Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Industri perbankan di tahun 2018 ini penuh tantangan, termasuk bank umum syariah (BUS) dan unit usaha syariah (UUS). Kendala dari sisi hulu adalah melambatnya penghimpunan dana pihak ketiga (DPK). Hingga kuartal ketiga 2018, DPK yang mengalir ke unit usaha syariah hanya tumbuh 18,4% year on year.
Dari sisi hilir, pertumbuhan pembiayaan unit usaha syariah per Agustus 2018 mampu menembus 33,47% secara tahunan. Praktis, likuiditas unit usaha syariah pada kuartal ketiga 2018 cenderung mengalami pengetatan. Artinya, ruang gerak unit syariah amat sempit.
Lebih tingginya volume pembiayaan dibanding DPK mendorong kenaikan financing to deposit ratio (FDR). Per Agustus 2018, misalnya, posisi FDR, bahkan mencapai 111,76% naik dari posisi 99,14% setahun sebelumnya. FDR unit syariah ini sudah berada jauh di atas FDR industri bahkan prudential limit 92%.
Di satu sisi, melesatnya besaran FDR sejatinya menunjukkan fungsi intermediasi unit usaha syariah berjalan lancar. Fungsi intermediasi menghubungkan antara pemilik dana berlebih dengan pihak yang butuh dana. Unit usaha syariah mengumpulkan DPK yang diharapkan mampu memenuhi kebutuhan dana para debitur.
Di sisi lain, tingginya FDR membersitkan kekhawatiran pemilik DPK. Karakteristik DPK unit syariah bersifat jangka pendek. Sementara, penyaluran kreditnya mayoritas teralokasi pada subsektor perumahan yang berspektrum jangka waktu lebih panjang dengan tenggat yang pasti sesuai kontrak. Konsekuensinya, unit usaha syariah rentan terpapar risiko ketidaksesuaian (mismatch) pendanaan.
Risiko itu lebih lanjut membawa unit syariah pada risiko likuiditas. Unit usaha ini boleh jadi tidak mampu memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan. Lantaran bisa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangannya.
Risiko mismatch pendanaan dan risiko likuiditas sejatinya sudah diantisipasi sebelumnya oleh otoritas moneter melalui pelonggaran ketentuan giro wajib minimum (GWM) dan penyangga likuiditas makroprudensial (PLM) yang berlaku per 1 Oktober 2018. Besaran GWM dan PLM direlaksasi lagi pada November 2018. Sayang, tenggat dua minggu untuk keduanya diklaim terlalu lemah untuk merawat likuiditas unit usaha syariah.
Pokok persoalannya, porsi DPK dalam struktur pendanaan unit syariah masih dominan. DPK utamanya jenis CASA (current account and saving account) tergolong sebagai dana berbiaya murah. Alhasil, tensi kompetisi perebutan CASA antar unit usaha syariah dan bank umum syariah niscaya akan menajam.
Sebagai catatan, di Indonesia terdapat 13 bank umum syariah dan 21 unit usaha syariah. Dengan disparitas kekuatan finansial lintas bank, hanya bank syariah dan unit syariah besar yang mampu meraup DPK. Sementara lembaga terkait yang kecil mengalami kesulitan likuiditas karena mahalnya biaya dana.
Demi kemaslahatan
Kekhawatiran di atas bukannya mengada-ada. Pemilik DPK juga diiming-imingi imbal hasil instrumen finansial lain yang atraktif. Mereka niscaya akan menaruh dananya pada instrumen finansial yang cepat memberikan imbal hasil yang lebih tinggi.
Dengan konfigurasi problematika di atas, fenomena pengetatan likuiditas unit syariah semestinya masih bisa dikendalikan apabila unit ini agresif mendiversifikasi penghimpunan dana secara non-konvensional lewat surat berharga. Untuk itu, unit usaha syariah harus terlibat aktif dalam upaya pendalaman pasar keuangan domestik.
Transaksi pinjaman sekuritisasi Efek Beragun Aset berbentuk Surat Partisipasi (EBA-SP) dan Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK EBA) setidaknya bisa memenuhi kebutuhan likuiditasnya. Untuk jangka waktu menengah, sekuritisasi semacam ini mampu menjembatani antara kebutuhan dana jangka pendek dan jangka panjang.
Jika likuiditas mengetat, unit syariah bisa memanfaatkan transaksi repo (repurchase agreement) alih-alih mencari dana di pasar uang antarbank berprinsip syariah (PUAS) yang sedikit lebih mahal. Dengan menjaminkan Sukuk Negara atau SBNS (Surat Berharga Negara Syariah), unit syariah bisa mendapatkan dana sebrakan untuk jangka pendek.
Unit syariah perlu konsolidasi diri agar kekusutan likuiditas tidak terus-menerus mendera. Pertama, peningkatan efisiensi. Indikator rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) unit syariah masih di atas 70%, di atas normal. Urgensinya, unit usaha syariah bisa memenuhi kecukupan modal sehingga tercipta ruang gerak ekspansi.
Kedua, solusi cepatnya adalah merger antar unit syariah atau akuisisi bank syariah skala besar atas unit syariah bermodal kecil. Penggabungan beberapa bank dan unit syariah pelat merah dalam satu manajemen bisa menjadi model percontohan. Dengan cara ini, cita-cita Indonesia sebagai pusat perkembangan keuangan syariah dunia segera kesampaian.
Merger dan/atau akuisisi agaknya tidak bisa ditawar-tawar lagi. Tuntutan yang menyangkut kebutuhan sistem layanan terpadu (one stop services) melalui bank yang terintegrasi. Nasabah menghendaki seluruh kebutuhan jasa keuangan dapat disediakan oleh perbankan, seperti tabungan, kredit, investasi, asuransi, transaksi, dan sejenisnya.
Tren bisnis perbankan ke depan niscaya akan sangat dipengaruhi oleh kebutuhan nasabah semacam ini. Salah satu perubahan yang paling tampak adalah pergeseran layanan perbankan dari kantor cabang menjadi berbasis digital. Investasi digital memerlukan dana besar yang tidak mungkin dilakukan sendiri oleh bank syariah atau unit usaha syariah kecil.
Ketiga, bank dan unit syariah harus mampu menciptakan sendiri alternatif sumber pasokan pendanaan dan permintaan pembiayaannya. Saat ini, pangsa pasar perbankan umum syariah masih di level 5,3% terhadap seluruh aset industri perbankan nasional.
Artinya, perbankan umum syariah tidak bisa hanya mengandalkan segmen pasar yang tidak terlayani oleh pembiayaan bank konvensional tanpa melakukan inovasi. Kebutuhan akan produk halal dan industri wisata halal menjadi titik tonggak yang apabila dimanfaatkan secara optimal akan menentukan postur bank syariah dan unit syariah ke depannya.
Akhirnya, konsolidasi unit syariah harus tetap dikembalikan di misi utama. Tujuan pengelolaan likuiditas untuk mendorong kegiatan sektor riil produktif, alih-alih hanya memenuhi regulasi. Semua demi kemaslahatan umat.•
Haryo Kuncoro
Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News