Reporter: Thomas Hadiwinata | Editor: Tri Adi
Pasar keuangan Indonesia mengawali pekan ini dengan buruk. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) melemah hingga Rp 14.815. Ini adalah posisi terendah rupiah terhadap the greenback sejak Juli 1998.
Di titik ini, pelaku pasar mulai terbagi dalam dua kubu. Ada yang memproyeksikan rupiah sudah melewati titik terendahnya. Kubu lain memprediksi, bearish yang dialami rupiah bakal berlanjut hingga kurs menyentuh Rp 15.000.
Perbedaan ramalan itu bisa muncul karena tiap kubu punya persepsi yang berbeda tentang masalah yang perlu segera dibereskan agar rupiah kembali berotot. Ada beda pandangan juga tentang seberapa parah sih masalah yang membelit rupiah. Ini tentu berujung ke seberapa efektif jurus menguatkan rupiah yang ditawarkan oleh pemerintah bersama Bank Indonesia.
Apa yang dialami rupiah sejatinya sudah bukan rahasia lagi. Ekonom di pasar, maupun mereka yang ada di pemerintahan mahfum rupiah bersama dengan valuta negara berkembang lain sangat tertekan begitu Federal Reserve (The Fed) mulai mengetatkan likuiditas di 2013.
Dana yang semula disuntikkan The Fed dalam rangka menyehatkan industri keuangannya, memang berputar di pasar global, termasuk emerging market. Begitu The Fed mengetatkan likuiditas, di pasar global pun terjadi pembalikan arah dana. Dollar yang semula mengalir keluar kandang, kini kembali ke kampung halamannya.
Morgan Stanley, lima tahun lalu pun, menggunakan istilah Fragile Five, merujuk ke lima negara yang bakal merasakan dampak paling buruk dari pengetatan likuiditas. Kelimanya adalah Brasil, India, Afrika Selatan, Indonesia, dan Turki.
Ya, pelemahan yang melanda valuta negara-negara berkembang terkini memang merupakan buntut dari apa yang terjadi, paling tidak lima tahun lalu. Mantan bankir dan penulis buku keuangan Satyajit Das, dalam kolomnya di Bloomberg menyebut, situasi yang terjadi saat ini adalah masalah text book.
Namun, layaknya masalah ekonomi, pelemahan rupiah cs yang terjadi saat ini memang bisa diidentifikasi dengan kacamata teori. Cuma, untuk menyelesaikannya, kita butuh lebih dari sekadar jurnal akademik.
Rupiah juga perlu pengambil dan pelaksana kebijakan yang kompeten dan kredibel. Kompetensi yang diperlukan tak hanya sebatas membaca persoalan defisit anggaran dan pasar keuangan, tetapi juga mengidentifikasi apa yang harus dilakukan di sektor riil.•
Thomas Hadiwinata
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News