Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - Berita hangat Asia Times, berjudul China Solves Freeports US$ 3 Billion Problem in Indonesia pada 29 November 2020 mengentak kita semua khususnya yang beraktivitas di bidang mineral. Perusahaan China Tsingshan Steel, setuju untuk membangun fasilitas peleburan tembaga senilai US$ 1,8 miliar untuk Freeport di Kawasan Industri Weda Bay, Halmahera.
Berita itu, seakan-akan permasalahan pembangunan smelter tembaga PT Freeport Indonesia selesai. Lalu apakah menguntungkan bagi Indonesia? Mari kita lihat satu persatu.
Komoditas tembaga merupakan komoditas yang unik berbeda dengan nikel ataupun bauksit. Dalam transaksi pembelian konsentrat, smelter harus membayar tiga logam sekaligus yaitu tembaga, emas dan perak dengan mengacu kepada harga logam internasional di the London Metal Exchange (LME) ataupun London Bullion Market Association (LBMA).
Rata-rata perusahaan tambang saat ini menikmati 90%-96 % dari kenaikan harga konsentrat logam tembaga. Sehingga nilai tambah yang tersisa hanya sekitar 4%-10 % apabila dilebur dan dimurnikan menjadi katoda tembaga. Hal inilah yang membuat kewajiban membangun smelter tembaga tidak menarik secara ekonomi.
PT Freeport Indonesia (PTFI), termasuk yang mempunyai kewajiban membangun smelter tembaga baru. Mereka memilih Gresik sebagai lokasi pembangunan smelter. Belanja modal atau capital expenditure yang dibutuhkan sekitar US$ 3 miliar dengan kapasitas smelter sebesar 2 juta ton konsentrat untuk 2 line smelter.
Jika smelter ini beroperasi maka semua produksi konsentrat PTFI bisa diolah di Indonesia. Dengan asumsi kadar tembaga sekitar 25%, maka sekitar 500.000 ton katoda akan diproduksi.
Hanya saja, dalam berbagai kesempatan PTFI mengatakan pembangunan smelter tembaga baru menjadikan potensial kerugian US$ 300 juta setahun dengan asumsi treatment charge, refining charge (TCRC) sebesar 26 c/lb. Meskipun demikian, dalam perkembangannya PT Smelting (PTS) menandatangani kesepakatan (MoU) dengan PTFI untuk ekspansi kapasitas konsentrat terolah sebesar 300.000 ton.
MoIU ini membuat kewajiban membangun 2 juta ton konsentrat terolah berkurang tinggal 1,7 juta ton konsentrat. Hal ini mengubah besar rencana smelter dari 2 line menjadi hanya 1 line. Ini akan menguntungkan PTFI karena kebutuhan belanja modal smelter baru akan berkurang.
Dengan asumsi biaya yang sama dalam rencana membangun 2 line, maka dengan menurunnya kapasitas menjadi 1,7 juta ton, kebutuhan belanja modal menjadi US$ 2,4 miliar. Nilai investasi ini tetap lebih tinggi dibandingkan dengan rencana investasi Tsingshan yang sekitar US$ 1,8 miliar.
Namun potensial kerugian PTFI ikut berkurang menjadi kurang dari US$ 300 juta karena belanja modal lebih kecil. PTFI juta akan mendapatkan tambahan pendapatan dari dividen PT Smeltering karena Precious Metal Refinery (PMR) yang akan dibangun PTFI menambah kapasitas produksi sekitar 6.000 ton anode slime.
Apakah yang menguntungkan jika PT FI membangun pabrik di Gresik? Pertama, asam sulfat menjadi produk sampingan smelter ini bisa diserap oleh PT Petrokimia Gresik untuk dijadikan sebagai bahan baku pupuk. Kedua, slag tembaga, yang merupakan limbah B3 bisa diserap oleh industri semen karena juga menjadi bahan baku murah.
Ketiga untuk memproduksi emas dan perak yang dihasilkan oleh PMR milik PTFI, bisa bekerja sama dengan Logam Mulia Antam. PT Antam akan mendapatkan keuntungan karena juga bisa mengurangi impor emas sebanyak 20 ton-30 ton per tahun.
Keempat, pembangunan smelter PTFI di Gresik akan membuat kontraktor dan tenaga kerja dalam negeri ikut terlibat banyak dalam pembangunan pabrik. Sehingga potensial kerugian pembangunan smelter tembaga baru PTFI bisa dinikmati industri dalam negeri yang mayoritas adalah BUMN.
Kerugian pasti
Kembali ke berita Asia Times di atas, rencana smelter tembaga baru dibangun di Weda Bay, lalu siapakah yang diuntungkan?
Sangat jelas Tsingshan Steel yang sangat diuntungkan. Nickel Heap Leaching project akan mendapatkan asam sulfat murah sebagai hasil produk samping smelter tembaga yang dibangun untuk digunakan sebagai bahan baku leaching bijih nikel limonit.
Nickel Heap Leaching merupakan proses untuk menghasilkan Mixed Hydroxide Precipitate (MHP)/ Mixed Sulphate Precipitate (MSP) yang masih merupakan bahan precursor batere. Hanya saja masih dibutuhkan sebanyak 3 plant lagi yaitu refinery plant, CAM Plant dan Batere ASSB Plant untuk menghasilkan batere.
Bagaimana dengan smelter tembaga baru itu sendiri? Dengan belanja modal sekitar US$ 1,8 miliar dan dalam berita dituliskan mendapatkan subsidi sebesar 5% dari nilai ekspor konsentrat.
Apabila diasumsikan 1 juta ton konsentrat akan diekspor dan harga konsentrat rata-rata US$ 3.000 per ton, maka 5 % subsidi akan bernilai US$ 150 juta per tahun (sekitar 16 c/lb). Keuntungan dari PMR yang akan dibangun akan dimiliki Tsingshan juga. Hal ini menyebabkan investasi pabrik smelter tembaga baru menjadi lebih ekonomis.
Hal negatif yang mungkin timbul adalah slag tembaga yang merupakan limbah B3 yang dihasilkan, akan sulit terserap industri semen karena lokasi yang jauh. Hal ini membuat keuntungan bagi investor. Selain itu konstruksi dan tenaga kerja dalam negeri kurang terlibat dalam pembangunan dilakukan oleh kontraktor yang dipilih investor.
Pembangunan smelter baru di Weda Bay juga akan menyebabkan potensi kerugian oleh PTFI sebesar US$ 300 juta setahun menjadi kerugian pasti sebesar US$ 150 juta/tahun, karena untuk subsidi. Hal ini bisa dibandingkan dengan opsi membangun di Gresik, dengan kapasitas 1,7 juta ton.
Hal yang menguntungkan dari pembangunan smelter di Gresik bagi Indonesia adalah tenaga ahli Indonesia sudah berpengalaman mengoperasikan pabrik peleburan tembaga dan membangun sebagian konstruksi pabrik smelter. Hal ini bisa jadi pertimbangan bahwa kerugian PTFI untuk pembangunan pabrik tembaga baru tidak sampai US$ 300 juta/tahun dan mayoritas keuntungan dinikmati BUMN dan masyarakat sekitar.
Melihat keuntungan dari pembangunan pabrik smelter tembaga ini tidak bisa kita lihat secara inklusif dari sisi perusahaan. Ada keuntungan yang lebih integral dan terpadu sebagai pertimbangkan. Jika pemerintah ingin mengembangkan industri hilir dalam jangka menengah atau panjang, maka harus mempertimbangkan hasil produk samping dari peleburan tembaga, dan melibatkan perusahaan konstruksi juga tenaga kerja dalam negeri.
Selain itu agar PTFI tidak terus menerus menikmati pendapatan dari menjual konsentrat tembaga, pembangunan pabrik smelter tembaga baru di Gresik jadi pilihan utama. Tapi, bila pemerintah ingin PTFI hanya menjual konsentrat, dan memberikan keuntungan besar investor lain maka Weda Bay bisa jadi pilihan lokasi pembangunan smelter.
Penulis : Bouman T.Situmorang
Ketua Umum Ikatan Alumni Metalurgi Institut Teknologi Bandung
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News