kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Menimbang regulasi platform digital


Minggu, 07 Juli 2019 / 10:30 WIB
Menimbang regulasi platform digital


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Pemerintah Indonesia terus berupaya mendorong pembangunan di bidang teknologi informasi dan komunikasi dengan tujuan untuk menempatkan Indonesia sebagai ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara pada tahun 2020. Salah satu bentuk konkret perwujudan misi tersebut adalah dengan menyusun peta jalan perdagangan berbasis elektronik atau e-commerce Indonesia dan mendorong terciptanya 1.000 teknopreneur baru pada tahun 2020 nanti.

Sejumlah inisiatif yang telah dilakukan pemerintah nampaknya mulai membuahkan hasil. Misalnya, menurut laporan World Economic Forum, indeks persaingan global Indonesia dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK) naik secara konsisten.

Pada tahun 2017-2018, Indonesia berada di peringkat 36 dari 137 negara, naik dari posisi 41 pada periode sebelumnya. Pada saat yang bersamaan, pemerintah juga terus memperbaiki jaringan akses telekomunikasi dan internet, termasuk menuntaskan pembangunan Palapa Ring.

Selain itu, perusahaan rintisan (startup) di Indonesia juga bertumbuh dengan sangat cepat. Saat ini bahkan empat perusahaan rintisan Indonesia telah menyandang gelar unicorn, yaitu mereka yang memiliki valuasi di atas US$ 1 miliar. Gelar tersebut diberikan kepada Bukalapak, Go-Jek, Tokopedia, dan Traveloka. Pemerintah bahkan menargetkan akan lahirnya satu unicorn bari lagi pada tahun 2019.

Secara konseptual, teknologi digital sejatinya memiliki artefak digital yang bersifat terbuka, mudah diubah, dapat ditransfer, dan cenderung ambivalen. Artefak digital tersebut memiliki sifat dasar berupa kemampuan untuk melakukan pemrograman ulang (reprogrammability) dan homogenisasi atas data yang dihasilkan (data homogenisation). Bila dipadukan, kedua hal tersebut memungkinkan terjadinya proses convergence dan generativity (Yoo et al., 2010).

Salah satu hasil yang mencolok dari proses tersebut adalah tumbuh kembangnya platform berbasis teknologi digital. Platform digital dapat diterjemahkan sebagai rangkaian building block yang memberikan fungsi-fungsi dasar suatu sistem teknologi dan berperan menjadi landasan bagi organisasi lain untuk mengembangkan produk, jasa, dan teknologi komplementer (Gawer, 2009).

Konsep platform sesungguhnya bukan hal yang baru. Keberadaan pasar di abad pertengahan adalah contoh nyata dari suatu platform. Bedanya, platform digital memanfaatkan teknologi digital sehingga keterjangkauannya menjadi lebih luas dan hampir tak terbatas. Hal ini ditunjang dengan fakta bahwa organisasi bisnis saat sekarang cenderung lebih memilih untuk mengembangkan platform daripada membuat produk sendiri.

Platform digital di masa sekarang bertumbuh pesat setidaknya karena dua hal. Pertama, eksternalitas jejaring (network externalities), atau pengaruh yang muncul akibat semakin banyak pengguna yang memanfaatkan platform tersebut. Semakin tinggi pengguna, maka semakin besar pula nilai dari platform tersebut.

Kedua, demokratisasi teknologi membuat teknologi digital mudah diakses dan dimiliki siapapun. Akibatnya, platform digital terus berkembang semakin besar.

Kekuatan platform digital yang begitu besar ditunjang oleh kapasitasnya dalam mengatasi problem koordinasi di pasar. Dengan menggunakan teknologi kontemporer, platform digital mampu mengorganisasi permintaan dan penawaran secara lebih efektif di tengah ketiadaan informasi yang penuh. Maka tak heran bila platform digital kemudian mampu mengokupasi wilayah-wilayah yang masih abu-abu dan belum tersentuh regulasi, seperti perlindungan dan privasi konsumen, ketenagakerjaan, hingga potensi pendapatan fiskal nasional.

Dalam paradigma disrupsi teknologi dan inovasi, kegaduhan ini dapat dikategorikan ke dalam berbagai tahapan yang berbeda: (1) inovasi, (2) komersialisasi, (3) anarki kreatif, dan (4) aturan dan regulasi (Spear, 2018).

Sementara itu, respon legal yang muncul biasanya terbagi juga dalam beberapa pilihan. Pertama, subsumption atau menerapkan aturan-aturan lama yang telah ada untuk konteks yang baru (default approach). Kedua, innovation atau menerbitkan aturan baru (legislator) dan/atau mengenalkan doktrin-doktrin yang baru (courts). Ketiga, gradual response, yakni secara bertahap memberikan respon inkrimental atas perubahan yang terjadi

Implikasi atas lahirnya platform adalah inovasi yang bersifat horizontal. Proses bisnis dan data akan terdistribusi lintas organisasi. Pemilik platform berkepentingan untuk memelihara platform yang dimilikinya dengan memperbanyak layanan dan memperbesar basis pengguna.

Hal ini berdampak pada pemusatan kekuatan pada satu-dua penguasa platform saja. Inovasi didorong atas dasar motivasi mencari laba yang dapat menimbulkan kekuatan yang tak berpihak.

Dari sisi pemerintah dan pembuat kebijakan, prioritas utama adalah melindungi kepentingan publik, membuat masyarakat tetap terinformasi dengan baik, dan tentu saja, menjaga kemandirian nasional. Tetapi, di sisi lain, pemerintah juga ingin mendorong inovasi yang mampu menggerakkan pasar dan mendorong berputarnya roda perekonomian. Pemerintah perlu mewaspadai hal ini karena faktanya semua unicorn berbasis pada teknologi platform digital.

Butuh strategi

Di tengah carut marut dan kompleksitas permasalahan yang melingkupi platform digital di Indonesia, idealnya, mutlak diperlukan sebuah strategi digital nasional yang komprehensif, alih-alih kebijakan dan strategi yang tambal sulam. Pertama, perlu dibentuk lembaga lintas bidang/sektor yang melingkupi beragam aspek ekonomi digital.

Lembaga ini nantinya tidak hanya akan menangani platform digital semata, melainkan juga isu lain seperti blockchain, machine learning, artificial intelligence, self-driving cars. Selama ini, kita memang sudah memiliki lembaga yang menangani urusan ekonomi seperti Komite Ekonomi Industri Nasional (KEIN) maupun urusan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) seperti Dewan TIK Nasional (Wantiknas).

Sayangnya, keberadaan platform digital yang mengokupansi berbagai bidang membutuhkan lembaga yang juga beroperasi lintas bidang/sektor. Selain diisi oleh perwakilan dari berbagai institusi yang telah ada (seperti berbagai kementerian maupun badan, Kepolisian, Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, dan sebagainya), lembaga lintas sektoral ini juga perlu mewadahi berbagai sektor kepentingan seperti pebisnis dan pelaku usaha, perwakilan masyarakat dan konsumen, dan para ahli serta akademisi.

Aspek multimodal semacam ini adalah suatu keniscayaan. Sebab, platform digital membutuhkan keahlian dan latar belakang pendidikan yang beragam.

Kedua, strategi ini juga perlu ditunjang oleh perangkat regulasi yang mumpuni. Misalnya, kita sudah memiliki peta jalan tentang e-commerce, namun belum memiliki peta jalan yang lebih komprehensif terkait ekonomi digital.♦

Nofie Iman
Pengajar di Departemen Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×