kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.914   16,00   0,10%
  • IDX 7.166   24,84   0,35%
  • KOMPAS100 1.100   4,99   0,46%
  • LQ45 871   5,06   0,58%
  • ISSI 220   0,50   0,23%
  • IDX30 445   2,52   0,57%
  • IDXHIDIV20 536   1,40   0,26%
  • IDX80 127   0,74   0,59%
  • IDXV30 134   0,37   0,27%
  • IDXQ30 148   0,34   0,23%

Mengorbankan pertumbuhan ekonomi


Kamis, 30 Agustus 2018 / 14:46 WIB
Mengorbankan pertumbuhan ekonomi


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Realisasi pertumbuhan ekonomi domestik di kuartal II-2018 mencapai 5,27% year on year (yoy). Hasil ini lebih baik dibandingkan periode serupa tahun 2017 di level 5,06% (yoy). Ini sekaligus menjadi pertumbuhan ekonomi kuartalan tertinggi sejak tahun 2013.

Bahkan, dibandingkan beberapa negara sekawasan, pencapaian pertumbuhan ekonomi ini sangat baik. Pertumbuhan ekonomi China, Vietnam, India dan Kamboja justru menurun di kuartal II-2018.

Meski pertumbuhan ekonomi ini cukup menjanjikan, tetapi sejumlah risiko telah menghadang di depan. Baik dari sisi eksternal dan internal. Sehingga, jika risiko ini diantisipasi secara cermat dengan ramuan kebijakan yang baik dan tepat, maka bisa memberikan dampak yang tidak positif pada perekonomian secara luas.

Sejumlah risiko eksternal yang saat ini patut diwaspadai, yaitu: Pertama, kenaikan suku bunga di negara-negara maju, khususnya dari Amerika Serikat (AS) akan memicu terjadinya aliran dana keluar (capital outflow) dari pasar keuangan di kawasan emerging market. Indonesia telah mengalaminya sejak awal tahun ini, khususnya dari pasar saham.

Aliran dana keluar ini turut berkontribusi pada pelemahan nilai tukar rupiah. Dan, sampai saat ini, tren pelemahan rupiah pun masih terus berlanjut.

Tekanan pada rupiah ini juga masih berpeluang berlanjut, seiring dengan pecahnya krisis nilai tukar lira, Turki. Krisis ini bisa memicu turunnya kepercayaan investor global pada kawasan emerging, yang berimbas memperburuk aliran dana keluar.

Kedua, perang dagang yang dilakukan oleh AS dengan sejumlah negara, khususnya China. Meski ekonomi Indonesia tidak terdampak signifikan terhadap perang dagang ini. Namun, mengingat Tiongkok merupakan mitra dagang terbesar Indonesia, jika ekonomi Negeri Tembok Raksasa tertekan oleh perang dagang tersebut, Indonesia akan turut merasakan dampak.

Ketiga, kenaikan harga minyak dunia. Geliat pertumbuhan ekonomi dunia dan ketidakpastian produksi minyak global telah membuat tren kenaikan harga minyak dunia berlanjut. Harga minyak dunia ini pun telah jauh di atas asumsi harga minyak (ICP) di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 yang sebesar US$ 48 per barel.

Di satu sisi, kenaikan harga minyak ini memberi keuntungan bagi perekonomian Indonesia, khususnya terhadap penerimaan negara di APBN. Sampai dengan Mei 2018, realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mencapai Rp 145 triliun.

Hasil ini tumbuh sebesar 18,7% dibandingkan periode yang sama tahun 2017. Bahkan, target PNBP di APBN 2018 sebesar Rp 275 triliun bisa terlampaui.

Namun di sisi lain, kenaikan harga minyak ini juga menggerus devisa mengingat posisi Indonesia sebagai net importir minyak. Bukan itu saja, beban subsidi yang juga meningkat, seiring dengan kebijakan pemerintah yang tidak akan mengerek harga bahan bakar minyak (BBM) sampai tahun 2019.

Tingginya impor minyak inilah yang turut memberi kontribusi pada pemburukan defisit transaksi berjalan. Pada kuartal II-2018, Defisit transaksi berjalan mengalami pelebaran menjadi 3,04% dari produk domestik bruto (PDB) dari kuartal I-2018 sebesar 2,21% dari PDB.

Nah, kombinasi dari berbagai risiko tersebut telah berimbas pada kejatuhan nilai tukar rupiah. Sampai dengan 20 Agustus 2018, nilai tukar rupiah telah melemah (depresiasi) sebesar 7,39% ke level Rp 14.569 per dollar AS dari awal tahun 2018.

Harus diakui bahwa pelemahan rupiah ini juga dialami oleh nilai tukar lainnya, termasuk nilai tukar di negara-negara maju. Seperti euro (Eropa), yen (Jepang), dan dollar (Kanada). Bahkan, pelemahan rupiah ini masih relatif lebih baik jika dibandingkan nilai tukar negara lain, seperti India, Rusia dan Afrika Selatan.

Meski begitu, pelemahan rupiah ini tidak bisa dibiarkan terus terjadi. Apalagi, perekonomian Indonesia masih memiliki ketergantungan yang relatif tinggi terhadap kandungan impor. Sehingga, dengan melemahnya nilai tukar akan membuat harga produk impor meningkat yang pada akhirnya bisa mendorong inflasi (imported inflation).

Harus lebih kerja keras

Selain itu, pelemahan nilai tukar yang terus berlanjut bisa menambah beban pembayaran bunga utang luar negeri. Serta bisa menurunkan kepercayaan investor asing, sehingga ujungnya adalah akan mendorong mereka menarik keluar investasi mereka dari pasar keuangan lokal.

Padahal, investasi asing ini masih dibutuhkan di tengah realitas masih terbatasnya kemampuan keuangan pemerintah. Serta dari kapasitas pendanaan dari sektor keuangan domestik untuk membiayai pembangunan ekonomi.

Di tengah situasi yang seperti itu, pilihan sulit harus diambil oleh pemerintah dan Bank Indonesia (BI). Apakah membiarkan rupiah terus melemah atau mengorbankan pertumbuhan ekonomi.

Sepertinya BI dan pemerintah lebih memilih untuk mengorbankan pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana diketahui, sejak Mei-Agustus 2018, Bank Indonesia mengerek naik suku bunga kebijakan (BI-7 days reverse repo rate/BI-7DRR) sebesar 125 basis poin (bps) menjadi 5,5%.

Hal ini untuk menarik minat asing agar kembali masuk dan memperkuat rupiah. Namun, kenaikan bunga ini akan mendorong kenaikan suku bunga kredit dan akan menekan kinerja pertumbuhan.

Pemerintah juga memberikan dukungan terhadap kebijakan BI tersebut. Sejumlah kebijakan pemerintah untuk mengurangi tekanan pada rupiah, seperti melakukan pembatasan terhadap 500 item barang-barang impor, mendorong peningkatan penggunaan komponen lokal, dan mempercepat implementasi mandatory B-20.

Bagi pemerintah ini bukan kebijakan yang mudah. Dengan mengorbankan pertumbuhan ekonomi, maka akan dapat berimbas pada penciptaan lapangan kerja yang sebesar-besarnya.

Oleh sebab itulah, tekanan nilai tukar rupiah ini harus jadi momentum bagi pemerintah untuk makin bekerja keras dalam memperbaiki struktur perekonomian, khususnya dalam menyehatkan defisit transaksi berjalan.

Bagaimana pun, jika struktur ekonomi Indonesia tetap kokoh, meskipun terjadi gejolak eksternal menghadang, maka nilai tukar rupiah tidak akan dengan mudah bergoyang, seperti yang terjadi saat ini.•

Desmon Silitonga
Analis Capital Asset Management dan Alumnus Pascasarjana FEUI

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×