kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menimbang Pemajakan Robot


Jumat, 04 September 2020 / 12:36 WIB
Menimbang Pemajakan Robot
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Pandemi virus korona atau Covid-19 telah menyadarkan kita betapa rentannya kehidupan manusia pada masa sekarang ini. Bahkan kondisi saat ini membuat realisasi revolusi industri 4.0 dalam segala aktivitas menjadi dipercepat.

Masyarakat saat ini sudah terbiasa dengan keberadaan kecerdasan buatan atau istilahnya adalah artificial intelligence. Kemudian ada pula internet of things, blockchain, hingga cloud computing yang mulai akrab di kalangan masyarakat.

Lantas pada tahun-tahun yang mendatang, automasi di seluruh tahapan proses produksi dan jasa di segala lini tidak bisa dihindari lagi dengan penerapan pabrik pintar (smart factory), jaringan sensor nirkabel, sampai dengan keamanan dunia siber. Dan pada akhirnya adalah otomatisasi proses produksi akan mempercepat hilangnya peran manusia di sejumlah bidang.

Fungsi manusia dalam proses produksi di industri, misalnya, akan digantikan oleh robot pintar. Fenomena ini merupakan ancaman yang harus diperhatikan untuk dalam jangka panjang, terutama berkaitan dengan penyerapan tenaga kerja, tingkat pengangguran, dan kesejahteraan masyarakat.

Berita terakhir yang terjadi adalah, situasi pandemi ini membawa dunia pada resesi global dan memberikan tekanan luar biasa besar pada penyediaan lapangan kerja di segala lini. Hasil pemodelan pemulihan ekonomi global untuk paruh kedua tahun 2020 yang dibuat oleh salah satu badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yakni International Labour Organization (ILO) menyatakan bahwa dalam skenario yang paling optimistis sekalipun pun, ada kehilangan sebesar 1,2% jam kerja secara global jika dibandingkan dengan tiga bulan terakhir tahun 2019. Persentase penurunan jam kerja yang "hanya 1,2% tersebut setara dengan hilangnya 34 juta pekerja penuh waktu.

Bank Dunia juga memperkirakan bahwa pandemi Covid-19 akan menyusutkan perekonomian global sebesar 5,2% pada tahun ini. Penurunan angka pertumbuhan tersebut merupakan resesi ekonomi terburuk sejak Perang Dunia Kedua. Efek lanjutannya, resesi ekonomi akan memicu peningkatan yang dramatis terhadap kemiskinan yang ekstrem.

Ditambah lagi, selama satu dekade terakhir, beberapa negara telah menyiapkan peta jalan untuk revolusi industri 4.0. Amerika Serikat sudah memiliki inisiatif khusus, National Robotics Initiative, yang diluncurkan pada tahun 2011 dan saat ini sudah dilanjutkan ke tahap selanjutnya.

Jepang, yang menghadapi kondisi penduduk yang menua atau aging population, telah mempersiapkan Strategi Revitalisasi Jepang tahun 2014. Saat ini, mereka telah melakukan revisi ke arah yang lebih spesifik "Revolusi Industri Baru oleh Robot".

Sementara itu di negara lain seperti di Korea Selatan juga melakukan serangkaian tindakan dan inisiatif pemerintah sejak tahun 2008. Di antaranya pemberlakuan Undang Undang (UU) Pengembangan Robot Cerdas dan Promosi Distribusi.

Di Indonesia, melalui Kementerian Perindustrian (Kemperin), sudah meluncurkan program inisiatif Making Indonesia 4.0 sejak tahun 2018. Agenda ini diwujudkan dengan menerapkan road mapdan strategi Revolusi Industri ke-4.

Sementara itu, Indeks Kesiapan Pemerintah terhadap artificial intelligence (AI) tahun 2019 menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat 57 dari 194 negara di dunia dalam hal kesiapan penerapan AI. Dengan kata lain, Indonesia mulai menunjukkan kesiapannya untuk menuju ke revoluasi industri 4.0.

Di sisi yang lain, saat ini pemerintah Indonesia sedang mempersiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja sebagai aturan sapu jagat atauomnibus law yang bertujuan akhir untuk meningkatkan investasi dan memperluas lapangan kerja. Dengan demikian, otomatisasi industri justru bisa "berseberangan" tujuan mulia kehadiran omnibus law dalam hal penciptaan lapangan kerja baru.

Oleh karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan beberapa pemikiran mengenai konsekuensi berkaitan dengan automasi pekerjaan. Keunggulan inovasi teknologi di negara maju dapat membawa lebih banyak kesulitan bagi negara berkembang akibat efisiensi tenaga kerja.

Sejauh ini, tenaga kerja murah telah menjadi keunggulan komparatif bagi negara-negara berkembang. Untuk itu, pemerintah Indonesia perlu mengajak negara lain untuk segera mempertimbangkan perlunya menahan laju revolusi industri 4.0. Terutama dampaknya terhadap negara-negara berkembang.

Pajak robot

Selain itu, pemerintah perlu mempersiapkan kebijakan yang komprehensif dengan memberikan disinsentif yang mencegah meluasnya penggunaan automasi pekerjaan yang menggantikan peran manusia. Salah satu instrumen yang bisa digunakan adalah dengan pengenaan pajak atau pungutan lainnya.

Bill Gates menyarankan, pemberlakuan pajak robot untuk memberi kompensasi kepada karyawan yang kehilangan pekerjaan mereka. Secara teknis, pemajakan atas robot dikenakan dengan pajak atas penggunaan robot dengan menghitung dasar remunerasi yang harus diterima robot dari pekerjaannya, jika pekerjaan itu dilakukan oleh manusia.

Secara sederhana, pajak robot adalah kumpulan pemajakan (atau pungutan lainnya) atas penjualan produk yang dihasilkan seluruhnya dari penerapan otomatisasi produksi.

Akan tetapi, revolusi industri keempat ini adalah suatu keniscayaan, sehingga segala upaya yang dilakukan hanya bersifat penundaan. Hal terpenting yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas. Situasi saat ini tidak jauh berbeda dengan kondisi ketika Indonesia melakukan pembangunan pada era Orde Baru.

Pendirian SD Inpres dan menjamurnya sekolah lanjutan merupakan konsekuensi untuk mengejar segala ketertinggalan. Hasil studi PISA tahun 2018 menyimpulkan bahwa nilai rata-rata matematika, IPA, dan membaca siswa Indonesia masih berada di peringkat 71 dari 77 negara yang disurvei.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menghadapi tantangan untuk mendorong terciptanya ekosistem kondusif dengan penguatan pendidikan vokasi yang mendukung pihak industri dan dunia kerja.

Kebijakan perpajakan yang bersifat counter terhadap automasi pekerjaan adalah perluasan insentif pajak untuk pendidikan dan pelatihan, kegiatan penelitian dan pengembangan sampai dengan upaya dorongan agar mendorong masyarakat yang lebih bersifat filantropis.

Bahkan beberapa negara sudah menggaungkan agar hal tersebut lebih bersifat memaksa. Misalnya, Senator di USA yang memberikan proposal berupa 'Make Billionaires Pay Act',  yaitu pemberlakuan pajak satu kali sebesar 60% atas kekayaan miliarder yang diuntungkan dari pandemi dari 18 Maret 2020-1 Januari 2021.

Penulis : Benny Gunawan

Dosen Politeknik Keuangan STAN (tulisan ini opini pribadi, tidak mewakili institusi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×