| Editor: Tri Adi
Otomotif seringkali dianggap sebagai industri yang tidak berkembang di Indonesia. Salah satu indikator umum penilaian masyarakat adalah belum tersedianya mobil buatan dalam negeri yang berskala nasional. Namun, apakah benar industri otomotif Indonesia mengalami stagnasi?
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan industri otomotif merupakan salah satu penopang terbesar industri pengolahan Indonesia. Kontribusi industri otomotif terhadap industri pengolahan konsisten berada di atas 10,5% sejak tahun 2010.
Pada tahun 2016 dan 2013, pertumbuhan industri otomotif pernah mencapai 4,59% (yoy) dan 14,9% (yoy). Catatan itu melebihi pertumbuhan industri pengolahan pada tahun yang sama.
Meskipun memang, kontribusi industri otomotif pada semester I 2017 hanya 2,2% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Sementara pertumbuhannya tercatat 2% (yoy) atau lebih rendah dari pertumbuhan industri pengolahan yang mencapai 3,9% (yoy).
Namun sebenarnya Indonesia memiliki potensi pasar yang besar. Terutama pasar dalam negeri. Dari 65 juta rumah tangga yang pernah disurvei BPS pada tahun 2015, baru 9,3% saja yang telah memiliki mobil.
Rasio tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan rasio kepemilikan mobil di Thailand sebesar 22% dan Malaysia yang hampir 40%. Rendahnya rasio kepemilikan mobil Indonesia menunjukkan besarnya ruang pertumbuhan penjualan mobil.
Sebagai gambaran, volume produksi industri otomotif tahun 2016 sekitar 1,2 juta unit. Perincian penjualannya, 1 juta unit dipasarkan di dalam negeri dan sekitar 200.000 unit diekspor. Sementara kapasitas produksi industri otomotif Indonesia tahun 2017 telah mencapai 2,2 juta unit.
Berbeda dengan volume produksi mobil di Thailand yang mencapai 1,9 juta unit. Dari produksi tersebut, hanya 800.000 unit yang dipasarkan di dalam negeri. Alhasil ruang ekspor mereka masih sangat besar.
Rendahnya utilitas industri otomotif Indonesia dapat dioptimalkan melalui beberapa cara. Pertama, memperdalam pasar domestik. Penjualan mobil domestik Bulan September 2017 menurun -5,9% (yoy) menjadi sekitar 87.600 unit. Meskipun begitu, penjualan mobil Januari - September 2017 tumbuh 2,6% (yoy) mencapai 803.000 unit atau sekitar 73% dari target penjualan tahun 2017.
Menariknya, penjualan Low Cost Green Car (LCGC) yang sempat booming dan menjadi penggerak penjualan mobil domestik mulai kembali ke siklus normal. Penjualan LCGC bulan September 2017 sekitar 17.600 unit, atau turun -30,8% (yoy) dan -14,6% (mom).
Salah satu cara yang bisa dilakukan produsen untuk meningkatkan penjualan adalah dengan meluncurkan model-model baru dari mobil-mobil yang paling banyak diminati pasar. Dengan begitu, produksi dan tingkat utilitas akan ikut meningkat.
Kedua, memperluas pasar ekspor. Produsen mobil harus dapat melengkapi lini produksi dengan jenis-jenis mobil yang paling banyak diminati pasar global.
Tujuh dari 10 tipe mobil yang paling banyak terjual di dunia pada 2016 ternyata berjenis sedan. Hal itu cukup kontras dengan konsumsi dalam negeri yang lebih banyak meminati mobil Multi Purpose Vehicle (MPV).
Jadi cukup logis apabila kelebihan kapasitas industri otomotif tersebut lalu difokuskan untuk memperbanyak produksi mobil jenis sedan saja. Namun memang produksi sedan di Indonesia terkendala oleh tingginya biaya produksi akibat tarif Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPN-BM) sedan yang lebih tinggi daripada mobil MPV. Sebagai informasi, tarif PPNBM terendah untuk sedan adalah 30% sedangkan tarif PPN-BM terendah untuk MPV hanya 10%.
Oleh karena itu, diperlukan solusi ketiga, yaitu pemberian insentif dari pemerintah. Salah satu contohnya adalah dengan menyesuaikan tarif PPN-BM sedan agar setara dengan MPV.
Sekilas, penurunan tarif tersebut bakal mengurangi penerimaan negara. Namun, peningkatan volume produksi berpotensi mengimbangi potensi penurunan itu. Jadi, secara total negara tidak akan terlalu dibebani. Apalagi meningkatnya produksi mobil juga dapat mendorong pertumbuhan industri-industri pendukung seperti suku cadang dan reparasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News