Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi
Dalam Program Legislasi Nasional (Polegnas) 2019 terdapat 55 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang menjadi prioritas untuk diundangkan. Salah satunya adalah RUU Kewirausahaan Nasional. Gaung rencana pengesahan RUU ini relatif senyap jika dibandingkan dengan RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP), Pertanahan, Kekerasan Seksual, dan Pertembakauan.
Apalagi jika dibandingkan dengan keriuhan pengesahan RUU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang justru tidak ada di Prolegnas 2019. Padahal RUU yang terdiri 12 bab dan 55 pasal ini sudah diusulkan sejak Februari 2015 dan berkali-kali didorong untuk diundangkan.
Proporsi wirausaha di Indonesia yang hanya mencapai 3,1% dari penduduk usia produktif menjadi latar belakang pengusulan RUU ini. Jumlah ini jauh tertinggal dibandingkan dengan negara maju yang mencapai 14%.
Selain kuantitas, start up yang ada di Indonesia secara umum bukanlah usaha yang menghasilkan nilai tambah setinggi start up di negara maju. RUU ini memang tidak mengandung solusi baru yang radikal, karena hanya berfokus pada pelembagaan dan sinkronisasi strategi pengembangan kewirausahaan. Dengan melakukan berbagai penyempurnaan terutama tahapan implementasi, kita berharap UU ini akan memberikan dampak positif bagi pengembangan kewirausahaan nasional.
RUU ini mewajibkan pemerintah dari tingkat pusat hingga daerah menyusun strategi pengembangan kewirausahaan dalam bentuk Rencana Induk Kewirausahaan Nasional. Selanjutnya implementasi dari rencana induk tersebut diatur untuk dikoordinasi oleh gugus tugas kewirausahaan nasional bekerja lintas sektoral.
Secara konsep hal ini sangat baik, namun pengalaman di masa lalu menunjukkan bangsa Indonesia sering gagal dalam konsistensi implementasi rencana strategis, sinkronisasi pusat dan daerah, serta integrasi dengan program yang sudah berjalan.
Untuk meningkatkan konsistensi implementasi rencana induk kewirausahaan nasional, proses penyusunannya harus terbebas dari kepentingan politik sehingga tidak akan berubah sekalipun terjadi pergantian kekuatan politik pengendali pemerintah. Maka, rencana induk tersebut harus disusun ahli yang independen.
Sementara untuk menjaga sinkronisasi, proses penurunan menjadi rencana tingkat daerah harus dilakukan dengan pendampingan oleh tim penyusun rencana induk nasional. Selain hal tersebut, rencana induk harus diintegrasikan dengan berbagai program yang telah ada seperti pengembangan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes), Kredit Usaha Rakyat (KUR), dana desa, kewirausahaan dari berbagai pihak dan lainnya.
RUU ini mewajibkan pemerintah untuk mendirikan inkubator kewirausahaan bagi pengembangan wirausaha pemula. Meski pendirian inkubator akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, bisa terjadi tumpang tindih dengan unit kerja pemerintah yang telah ada. Selain akan menciptakan inefisiensi, tumpang tindih tugas ini juga berpotensi menciptakan inefektifitas karena terbentur ego kelembagaan.
Untuk mengatasinya, pemerintah harus melakukan restrukturisasi kelembagaan unit pengelola kewirausahaan dalam bentuk penataan kelembagaan lintas kementerian dan lembaga negara.
Hal terpenting dalam RUU ini adalah pengakuan bahwa wirausaha terdidik akan memiliki peluang berhasil yang lebih baik. Berdasarkan hal tersebut, RUU ini mewajibkan pendidikan kewirausahaan dilaksanakan sejak tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga pendidikan tinggi pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ini sejalan dengan kesimpulan berbagai riset bahwa seorang wirausaha terdidik akan memiliki probabilitas keberhasilan lebih tinggi. Analoginya, wirausaha yang tidak terdidik tidak punya resep saat membuat kue. Yang terdidik punya resep dan tinggal membuatnya saja.
Minimalkan risiko gagal
Sayang, ada beberapa persoalan kritis seputar pengembangan pendidikan kewirausahaan. Pertama, sepertinya RUU ini agak abai merencanakan ketersediaan pengajar kewirausahaan dengan kualifikasi yang memadai untuk menyelenggarakan proses pendidikan pada semua jenjang.
Kedua, jika telah menjadi Undang-Undang (UU), maka pemerintah harus segera menyinkronkan dengan Peraturan Presiden dan Keputusan Menteri terkait Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).
Pada aturan KKNI yang berlaku, capaian pembelajaran kewirausahaan belum secara merata masuk pada semua jenjang dan jenis pendidikan. Atas permasalahan pendidikan kewirausahaan, seharusnya dinyatakan dengan jelas bahwa hal ini akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah.
Salah satu yang cukup mengejutkan di RUU ini adalah ketentuan dalam pasal 38 ayat 2 yang mewajibkan pemerintah pusat dan daerah untuk memberikan insentif dalam bentuk penyederhanaan tata cara meminjam dana, keringanan persyaratan jaminan untuk meminjam, dan keringanan suku bunga.
Memasukkan kata wajib di pasal ini mengirimkan pesan kuat bahwa keterlibatan seluruh struktur pemerintahan dalam pengembangan kewirausahaan bersifat mandatory. Efektifitas kewajiban ini akan semakin baik jika pemerintah pusat memberikan sanksi bagi pemerintah daerah melalui mekanisme politik anggaran. Lantaran proses peminjaman dana tidak mungkin dilakukan pemerintah pusat dan daerah, maka aturan pemberian insentif terkait peminjaman akan dilakukan melalui kerjasama dengan perbankan. Agar solusi dalam bentuk insentif ini dapat berjalan efektif, harus diingat bahwa penyederhanaan aturan tersebut tetap tidak boleh menabrak berbagai regulasi dan prinsip kehati-hatian dalam bisnis perbankan. Bank Indonesia perlu merespon RUU ini dengan mengeluarkan kebijakan khusus yang memberikan keistimewaan bagi wirausaha namun tetap memperhatikan pengelolaan risiko yang berimbang.
Terkait insentif dalam bentuk pemotongan suku bunga, berbagai hasil riset menunjukkan bahwa masalah utama start up bukanlah ketidakmampuan membayar bunga. Perkembangan bisnis pemula secara umum akan berujung pada dua hal; berhasil dengan keuntungan jauh di atas suku bunga atau sama sekali gagal. Ini membuat insentif bunga yang hanya beberapa persen di bawah tingkat normal menjadi tak efektif.
Ketimbang potongan suku bunga, lebih baik dana insentif yang dapat dihemat dialihkan menjadi penyediaan dukungan untuk menurunkan risiko kegagalan. Dukungan dapat diberikan dalam bentuk pendampingan pemanfaatan teknologi, pembukaan akses pasar, menginisiasi pembentukan jejaring dan lainnya.
Mengutip tagline salah satu instansi tempat penulis mengembangkan pendidikan kewirausahaan yaitu Nurturing Entrepreneurs, Empowering Nation, semoga UU ini selain akan menjadi dasar hukum pengembangan kewirausahaan juga menjadi pernyataan komitmen nasional untuk membina wirausaha demi menguatkan bangsa.♦
Chandra Situmeang
Dosen Universitas Negeri Medan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News