kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menjaga Likuiditas Bank Saat Covid-19


Jumat, 05 Juni 2020 / 10:56 WIB
Menjaga Likuiditas Bank Saat Covid-19
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Bagi industri perbankan likuiditas atau arus kas itu layaknya darah di tubuh manusia. Jika jumlah likuiditas seret maka berdampak pada kesehatan dan keberlangsungan hidup mereka.

Apalagi saat krisis seperti sekarang. Oleh karena itu, likuiditas perbankan terus dipantau oleh otoritas, agar tidak mengering dan menyebabkan masalah, yang dapat merembet dari satu bank ke bank lain. Pada akhirnya, persoalan likuiditas dapat menjadi penentu stabilitas sistem keuangan.

Baik Bank Indonesia (BI) maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan berbagai stimulus untuk menjaga dan merelaksasi atau melonggarkan likuiditas bank. BI menurunkan rasio Giro Wajib Minimum (GWM) baik untuk bank umum konvensional maupun bank umum syariah.

Koreksi GWM dilakukan kepada dana pihak ketiga (DPK) rupiah maupun valas. Dalam kaitannya dengan makroprudensial, otoritas moneter juga melonggarkan beberapa regulasi seperti rasio intermediasi makroprudensial (RIM).

Tidak jauh berbeda dengan BI, OJK juga melonggarkan berbagai aturan terkait dengan likuiditas. Pertama, penundaan pemberlakukan standar Basel III: Finalizing post-crisis reform (Basel III reforms) menjadi 1 Januari 2023.

Kedua, penurunan batas rasio (liquidity coverage ratio/LCR atau rasio kecukupan likuiditas) dan net stable funding ratio/NSFR atau pemenuhan rasio pendanaan stabil bersih paling rendah 85% sampai dengan 31 Maret 2021. Ketiga, relaksasi aturan penempatan dana antarbank bagi BPR (KONTAN, 2020).

Bukan hanya BI dan OJK yang turun tangan untuk mengamankan likuiditas perbankan saat krisis Covid-19. Pemerintah, lewat program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), menyisihkan sebagian dana tersebut untuk menjaga kondisi likuiditas perbankan.

Lewat mekanisme bank jangkar, bank bisa mengakses dana sekitar Rp 87 triliun, yang mensyaratkan program restrukturisasi kredit. Akan tetapi, sebelum mengakses dana tersebut, bank diminta untuk mencari dana di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) hingga lewat term repo Surat Berharga Negara (SBN) ke BI.

Artinya, tidak serta merta bank dapat mengakses dana yang dititipkan pemerintah ke bank jangkar. Sampai akhir Mei 2020, SBN yang dimiliki bank (termasuk yang digunakan dalam operasi moneter dengan BI) mencapaiRp 910 triliun. Sebesar Rp 663 triliun merupakan Surat Utang Negara (SUN) dan Rp 246 triliun adalah Surat Berharga Negara Syariah (SBSN).

Porsi kepemilikan SBN perbankan mencapai 29,85%, berbeda tipis dengan kepemilikan asing sebesar 30,54%. Tidak terhenti pada topangan dana lewat bank jangkar, pemerintah juga menyiapkan skema penyangga likuiditas dan skema pinjaman likuiditas khusus (PLK) untuk bank sistemik lewat BI.

Persoalan yang muncul

Dalam jangka pendek, ada beberapa tantangan yang perlu diantisipasi bank dalam menjaga kondisi likuiditas. Pertama, realisasi pertumbuhan ekonomi yang diprediksi semakin melambat.

Bahkan, triwulan II-2020 bakalan tumbuh negatif. Pada kondisi normal (tidak ada krisis), elastisitas pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan DPK sudah menurun. Hal ini tidak terlepas dari penurunan realisasi pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir.

Pada 2014, elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap pertumbuhan DPK mencapai 2,44%; sedangkan pada 2018 dan 2019 masing-masing 1,24% dan 1,21%. Situasi 2020 akan lebih rendah karena kondisi ekonomi nasional yang sedang terpuruk.

Kedua, lonjakan penerbitan SBN untuk menutup defisit fiskal oleh pemerintah, yang pada akhirnya menyedot likuiditas di dalam perekonomian, termasuk di sektor perbankan. Dengan yield SBN (rata-rata di atas 7,5%, bahkan sempat mencapai 8%) yang jauh lebih tinggi dari suku bunga deposito (rata-rata di bawah 7%) maka dana tersedot ke rekening pemerintah. Sampai Mei, realisasi lelang SBN mencapai Rp 420,8 triliun dan sepanjang Juni-Desember dibutuhkan penerbitan SBN sebesar Rp 990 triliun.

Ketiga, penarikan DPK semakin meningkat karena munculnya fenomena mantab (makan tabungan) sebagai dampak Covid-19. Mantab terjadi pada seluruh kelompok pendapatan, baik pendapatan tertinggi, menengah, dan terbawah dalam piramida pendapatan.

Akan tetapi, yang paling terasa adalah bagi kelompok menegah dan terbawah. Bagi kelompok menengah, mantab dilakukan karena sebagian dari mereka harus terkena dampak PHK. Kelompok menengah yang masih bekerja, seringkali dihadapkan pada pilihan pemotong gaji atau tunjangan transportasi maupun uang makan oleh perusahaan.

Sementara itu, bagi kelompok berpendapatan terbawah, mantab bergerak lebih jauh. Misalnya menjual aset likuid seperti sepeda motor untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Untuk melihat fenomena mantab dapat dirujuk dari perkembangan DPK yang disajikan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). LPS membagi kelompok simpanan nasabah menjadi beberapa yaitu s/d Rp 100 juta; > Rp 100 juta s/d Rp 200 juta; > Rp 200 juta s/d Rp 500 juta; > Rp 500 juta s/d Rp 1 miliar; > Rp 1 miliar s/d Rp 2 miliar; > Rp 2 miliar s/d Rp 5 miliar; dan > Rp 5 miliar.

Saat pandemi virus korona Covid-19 mulai menyerang Indonesia, pertumbuhan simpanan kelompok s/d Rp 100 juta melambat. Pemilik simpanan tersebut merupakan golongan menengah ke bawah. Pada Maret, jumlah simpanan kelompok s/d Rp 100 juta tidak tumbuh; hal yang sama juga terjadi pada kelompok simpanan >Rp 100 juta s/d Rp 200 juta. Sementara itu, pertumbuhan negatif pada kelompok simpanan > Rp 1 miliar s/d Rp 2 miliar; > RP 2 miliar s/d Rp 5 miliar; dan > Rp 5 miliar terjadi pada April masing-masing 0,23% (mom); 0,35% (mom) dan 3,72% (mom).

Keempat, tantangan lainnya muncul dari mahalnya penerbitan utang (obligasi korporasi) untuk menambah likuiditas. Saat ini, likuiditas domestik dan global sangat ketat sehingga menerbitkan surat utang menjadi keputusan sulit. Jika pun bisa dilakukan maka diganjar dengan yield mahal. Yield mahal menjadi kompensasi bagi risiko yang harus ditanggung investor, ketika surat utang gagal bayar (default).

Melihat situasi ekonomi domestik dan global yang dihadapkan pada keketatan likuiditas, pilihan-pilihan menambah likuiditas sangat terbatas. Akan tetapi, bank perlu menjaga likuiditas supaya operasional bank tidak terganggu. Salah satu opsi yang perlu dilakukan adalah menghemat atau menunda pembayaran gaji petinggi, termasuk bonus dan tantiem. Meski tidak signifikan, tetapi setidaknya dapat menambah likuiditas bagi bank.

Penulis : Abdul Manap Pulungan

Peneliti Indef

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×