melek e-commerce yang bisa mengembangkan pasar dan tenaga kerja. Pemerintah China bahkan mencanangkan program e-commerce masuk desa. Produk kerajinan hingga pertanian dari pelosok China didorong merambah ke pasar global. Maka jangan kaget bila nanti Alibaba diisi oleh gerabah, bahkan batu bata China.

Lewat e-commerce

Di tanah air, ledakan ekonomi digital terjadi belakangan ini. Ekonomi berbasis aplikasi dan internet jadi primadona. Berbagai medium teknologi informasi kian digandrungi sebagai keran bisnis. Masyarakat urban sangat adaptif mengadopsi teknologi.

Namun tantangan yang belum terpecahkan adalah pemerataan. Ekonomi digital masih sentralistik di perkotaan. Kawasan urban tumbuh menjadi pusat ekonomi digital yang menjanjikan. Sementara masyarakat pedesaan masih bergelut dengan problem akses internet. Bukan cuma soal kecepatan transfer data, namun juga kendala harga yang masih mahal.

Padahal, bila berbicara kemsikinan, pedesaanlah yang paling banyak membutuhkan uluran tangan. Data yang dirilis BPS menunjukkan desa masih jadi kantong utama kemiskinan. Artinya, digitalisasi ekonomi desa punya dua tantangan sekaligus. Yaitu tantangan aksesabilitas yang ditunjang oleh infrastuktur teknologi informasi. Serta tentu saja edukasi sehingga masyarakat desa mau mengadopsi teknologi terkini untuk meningkatkan taraf ekonomi.

Selain pemerataan, tantangan berikutnya yang juga harus dipecahkan adalah menciptakan produk lokal yang andal. Ada satu fakta yang cukup menyedihkan di balik primadona e-commerce di Indonesia. Menurut data dari Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, hanya 6%–7% produk Indonesia yang listing di online marketplace Indonesia.

Artinya, belanja masyarakat di marketplace justru mengalir ke luar negeri. Secara tidak langsung, e-commerce lokal mempromosikan produk impor. Belum lagi bicara soal konsekuensi lain seperti kebutuhan dollar tinggi yang turut menggerus devisa serta menurunkan daya saing rupiah.

Daya beli masyarakat yang menjanjikan belum diimbangi dengan kemampuan dan kapasitas produksi pelaku usaha dalam negeri. Kita belum mampu menciptakan produk-produk unggulan dan kompetitif. Padahal, peluang dan minat tinggi konsumen berbelanja di e-commerce semestinya dimanfaatkan untuk memberdayakan masyarakat serta mengentaskan kemiskinan.

Banyak cara yang bisa ditempuh. Termasuk mendorong produk-produk pedesaan tampil ke permukaan. Apalagi sudah ada BUMDes yang didaulat sebagai front ekonomi desa dengan suntikan energi dana desa yang tak kecil jumlahnya. Produk-produk masyarakat desa diharapkan mengisi etalase e-commerce untuk menjangkau pasar global. Agar desa turut menikmati ranumnya ekonomi digital.

Tak ayal, ambisi pemerintah menempatkan Indonesia sebagai pusat ekonomi digital di Asia Tenggara pada tahun 2020, diametral dengan tantangan pengentasan kemiskinan. Ekonomi digital yang dicita-citakan dalam road map e-commerce Indonesia, dituntut menjadi jembatan kesejahteraan. Pedesaan yang masih jadi kantong kemiskinan mesti didaulat mengarungi ekonomi digital.

Visi besar ekonomi digital itu harusnya akseleratif terhadap upaya mengentaskan kemiski-nan. Bukan justru malah semakin memperlebar disparitas antara desa dan kota. Bukan pula malah jadi panggung bagi beragam produk-produk asing.•

Jusman Dalle
Direktur Eksekutif Tali Foundation dan Praktisi Ekonomi Digital

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×