kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.909.000   5.000   0,26%
  • USD/IDR 16.285   -17,00   -0,10%
  • IDX 7.208   94,47   1,33%
  • KOMPAS100 1.051   13,35   1,29%
  • LQ45 812   10,21   1,27%
  • ISSI 232   2,83   1,23%
  • IDX30 422   5,24   1,26%
  • IDXHIDIV20 495   5,08   1,04%
  • IDX80 118   1,46   1,25%
  • IDXV30 120   1,54   1,30%
  • IDXQ30 136   1,35   1,00%

Menjadi satpam pun kini sudah susah


Kamis, 21 Desember 2017 / 13:58 WIB
Menjadi satpam pun kini sudah susah


| Editor: Tri Adi

Sebuah koran nasional memberitakan bahwa 6.000 orang mendaftar untuk menjadi satpam Bandara Internasional Jawa Barat di Kertajati, Majalengka, Jawa Barat. Padahal yang dibutuhkan hanya 48 orang. Jadi peluangnya amat tipis. Artinya, 5.952 orang lagi akan mencari kesempatan kerja yang lain.

Itulah fenomena yang kita hadapi dalam bidang ketenagakerjaan di Tanah Air. Untuk menggambarkan betapa sulitnya mencari lapangan kerja. Khususnya dikalangan generasi muda. Tidak hanya lulusan SLTA, tapi juga lulusan perguruan tinggi. Selama tahun 2016, sekitar 50 juta orang bekerja di sektor formal. Sedang di sektor informal mencapai 68 juta orang. Di sektor informal ini seringkali berbaur antara yang bekerja dengan setengah bekerja. Dalam waktu bersamaan anak muda berusia 15 tahun sampai 34 tahun, sebanyak 5,73 juta orang tidak memiliki pekerjaan alias menganggur (Kompas, 15/12).

Dalam sebuah diskusi di Lembaga Pengkajian MPR, Prof. Fasli Jalal (2017) menjelaskan angka pengangguran di tingkat SMA mencapai 6,95%. Pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) lebih parah lagi, mencapai 9,84%. Dan lebih tinggi lagi angka pengangguran ditingkat Sarjana, mencapai 11,19%.   

Cobalah kita ulas tentang profesi satpam ini.  Pekerjaan yang sesungguhnya tidak perlu memiliki ketrampilan yang tinggi. Hanya untuk menjaga dan mengamankan saja. Untuk membuat suasana nyaman dan teratur. Itulah sebabnya, kualifikasinya pun tidak terlalu tinggi. Cukup lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas atau SLTA dan yang sederajat. Karena membludaknya lulusan SLTA, menyebabkan posisi inipun diserbu pencari kerja. Akibatnya peluang untuk menjadi satpam dibuka lebar-lebar. Tak heran satpam di kantor pun seolah berjubel.

Lihat misalnya di kompleks parlemen (DPR,DPD,MPR) Senayan. Disetiap sudut kompleks akan terlihat satpam. Apalagi di pintu masuk. Di pintu masuk mobil, baik di depan maupun belakang, terlihat puluhan orang satpam berdiri. Begitu pula di pintu masuk untuk sepeda motor. Di bagian belakang kompleks itu kini berdiri berbagai bangunan untuk menampung berbagai satuan pengamanan ini. Dari bangunan permanen sampai tenda-tenda. Dulu tempat itu terlihat kosong. Diisi oleh halaman rumput yang menghijau.

Karena  rumah saya berada disekitar kompleks itu untuk menghadiri rapat di MPR, suatu pagi saya jalan kaki menuju kompleks Parlemen. Di pintu masuk untuk pejalan kaki, sekitar delapan orang satpam menjaga pintu. Yang lewat pintu itu cuma dua orang, saya dan seorang lain. Petugas satpam yang duduk di meja jaga menanyakan KTP saya. Rupanya mau ditahan, diganti dengan tanda tamu. Karena saya mau pulang lewat pintu belakang, saya minta jangan ditahan dan cukup dicatat saja. Lagi pula KTP itu sudah rusak. Dia dan yang lainnya ngotot untuk menahannya. "Itu peraturan Pak,!" ucap temannya. Untung ada yang mengenal saya, sehingga tidak harus ditahan. Di dekat pintu masuk itu terdapat pula kantor polisi. Terkadang di belakangnya dibangun tenda-tenda tempat para polisi menjaga keamanan dan ketertiban di kompleks parlemen.

Yang lebih aneh lagi pengalaman saya menginap di sebuah jaringan hotel terkenal di kompleks Harapan Indah Bekasi. Suatu pagi, saya jalan-jalan membawa kamera di lingkungan hotel. Beberapa buah patung menarik untuk di foto. Usai memfoto patung di depan lobi, saya berjalan ke tempat parkir. Sebuah patung dengan peta Indonesia yang di atasnya tumbuh pohon-pohon yang meranggas menarik untuk di foto. Seorang satpam hotel menegur. Meski saya katakan saya penginap, dia tetap minta surat izin memotret. Baru kali inilah saya menghadapi petugas satpam yang meminta izin memotret patung di halaman, termasuk dari seorang tamu hotel. Apakah dia tidak tahu, gaji yang diterimanya itu berasal dari bayaran tamu yang menginap? Aneh.

Berkejaran dengan waktu

Kedua cerita ini diungkapkan untuk menunjukkan betapa para satpam itu  sesungguhnya kurang memahami apa yang harus dikerjakan. Karena jumlahnya terlalu banyak terkadang menyebabkan mereka mencari-cari kesibukan, diluar tugas pokoknya untuk pengamanan. Tugas untuk menjaga keamanan agar penghuni merasa nyaman. Bukan sebaliknya, malah menyusahkan penghuni.  Kualifikasi yang hanya sebatas lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dan sederajat tadi menunjukkan begitulah kualitas sumberdaya manusia kita, khususnya lapangan kerja satuan pengamanan ini.

Padahal begitupun, masih banyak yang mengidamkan pekerjaan ini. Pekerjaan yang sesungguhnya termasuk profesi yang terancam juga, sebagaimana banyak profesi lainnya.  Penjaga jalan tol sudah amat berkurang, karena pintu tol diganti dengan pintu otomatis. Begitu juga yang bekerja di media massa, baik koran maupun majalah. Beberapa koran dan majalah  sudah berhenti terbit. Dengan sendirinya banyak pekerja yang kehilangan lapangan kerja. Pekerjaan di bank juga akan semakin berkurang karena perkembangan teknologi perbankan. Akibatnya petugas bank konon akan berkurang, diantaranya para teler. Tentang hal ini, pernah ditulis Harian KONTAN.

Begitu juga dengan petugas pengamanan ini. Ketika pintu-pintu sudah menggunakan kartu, maka tiada lagi petugas penjaga pintu. Begitu juga di kala ruangan-ruangan, akses antar ruangan didalam gedung, pintu-pintu, dan sejenisnya sudah dilengkapi dengan alat monitor seperti closed circuit television atau CCTV, tentu akan semakin membatasi tenaga kerja manusia. Akan menghilangkan pekerjaan untuk menjaga dan mengamati tamu atau orang-orang yang hilir mudik secara langsung. Pekerjaan itu beralih ke ruangan khusus untuk mengamati layar-layar monitor dengan petugas yang jumlahnya menjadi amat terbatas.

Dengan begitu, maka sesungguhnya profesi satpam juga termasuk yang terancam. Sementara kita belum siap mencari lapangan kerja pengganti untuk profesi yang menghilang ini, terlanjur terjadi ledakan pencari pekerjaan. Tak heran pekerjaan atau profesi yang terancam sekalipun akan diserbu para pencari kerja.

Kita memang tidak bisa menyalahkan para satpam itu sepenuhnya. Karena mereka juga merupakan produk masyarakat. Berasal dari sistem pendidikan, sejak dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Sistem tidak melahirkan pencipta lapangan kerja, akan tetapi para pencari kerja. Sementara kebijakan yang dikembangkan tidak mampu membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tampaknya juga berkejaran dengan langkah membangun sumberdaya manusia yang mampu memanfaatkan perkembangan itu dengan sebaik-baiknya. Demikian juga banyak faktor penyebab lainnya.

Karena itu, kita diajak untuk memikirkannya secara bersama-sama. Baik si pencari kerja sendiri, para orangtua, sekolah, pemerintah maupun para penyelenggara negara lainnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Banking Your Bank

[X]
×