kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menimbang saran Bank Dunia


Sabtu, 05 Oktober 2019 / 09:45 WIB
Menimbang saran Bank Dunia


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Bank Dunia dalam Global Economic Risk and Implications for Indonesia menyarankan supaya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ikut mengawasi konglomerasi keuangan yang menguasai 88% aset perbankan nasional. Bagaimana konglomerasi keuangan menekan potensi risiko keuangan ke depan?

Selain itu, Bank Dunia juga menyarankan agar OJK membentuk satu divisi baru setingkat komisioner pengawas untuk melakukan pengawasan terhadap konglomerasi keuangan. Tak hanya itu, Bank Dunia menyinggung pula AJB Bumiputera dan PT Asuransi Jiwasraya. Bank Dunia menilai kedua perusahaan asuransi tersebut yang sedang terpapar risiko likuiditas itu bisa membebani citra perasuransian.

Lantas, apa saja langkah strategis yang harus diambil untuk menekan potensi risiko krisis keuangan? Pertama, benar bahwa akhir-akhir ini ada beberapa korporasi yang sedang mengalami risiko likuiditas. Ambil contoh di bidang perasuransian ada PT Asuransi Jiwasraya sebagai satu-satunya badan usaha milik negara (BUMN) di bidang perasuransian, lalu AJB Bumiputera, juga Duniatex Group di bidang tekstil.

Terkait dengan PT Asuransi Jiwasraya, penulis telah menyampaikan berbagai alternatif solusi seperti pengucuran penanaman modal negara (PMN), obligasi rekapitalisasi (bond recap) untuk menambal modal sebagaimana yang telah diberikan kepada 28 bank umum pada 1998-1999 atau mengundang investor asing (Paul Sutaryono, KONTAN, 14/11/18). Kini untuk memperkokoh likuiditas, PT Asuransi Jiwasraya telah menerbitkan surat utang medium term notes (MTN) Rp 500 miliar.

Sayangnya, pemerintah justru mengucurkan PMN kepada BUMN yang relatif lebih sehat dengan total Rp 74,2 triliun pada 2020. Beberapa BUMN yang bakal memperoleh PMN adalah PT Sarana Multigriya Finansial Rp 2,5 triliun, PT Hutama Karya Rp 3,5 triliun, PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia Rp 0,3 triliun, PT Geo Dipa Energi Rp 0,7 triliun, PT Permodalan Nasional Madani Rp 1 triliun, PT PLN Rp 5 triliun, PT Pengembangan Armada Niaga Nasional Rp 3,8 triliun, dan PT Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) Rp 5 triliun.

Sejatinya, pemerintah dapat mengundang bank BUMN seperti Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, dan Bank Negara Indonesia (BNI) sebagai bank papan atas dengan modal inti di atas Rp 30 triliun untuk dapat menyuntik kredit tambahan dalam memperbaiki likuiditas PT Asuransi Jiwasraya. Hal itu sekaligus merupakan salah satu upaya cantik membangun sinergi BUMN.

Kedua, sehubungan dengan saran Bank Dunia untuk membentuk satu divisi baru untuk mengawasi konglomerasi keuangan, OJK sudah memiliki unit untuk mengawasi industri perbankan, industri keuangan non-bank (IKNB) dan pasar modal. Bahkan, OJK mengaku telah menerapkan integrated risk rating (IRR), supervisory plan dan mengintegrasikan seluruh data lintas sektor.

Tetapi, pengawasan industri perasuransian masih perlu lebih ditingkatkan lagi ke depan. Hal ini tampak pada penanganan kasus AJB Bumiputera dan PT Asuransi Jiwasraya yang boleh dikatakan lamban.

Ketiga, tentu saja pengawasan pada konglomerasi non-keuangan seperti Duniatex Group itu sebagai perusahaan induk (holding company) dari beberapa perusahaan anak wajib pula menerapkan manajemen risiko dengan baik dan benar. Mutlak.

Untuk itu, perusahaan induk dapat menerapkan enterprise risk management (ERM) yang terintegrasi ke seluruh perusahaan anak dalam grup tersebut. Dengan demikian, ketika salah satu perusahaan anak terpapar potensi risiko, perusahaan anak lainnya sangat diharapkan tak terkena getahnya.

Jangan lupa bahwa faktor-faktor eksternal dapat berdampak pada perusahaan seperti dalam bidang operasional, pelanggan dan nilai-nilai serta citra perusahaan (values and corporate image). Faktor eksternal itu misalnya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China, perubahan suku bunga acuan AS (The Fed Fund Rate) dan fluktuatif nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.

Menghitung risiko

Keempat, demikian bank sebagai kreditur bagi banyak perusahaan atau grup perusahaan juga wajib meningkatkan penerapan manajemen risiko. Ingat bahwa bank papan atas pun juga memiliki banyak perusahaan anak di bidang perasuransian, pembiayaan (multifinance), sekuritas, manajemen aset (asset management unit/AMU), percetakan, properti, remitansi, modal ventura, koperasi dan pengiriman dokumen.

Tegasnya, bank dan IKNB merupakan konglomerasi keuangan. Coba cermati total aset masing-masing kelompok bank. Kelompok Bank Persero atau bank pemerintah itu memiliki total aset paling besar disusul oleh Kelompok Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) Devisa dan BUSN Non-Devisa masing-masing Rp 3.380,26 triliun, Rp 3.037,77 triliun dan Rp 73,34 triliun per Juni 2019.

Ditambah lagi Kelompok Bank Pembangunan Daerah (BPD), Bank Campuran dan Bank Asing masing-masing mencapai Rp 667,40 triliun, Rp 307,38 triliun dan Rp 453,86 triliun. Dengan demikian, total aset bank umum mencapai Rp 7.920,01 triliun hampir mendekati Rp 8.000 triliun. Luar biasa!.

Data ini mengandung makna bahwa bank umum sebagai representasi semua kelompok bank juga memiliki kontribusi tinggi dalam potensi risiko berupa krisis keuangan nasional. Hal ini bisa terjadi apabila bank menengah-atas mengalami risiko tinggi.

Untuk itu, menurut manajemen risiko, sudah semestinya tiap bank yang mempunyai banyak perusahaan anak suka tidak suka juga wajib menerapkan manajemen risiko yang terintegrasi. Kiat ini sudah sepatutnya menjadi pertimbangan serius dan utama terutama bagi bank menengah-atas.

Tetapi hal ini tidak berarti bahwa bank kelas bawah juga tidak alergi terhadap potensi risiko baik risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional maupun risiko likuiditas. Potensi risiko ini selalu ada. Terkadang, risiko kredit bersumber dari risiko operasional ketika analisis dibuat tak sesuai dengan sistem dan prosedur Standard Operating Procedures (SOP).

Kelima, untuk itu diperlukan azas kepatuhan (compliance) dalam semua langkah operasional perbankan. Semua kasus berasal dari ketidakpatuhan terhadap aturan perundang-undangan, aturan bank sentral, OJK, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan aturan internal serta SOP.

Katakanlah, kredit miliaran bisa segera disetujui gara-gara ada surat sakti dari pejabat atau tidak ada kunjungan langsung ke lokasi nasabah. Praktik semacam itu sudah harus ditanggalkan dan ditanam dalam-dalam.

Keenam, dengan bahasa lebih bening, ketika satu perusahaan anak mengalami risiko, perusahaan anak lain tidak terlalu parah terkena risiko. Mengapa? Karena masing-masing perusahaan anak sudah menghitung risiko sendiri.

Semua upaya ini bertujuan untuk mitigasi risiko terutama risiko sistemik. Risiko sistemik bisa mengancam stabilitas kepercayaan publik terhadap sistem keuangan (Billio, Getmansky, Lo dan Pelizzon, 2010).♦

Paul Sutaryono
Staf Ahli Pusat Studi BUMN

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×