Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Pada penutupan akhir minggu lalu, rupiah berada di level Rp 14.820 per dollar AS, melemah 9,6% sejak awal tahun ini. Menebak pergerakan rupiah bukan perkara mudah karena dipengaruhi sentimen global dan domestik, serta keseimbangan supply dan demand valas.
Kami melihat pelemahan rupiah September ini lebih dipengaruhi faktor eksternal, terutama krisis Turki dan Argentina yang memicu kecemasan investor terhadap prospek keuangan negara-negara berkembang (emerging markets) yang memicu perpindahan aliran dana ke AS. Perkara perang dagang antara AS dengan beberapa mitra dagangnya juga membuat permintaan dollar AS sebagai safe haven currency makin meningkat. Di saat ada gejolak, investor cenderung menempatkan dananya ke instrumen investasi yang dinilai lebih aman dan imbal hasil yang lebih menarik.
Daya tarik dollar AS didukung prospek ekonomi AS yang membaik dan potensi kenaikan suku bunga yang lebih agresif. The Fed mengindikasikan peningkatan suku bunga acuan Fed Funds Rate sebanyak dua kali lagi pada semester kedua tahun ini sehingga total kenaikan menjadi empat kali ke level 2,5% di pengujung tahun. Penguatan dollar AS juga tercermin melalui peningkatan indeks dollar yang kembali meningkat ke 96,7 sebagai level tertinggi sejak Juni 2017.
Depresiasi rupiah sebagai hasil dari modal asing yang keluar dari pasar modal dalam negeri sepanjang tahun menimbulkan pesimisme terhadap stabilitas keuangan domestik. Sepanjang September 2018 hingga penutupan pekan minggu lalu, tercacat aksi jual bersih (net outflow) Rp 2,8 triliun di pasar saham dan outflow Rp 14,2 triliun di pasar obligasi.
Selain itu, kinerja ekspor Indonesia yang belum optimal dan impor yang besar perlu dicermati karena berpotensi membuat defisit neraca berjalan (CAD) melebar. Dalam menghadapi kondisi seperti ini, perlu peran besar pemerintah, bank sentral dan pelaku usaha untuk meredam contagion risks yang lebih besar.
Dengan volatilitas pasar finansial global yang masih tinggi, maka perpindahan arus modal asing masih rentan. Tetap harus diwaspadai bahwa kebijakan moneter bank sentral global, arah pergerakan imbal hasil obligasi AS dan potensi kenaikan Fed Funds Rate yang lebih agresif merupakan beberapa risiko yang harus dicermati. Terlepas dari berbagai katalis negatif itu, harus diyakini meski rupiah mendekati level terendah dalam 20 tahun terakhir, kondisi saat ini tak bisa disamakan dengan krisis finansial Asia pada 1998. Kala itu, rasio utang terhadap PDB sebesar 100%, cadangan devisa hanya US$ 17 miliar, terjadi hiperinflasi hingga 82,4% dan suku bunga melonjak menjadi 60%. Sementara 2018, indikator ekonomi itu jauh lebih sehat, di mana rasio utang terhadap PDB per Juni sebesar 34%, cadangan devisa US$ 118,3 miliar per Juli 2018, inflasi terkendali 3,2% dan suku bunga 5,5% pada Agustus 2018. Karenanya, transmisi kebijakan moneter dan fiskal serta implementasi kebijakan ekonomi yang efektif diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan investor terhadap pasar keuangan dan prospek ekonomi Indonesia.
Ke depan, potensi risiko kenaikan bunga The Fed, perang dagang, perang mata uang dan masalah geopolitik masih membayangi rupiah. Kami menilai perlu ada kebijakan jangka pendek yang dapat meredam gejolak rupiah. Kebijakan itu mayoritas berasal dari bank sentral seperti pengendalian transaksi valas dan swap lindung nilai. Bank sentral juga harus melanjutkan bauran kebijakan meliputi suku bunga, nilai tukar, pengaturan aliran dana investasi, kebijakan makroprudensial dan kebijakan moneter. Kami melihat masih ada ruang kenaikan 7-days reverse repo rate kembali menjelang akhir 2018 sebagai upaya stabilisasi rupiah.
Sementara kebijakan jangka panjang berkaitan dengan kebijakan yang mendorong ekspor dan mengendalikan impor. Pemerintah dapat memberikan insentif ekspor dan perluasan pasar ekspor baru. Langkah pemerintah yang mengeluarkan kebijakan mengendalikan impor untuk menekan defisit neraca perdagangan seperti penggunaan B20 sebagai subsitusi impor, peningkatan tarif PPh untuk barang konsumsi dan pemeriksaan impor barang konsumsi dapat diapresiasi.
Selain itu, diperlukan kebijakan yang lebih memperkuat sektor industri dalam negeri dan mendorong penggunaan barang produksi dalam negeri agar tidak terikat produk impor. Meski implementasinya butuh waktu, kami memperkirakan kebijakan ini dapat memperbaiki neraca perdagangan Indonesia dan meredam depresiasi rupiah.•
Reny Eka Putri
Senior Quantitative Analyst Office of Chief Economist Bank Mandiri
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News