kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Menguak Aturan Pajak di UU Cipta Kerja


Jumat, 23 Oktober 2020 / 11:56 WIB
Menguak Aturan Pajak di UU Cipta Kerja
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Hiruk pikuk mewarnai dunia offline dan dunia online atas respon Undang-Undang Cipta Kerja. Ada pro dan kontra terhadap UU Cipta Kerja, demonstrasi dimana-mana baik buruh, dan mahasiswa yang tidak setuju dengan UU Cipta Kerja.

Marwah UU Cipta Kerja memang bertujuan mulia, untuk membuka lapangan kerja sebanyak-banyaknya, ditengah situasi pandemi sekarang, karena banyak perusahaan saat ini gulung tikar sehingga menelurkan pengangguran. Angka pengangguran kita berdasarkan Biro Pusat Statistik (BPS) mencapai 6,88 juta orang di bulan Februari 2020

Dengan UU Cipta Kerja diharapkan akan bisa mengurangi angka pengangguran, kemudahan investasi dikedepankan sehingga pebisnis dalam dan luar negeri akan melirik Indonesia untuk membuka usaha baru yang berdampak menyerap tenaga kerja.

Secara teori tujuan UU Cipta Kerja bagus. Penulis ingin mengurai UU Cipta Kerja dari klaster pajak, bagaimana kondisi perubahan yang terjadi di UU Cipta Kerja atas peraturan perpajakan.

Memang persoalan pajak bagi investor bukanlah masalah yang utama, namun cukup menjadi sorotan seperti pemikiran yang dilontarkan Menurut Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo, "Pemerintah seharusnya dapat menikmati besarnya potensi pajak dari perusahaan yang selama ini tidak membayar pajak. Namun, saat ini pajak yang ditetapkan oleh pemerintah masih dianggap kurang seksi untuk dilirik bagi para pengusaha,".

Hal inilah yang menyebabkan, terdapat beberapa pengusaha di Indonesia yang memutuskan untuk membuka perusahaan di negara-negara yang bebas pajak (tax heaven country). Jadi persoalan pajak bagi pengusaha bukanlah yang utama namun masuk dalam kalkulasi mereka dalam menebar benih investasi disuatu negara.

UU Cipta Kerja mencoba mengurai benang kusut hal ini, tentang pajak atas dividen yang selama ini menjadi momok pengusaha karena hal tersebut merupakan pajak berganda (double taxion), mengapa pajak atas deviden masuk dalam katagori pajak berganda, karena dividen yang ditarik para pengusaha di perusahaan berasal dari laba yang sudah dipajaki, jika deviden tersebut dikenakan pajak maka atas objek pajak yang sama (laba setelah pajak) dikenai dua kali pemajakan.

Di UU Cipta Kerja mengatur deviden di pasal 111 mengubah Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat 3 huruf f, yang berbunyi, yang dikecualikan dari objek pajak atau bukan objek pajak atas deviden yang dibagikan yang berasal dari dalam negeri dan luar negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri dan luar negeri, sepanjang dividen itu pada jangka waktu tertentu diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hal ini sangat ramah bisnis dan persoalan pajak berganda atas dividen dapat terselesaikan yang selama ini manjadi penghambat investasi. Dampak dari deviden tidak dikenai pajak akan mendorong para pemilik modal lebih produktif menggerakan roda perekonomian di dalam negeri.

Sanksi lebih ringan

Aspek pajak yang menarik untuk di kaji dalam UU Cipta Kerja adalah pengaturan atas sanksi administrasi perpajakan yang saat ini selalu menjadi polemik karena dinilai terlalu memberatkan wajib pajak. Saat ini jika wajib pajak melakukan kesalahan menghitung dan menyetor pajak, sanksi administrasinya dikenakan denda 2% perbulan maksimal 24 bulan sehingga total maksimal 48%.

Dalam UU Cipta Kerja sanksi administrasi ini di sesuaikan dengan suku bunga yang berlaku saat terjadi sanksi, hal ini tercantum dalam Pasal 113 yang merubah Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) pasal 8 ayat 5a, yang menyatakan tarif bunga perbulan yang ditetapkan Menteri Keuangan sesuai ayat 5 dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 10% dan dibagi 12 yang berlaku pada tanggal dimulainya perhitungan sanksi. Sehingga kalkulasinya dengan UU Cipta Kerja, sanksi administrasi perpajakan di bawah 2% perbulan.

UU Cipta Kerja yang memberikan keringanan dalam hal sanksi bagi wajib pajak, dengan menurunkan sanksi administrasi perpajakan bukankah hal tersebut justru akan mengurangi efek jera dari wajib pajak?

Namun penulis memiliki pandangan yang berbeda, kadang wajib pajak melakukan kesalahan yang tidak disengaja karena ketidaktahuan atau juga karena kondisi kesulitan keuangan yang membuat wajib pajak harus menunda pembayaran pajak, jika sanksi memberatkan akan mempengaruhi cash flow  perusahaan sehingga modal kerja dari perusahaan terganggu dalam melakukan aktivitas bisnisnya. Peraturan sanksi administrasi denda dalam UU Cipta Kerja sudah sesuai dengan aspek keadilan dari situasi yang cepat berubah dan tidak bersifat dipatok dengan tarif bunga nominal tetap seperti saat ini.

Sedangkan untuk Pajak Pertambahan nilai (PPN) UU Cipta Kerja memberikan warna baru dalam UU PPN ini yang selama ini barang konsinyasi dikenakan PPN saat perpindahan dari produsen ke pihak yang titipi barang untuk menjual barang konsinyasi tersebut, padahal barang tersebut belum terjual dan terpakai oleh konsumen pemakai, hanya baru dititipkan ke pihak pedagang yang dititipi untuk menjual seperti supermarket dan mini market tentunya hal ini memberatkan dan merepotkan pedagang.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan tentang penyerahan barang konsinyasi yang tidak dikenakan PPN dalam konfrensi pers tentang UU Cipta Kerja. Non objek PPh untuk yayasan keagamaan, sosial dan pendidikan diperjelas juga dalam konfrensi pers tersebut. Sedangkan penyerahan batubara menjadi objek PPN.

UU Cipta Kerja klaster pajak memberikan angin segar terhadap wajib pajak dan pengusaha, karena tujuan dari UU Cipta Kerja ini memberikan kelonggaran investasi di Indonesia guna membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan daya saing Indonesia dengan negara-negara lain dalam menarik investasi.

Namun para pemangku jabatan perlu merenungkan teori yang di ungkapkan ekonom dan sosiolog Jerman, "Perusahaan kapitalis modern bersandar terutama pada perhitungan dan mengandalkan sistem hukum dan administrasi, yang fungsinya dapat diprediksi secara rasional, setidaknya pada prinsipnya, berdasarkan norma umum yang tetap, seperti kinerja mesin" (Max Weber). Perlu adanya terobosan dari pemerintah selain membuat peraturan juga mengawasi sistem hukum dan menegakan peraturan itu sendiri, karena kita kerap kali lemah dalam penegakannya.

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan administrasi perpajakan yang akan melaksanakan UU Cipta Kerja kluster pajak, hal ini akan dilengkapi dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) untuk jadikan petunjuk pelaksanaan alias juklak dari pasal-pasal yang ada di UU Cipta Kerja kluster pajak. Dalam membuat petunjuk teknis inilah diperlukan kecermatan dan pemikiran jeli sehingga hal ini dapat memberikan masukan untuk sistem hukum dan administrasi yang rasional juga tepat guna. Kita tunggu saja nanti.

Penulis : Irwan Wisanggeni

Dosen Trisakti School of Management

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×