Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - Si pemegang daulat membentuk hukum, hatinya harus murni dan jernih, pikiran harus lurus, tak belok-belok, berilmu tinggi, lalu banyak-banyak berdoa. Apabila hatinya kotor dan bernoda, angkara akan merasuki, jadilah karya yang berlumur petaka. Ibarat menempa keris, menempa pasal-pasal dalam kitab hukum pun demikian, si Empu harus bersih, jernih, memasrahkan diri pada sang Khalik, tak bernoda akal pikir dan jiwanya, panjatan doanya menembus langit. Bila bernoda, ditunggangi durjana, susahlah rakyat banyak, susahlah alam, susahlah anak cucu, lalu hancurlah negaranya. Itulah moralitas hukum si pemegang Daulat.
Selasa, tanggal 12 Mei 2020 lalu DPR RI dalam rapat paripurna menyetujui bersama Rancangan Undang-Undang (RUU) Mineral dan Batubara (Minerba) menjadi Undang-Undang (UU). UU ini mengubah UU No. 4 Tahun 2009. Meski substansi RUU Minerba ini ditolak oleh banyak masyarakat sipil dan tokoh-tokoh pertambangan, DPR dan pemerintah tetap memaksakan RUU Minerba yang disusun dan dibahas secara kilat ini menjadi UU di tengah pandemi Covid-19.
Politik hukum macam apa yang sebenarnya sedang dibuat oleh DPR dan pemerintah di UU Minerba? Politik hukum korporat-kratisme, korporatisme, oligarkisme, constitutional dictatorship, atau mungkin betul-betul politik hukum sumber daya alam (SDA) berbasis keadilan ekonomi sesuai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945?
Ada banyak soal moralitas hukum konstitusonalitas yang terkandung dalam UU Minerba ini.
Cedera moralitas hukum
Ada berbagai potensi cacat moralitas yang terlihat dalam pembentukan UU Minerba ini, baik moralitas prosedural maupun substansi. Cacat moralitas prosedur yang pertama yaitu, RUU Minerba tidak memenuhi kriteria carry over sesuai Pasal 71A UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam Pasal 71A UU No. 15 Tahun 2019 diatur bahwa dalam hal pembahasan RUU telah memasuki pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) pada periode masa keanggotaan DPR saat itu, hasil pembahasan RUU tersebut disampaikan kepada DPR periode berikutnya dan berdasarkan kesepakatan DPR, Presiden, dan/atau DPD, RUU tersebut dapat dimasukkan kembali ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka menengah dan/atau Prolegnas prioritas tahunan.
RUU Minerba merupakan RUU inisiatif DPR yang telah disusun drafnya sejak DPR periode 2014-2019 dan hingga masa jabatan DPR periode lalu berakhir bulan September 2019 belum dilakukan pembahasan DIM RUU Minerba. Berdasarkan Pasal 71A UU Nomor 15 Tahun 2019 bahwa carry over pembahasan RUU harus memenuhi syarat telah dilakukan pembahasan DIM oleh DPR periode sebelumnya, padahal DPR periode lalu belum satupun membahas DIM RUU Minerba. Artinya, carry over RUU Minerba ke DPR Periode 2019-2024 jelas ilegal karena bertentangan dengan Pasal 71A UU No. 15 Tahun 2019.
Kedua, ketiadaan peran DPD RI sesuai Pasal 22D UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.92/PUU-X/2012. Pembahasan RUU Minerba haruslah melibatkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Hal ini berdasarkan Pasal 22D UUD NRI 1945, Pasal 249 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), serta Putusan MK No. 92/PUU-X/2012. Dalam Putusan MK No. 92/PUU-X/2012 menyatakan bahwa DIM diajukan oleh Presiden dan DPD jika RUU berasal dari DPR. Kenyataannya tidak ada DIM yang dibuat oleh DPD sepanjang pembahasan RUU Minerba. Ketiadaan DIM dari DPD dan ketiadaan keterlibatan DPD dalam penyusunan dan pembahasan ini jelas menentang amanat Pasal 22D UUD 1945, UU No. 12 Tahun 2012, dan Putusan MK.
Ketiga, RUU Minerba tidak memenuhi asas keterbukaan pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011. Pembahasan RUU Minerba tidak melibatkan partisipasi publik dan stakeholder secara luas, termasuk pemerintah daerah dan BUMN. Hal ini jelas melanggar asas keterbukaan bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Ideologi korporatisme
Selanjutnya, cacat moral terkait substansi RUU Minerba yang mengabaikan ideologi SDA sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 UUD NKRI 1945. Dalam Pasal 169A UU Minerba diatur mengenai ketentuan perpanjangan perusahaan pemegang kontrak karya (KK) dan perjanjian karya pengusahaan batubara (PKP2B) dengan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) tanpa adanya pemberian prioritas kepada BUMN dan BUMD untuk mengusahakannya. Ketidakberpihakan pemerintah dan DPR dalam UU Minerba merupakan bentuk kezaliman negara terhadap perusahaan negara yang dimiliki negara itu sendiri, kecuali bila pengendali negara telah tersendera karena adanya konflik kepentingan dengan usaha-usahanya atau kelompoknya.
Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 jelas mengamanatkan adanya penguasaan negara atas sumber daya alam, salah satunya melalui pengelolaan (behersdaad). Dalam berbagai Putusan MK menyatakan bahwa penguasaan negara tingkat pertama atas sumber daya alam yaitu melalui pengelolaan langsung SDA oleh negara melalui perusahaan negara (BUMN).
Kenyataannya, perusahaan negara ini tidak diprioritaskan sama sekali dalam IUPK atas PKP2B yang berakhir operasi produksinya. Belum lagi soal penghapusan kewenangan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan minerba, padahal Pasal 18A UUD NRI 1945 menyatakan bahwa hubungan pemanfaatan SDA pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Akhirnya, UU Minerba ini tentu akan diuji konstitusionalitas oleh kelompok masyarakat ke MK agar pasal-pasal dalam UU Minerba dikembalikan kepada kehendak Pancasila dan UUD NRI 1945. Minerba haruslah dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Penulis : Ahmad Redi
Ketua Program Ilmu Hukum Universitas Tarumanegara
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News