Reporter: Thomas Hadiwinata | Editor: Tri Adi
Jika perjalanan sebuah negara diibaratkan sebagai roda yang berputar, Venezuela bisa dipastikan tengah terayun ke bawah. Berbagai indikator makro menunjukkan negeri itu sedang krisis.
Selama hampir satu dekade terakhir, alih-alih mengalami pertumbuhan ekonomi Venezuela justru mengalami kontraksi. Jika dirata-rata besar kontraksi ekonomi Venezuela mencapai 20% per tahun.
Sebagai pembanding, saat terbelit krisis politik plus ekonomi di tahun 1998, Indonesia mengalami kontraksi ekonomi sebesar 13%.
Negeri itu juga mengalami hiperinflasi. Seperti dikutip Reuters, IMF memprediksi tahun ini laju inflasi di Venezuela akan mencapai 10 juta persen. Hiperinflasi yang menjulang berarti bolivar, mata uang Venezuela, tergerus nilainya tiap jam.
Krisis Venezuela kian pelik dengan munculnya dua pemimpin. Nicolas Maduro tidak menunjukan niat mundur dari kursi presiden yang ia tempati, sejak menggantikan Hugo Chavez, yang meninggal.
Jabatan Presiden Venezuela juga diklaim oleh Juan Guaido, pimpinan kubu oposisi. Sejauh ini, Guaido sudah mendapat dukungan dari 50 negara, termasuk Amerika Serikat (AS) dan Brazil.
Demi menekan Maduro, Pemerintahan Presiden Donald J. Trump memboikot minyak produksi Venezuela. Mengingat minyak mentah merupakan komoditas andalannya, Venezuela pun kian sengsara.
Namun tanpa aksi boikot minyak pun, krisis Venezuela bisa dipastikan akan bergerak bak bola liar. Menurut ekonom di dunia barat, penyebab Venezuela tergelincir ke bola salju krisis adalah kebijakan ekonomi yang terlalu populis.
Ketika Chavez mulai menggeber aneka program populis, mulai bantuan tunai, pendirian ribuan klinik yang memberi layanan kesehatan gratis, subsidi pangan dan kesehatan, Venezuela memang sedang makmur-makmurnya. Maklumlah, di saat itu, awal abad ke-21 harga minyak tengah meroket.
Namun sejarah dalam dua dekade terakhir memperlihatkan tren harga komoditas, baik melemah ataupun menguat, tidak pernah bertahan lebih dari dua-tiga tahun. Venezuela sontak terjerat krisis ketika harga minyak berubah arah.
Melihat kembali awal mula krisis Venezuela mudah-mudahan bisa membuat kita lebih bijak dalam menyaksikan debat calon presiden besok yang mengusung tema ekonomi. Jika mengingat Venezuela, semestinya kita tak mudah terbuai dalam jargon ekonomi populis yang hiperinflasi di masa kampanye.•
Thomas Hadiwinata
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News