Reporter: Syamsul Ashar | Editor: Tri Adi
Urusan mengatur aliran dana asing di portofolio keuangan memang bikin mumet otoritas, baik otoritas fiskal maupun moneter. Pergerakan dana panas alias hot money ini tak ubahnya jelangkung, yang datang tak diundang dan pulang tak diusir.
Saat satu negara tengah menghadapi tren positif atau sentimen ekonominya cerah, duit asing akan berbondong-bondong datang. Ada yang beli saham, surat utang negara, juga instrumen pengendalian moneter. Tapi, saat ada negara lain yang tren nya sedikit lebih baik, mereka buru-buru mengalihkan duit ke instrumen-instrumen investasi di negera yang sedang naik daun tersebut.
Celakanya, negara-negara tempat mampir duit asing ini tak punya aturan ketat untuk membatasi ruang gerak mereka. Termasuk negara seperti Indonesia. Indonesia terlanjur menganut sistem devisa bebas, sehingga berapapun duit asing yang masuk dan keluar, diperbolehkan.
Tak heran, jika pasar keuangan Indonesia sangat rentan dengan pergerakan duit panas ini. Apalagi, duit asing ini mendominasi sebagian besar portofolio investasi keuangan, baik di saham maupun surat utang. Akibatnya bila duit asing masuk ke bursa saham, Indeks Harga Saham Gabungan akan melonjak, dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat bisa terbang.
Berdasarkan catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tumpukan duit asing di portofolio investasi Indonesia mencapai Rp 1.802 triliun. Terbesar diantaranya tertanam di saham dan obligasi negara.
Wacana untuk mengekang pergerakan dana panas inilah yang mengemuka dalam beberapa hari terakhir. Pemerintah mengkaji penggunaan instrumen fiskal yakni pengenaan pajak bagi duit panas agar tak mudah kabur dari Indonesia.
Istilahnya, penerapan tobin tax atau pajak transaksi keuangan alias financial transactions tax (FTT). Tujuan kebijakan yang diinisasi oleh ekonom Amerika Serikat James Tobin pada 1972 itu tak lain untuk mengendalikan gejolak terutama nilai tukar mata uang valuta asing.
Negara-negara lain pernah menerapkan aturan ini dengan kisaran pajak 0,1%–1%. Indonesia pada zaman Menkeu Fuad Bawazier juga pernah melakukannya dengan tarif pajak pembelian valas sebesar 5%.
Tapi, apa pemerintah sudah mengantisipasi kalau duit ribuan triliun itu bakal kabur sekejap lantaran takut dikenakan pajak? Lalu muncullah pemikiran reverse tobin tax, yakni memberikan insentif pajak bagi duit panas yang betah. Lah, nanti pemilik duit panas yang untung.•
Syamsul Ashar
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News