Reporter: Djumyati Partawidjaja | Editor: Tri Adi
Banyak orang mulai menghitung-hitung, tambahan kekayaan para atlet setelah mendapatkan bonus berkat perolehan medali di Asian Games. Apalagi bonus ini seperti tak berhenti-hentinya diberikan. Selain bonus resmi dari pemerintah pusat sebesar Rp 750 juta–Rp 1,5 miliar untuk penerima medali emas plus rumah tipe 36 dan pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil dan Rp 150 juta–Rp 500 juta untuk peraih medali perak dan perunggu, para atlet juga dihujani janji dari berbagai pihak.
Seperti misalnya Gubernur DKI Jakarta yang menjanjikan bonus Rp 90 juta–Rp 300 juta untuk para atlet DKI Jakarta peraih medali. Ada juga Walikota Bogor yang menjanjikan apartemen dan pekerjaan untuk Defia atlet taekwondo asal Bogor peraih medali emas pertama di Asian Games. Gubernur Jawa Tengah pun tak mau ketinggalan, mereka menjanjikan Rp 50 juta–Rp 100 juta untuk atlet-atlet peraih medali. Saya yakin para pemimpin daerah lain pun tak mau ketinggalan menghujani mereka dengan bonus.
Belum lagi bonus-bonus yang datang dari para konglomerat kita yang mempunyai klub, seperti PB Djarum dan PB Jaya Raya. Para atlet itu seperti tak henti-hentinya mendapat hujan pujian dan bonus untuk prestasinya di Asian Games 2018.
Saya melihat ini semua sebenarnya seperti cerminan, betapa kita semua haus dengan sesuatu yang baik yang bisa membuahkan prestasi yang nyata. Kita ini semua mampu untuk berprestasi asalkan mau berdisiplin, bekerja keras, dan berdedikasi tinggi.
Suatu bukti perbuatan baik yang membuahkan hasil, menjadi sangat langka akhir-akhir ini ditemukan di tengah hiruk pikuk berita yang kita konsumsi. Para politisi praktis di negeri ini memang selalu mengembuskan berbagai isu yang bisa membuat begitu banyak berita bersimpang siur, tanpa berkesudahan.
Dalam Asian Games pun bukannya tak ada embusan berita miring. Seperti misalnya perdebatan tentang betapa anggaran negara ini jebol karena para atlet Asian Games melebihi target perolehan medali. Beberapa bahkan mulai mengaitkan dengan terus melemahnya nilai tukar rupiah beberapa hari terakhir ini, walau keduanya tidak ada hubungan.
Menjadi pencela sangatlah mudah karena akan selalu ada celah untuk dipermasalahkan, tapi mereka hanya akan jadi buih keriuhan semata. Pada saat negara adidaya meriang seperti sekarang, sudah saatnya negara-negara di Asia ini berupaya berdiri di kakinya sendiri.•
Djumyati Partawidjaja
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News