kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mengukur akar spiritual kapitalisme


Senin, 27 Agustus 2018 / 16:45 WIB
Mengukur akar spiritual kapitalisme


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Terpilihnya K.H. Maruf Amin sebagai calon wakil presiden (cawapres) Joko Widodo (Jokowi) dan Sandiaga Uno (Sandi) sebagai calon wapres dari Prabowo Subianto bisa jadi meredakan tensi politik yang kemarin sempat tinggi. Pasalnya, kedua sosok cawapres itu datang dari latar belakang keislaman dan santri yang kental.

Hikmah lain lagi yang tidak kalah penting, perdebatan pemilihan presiden (pilpres) saat ini tampaknya sudah bergeser menjadi lebih berfokus ke adu gagasan seputar isu-isu konkret. Utamanya soal perekonomian yang kerap menjadi bahan serangan dari pihak lawan pemerintah. Karena itu, menarik bagi kita untuk melihat apa sesungguhnya haluan atau filosofi ekonomi yang dianut dan ditawarkan kedua kubu tersebut, apakah sama atau berbeda.

Sebab bisa dipastikan bila kedua kubu akan mengusung isu ekonomi kerakyatan yang lebih populis dan sesuai dengan haluan yang digariskan konstitusi kita. Akan tetapi, mereka juga harus mafhum bahwa haluan perekonomian Indonesia saat ini, yang akrab dengan pasar global sejatinya lebih bercorak kapitalistis.

Sebagai realitas ekonomi, maka isu yang lebih penting sesungguhnya adalah bagaimana kedua kubu akan mengendalikan kapitalisme. Ini isu yang minimal, jika kita menganggap fase kapitalisme ini sebagai transisi menuju haluan ekonomi sosialisme-religius yang dicita-citakan UUD 1945. Apalagi, kapitalisme saat ini yang sudah kadung diasosiasikan dengan keserakahan individu, liberalisme dengan persaingan bebas (free-fight liberalism) yang mematikan usaha kecil, kesenjangan ekonomi, dan lain sebagainya.

Salah satu jalur yang bisa ditempuh sejatinya adalah menjinakkan kapitalisme dengan terang ajaran agama atau landasan etis-spiritual. Singkat kata, kita bisa merumuskan sejenis kapitalisme-etis atau kapitalisme-religius.

Proyek perumusan kapitalisme religius semacam ini tidaklah mengada-ada karena kapitalisme secara historis memang memiliki sejumlah akar spiritual dan religius yang kental.

Pertama, prinsip laissez-faire alias intervensi minimal yang begitu lekat dengan kapitalisme pasar bebas sesungguhnya berasal dari fisiokratisme.

Istilah itu merujuk ke aliran yang memandang pertanian sebagai salah satu model bagi kegiatan produksi. Laissez faire asli ini berangkat dari asumsi bahwa kemajuan yang besar dalam bidang ekonomi hanya dapat ditemukan dalam alam.

Mencari keuntungan sebesar-besarnya boleh dilakukan asal tidak bertentangan dengan keteraturan kosmis. Fisiokratisme mendorong suatu perekonomian yang harmonis dengan alam sembari memberi ruang kreatif bagi manusia agar ia menjadi subjek atas alam (Michael Dua, Filsafat Ekonomi, Kanisius, hal 30).

Dengan kata lain, prinsip laissez faire adalah membiarkan alam memberikan output secara alamiah dengan intervensi seminimal mungkin. Kita lihat betapa kental nuansa spiritual yang ingin menjalin harmoni dengan alam, mirip dengan konsep wuwei dalam Taoisme. Yakni di mana manusia tidak bertindak menguasai hukum alam karena percaya hukum alam memiliki kemampuan menata dirinya sendiri.

Kedua, prinsip kapitalisme yang mengakui hak milik pribadi juga sejalan dengan ajaran Islam. Merujuk pada disertasi Djohan Effendi, Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi (Kompas, 2010, hlm. 210), Nahdlatul Ulama (NU) pada 1994 mengemukakan soal Kepentingan Publik (Mashlahah Ammah). Menurut konsep ini, mashlahah ammah harus selaras dengan tujuan syariat. Tujuan itu adalah terpeliharanya hak dan jaminan dasar manusia (al-ushulul-khamsah), yang di dalamnya termasuk keselamatan hak milik.

Artinya, Islam menjamin hak milik pribadi (privat) setiap individu, keamanan profesi, keamanan untuk masa depan yang lebih bagi keturunan dan generasi muda. Jaminan ini juga berimplikasi pada jaminan atas hilangnya hak milik karena segala bentuk pencurian, korupsi, monopoli, oligopoli, atau monopsoni.

Terang agama

Ketiga, jika mengacu pada ajaran Kristiani, individualitas dan sosialitas sesungguhnya tidak saling bertentangan. Menurut filsuf ekonomi Karl Polanyi yang merupakan pengkritik keras kapitalisme (dalam tesis filsafat Yustinus Prastowo, Ekonomi Insani, Marjin Kiri, 2014, hlm. 134), individualisme Kristinitas lahir sebagai lawan dari yang absolut. Kepribadian adalah nilai yang tak terhingga karena ada Tuhan.

Ini adalah doktrin Persaudaraan Manusia. Dalam doktrin ini, kepribadian tidaklah nyata jika ia berada di luar komunitas. Realitas komunitas adalah relasi antarpribadi. Dan adalah kehendak Tuhan bahwa komunitas harus nyata.

Dengan kata lain, manusia bersifat sebagai makhluk sosial (homo socius) yang ciri pentingnya adalah adanya kesatuan antara individualitas dan sosialitas. Model manusia ekonomi menurut Karl Polanyi adalah makhluk moral (moral being) atau bahkan makhluk religius (religious being). Jadi, kehidupan ekonomi dapat dipandang absah secara moral jika kegiatannya didasarkan pada pertukaran dan kerja sama antarpribadi.

Uraian-uraian di atas jelas mempertegas bahwa kapitalisme memiliki akar-akar yang bersifat spiritual, etis, dan religius. Adapun kapitalisme saat ini lebih bercorak neoliberal di mana modal tidak lagi mengenal mana sektor publik dan mana sektor privat. Sehingga modal swasta pun bisa masuk ke semua sektor tersebut.

Berbeda dengan kapitalisme liberal klasik yang mengharamkan modal swasta masuk ke dalam sektor publik (baca: sektor yang terkait dengan hajat hidup kepentingan orang banyak). Akibatnya, sektor publik dianggap juga sebagai komoditas sehingga terjadi komodifikasi barang-barang publik (public goods) yang berujung pada mahalnya barang-barang tersebut karena dijadikan ajang pemupukan laba.

Oleh karena itu, jika saja terang ajaran agama dapat kembali menyorot praktik-praktik lancung kapitalisme neoliberal yang kini semakin merajalela di Indonesia, niscaya kita bisa menyaksikan satu realitas ekonomi yang lebih berkualitas dan berkeadilan. Semoga saja.•

Satrio Wahono
Sosiolog dan Magister Filsafat UI

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×