kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menuju Bunga Rendah


Jumat, 27 November 2020 / 11:52 WIB
Menuju Bunga Rendah
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Di luar dugaan, setelah melakukan quatrick dengan menahan seven days reverse repo rate (7-DRRR) pada level 4% sejak Juli lalu, Bank Indonesia memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis points (bps) pada bulan ini. Stabilitas rupiah yang tercermin dari rendahnya inflasi dan relatif terjaganya nilai tukar membuat Bank sentral cukup percaya diri untuk melonggarkan kebijakan moneternya. Selain itu, perekonomian global yang berangsur membaik serta kinerja neraca pembayaran yang stabil mendukung stance kebijakan moneter yang akomodatif dalam upaya proses pemulihan ekonomi.

Pelonggaran kebijakan moneter memang dinanti oleh pasar. Sebab suku bunga perbankan, utamanya suku bunga kredit, diharapkan menurun seiring dengan relaksasi tersebut. Namun terdapat sebuah fakta menarik, merujuk pada rilis data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), suku bunga simpanan, kredit serta margin industri perbankan justru telah melandai, bahkan sejak tahun lalu.

Sepanjang Januari Agustus, Bank Indonesia telah 3 kali menurunkan suku bunga acuan dengan total penurunan (year to date) sebesar 100 basis points (bps) atau dari level 5% menjadi 4%. Jika dilihat penurunan tahunan Agustus 2019 - Agustus 2020 (year on year/yoy), suku bunga acuan telah turun sebesar 150 bps.

Sementara pada periode yang sama, suku bunga simpanan secara rata-rata turun sebesar 34 bps (ytd) dan 52 (yoy). Penurunan bunga simpanan tersebut tidak lepas dari lonjakan likuiditas perbankan akibat adanya kecenderungan masyarakat dan sektor usaha untuk meningkatkan simpanan ditengah merosotnya ekonomi dan ketidakpastian akibat pandemi.

Yang cukup mengejutkan adalah rata-rata suku bunga kredit turun hingga mencapai 78 bps (ytd) dan 79 bps (yoy). Penurunan suku bunga kredit yang jauh lebih besar dibanding suku bunga simpanan membawa penurunan pada selisih bunga bersih (net interest margin/NIM) sebesar 53 bps (ytd) dan 47 bps (ytd). Jika diamati lebih jauh lagi, pada periode yang sama, Agustus 2019 (yoy), suku bunga pinjaman justru sudah lebih dulu turun sebesar 25 bps ketika suku bunga simpanan naik 4%. Dari data-data tersebut dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya suku bunga kredit sudah melandai sejak tahun 2019 lalu dan terus berlanjut hingga saat ini.

Penurunan suku bunga pinjaman memang diperlukan untuk menciptakan suku bunga yang rendah, dengan NIM sebagai patokannya. Per Agustus, NIM perbankan kita sebesar 4.43%. Besaran NIM tersebut memang masih lebih tinggi dibanding negara-negara kawasan ASEAN, seperti Malaysia dan Singapore yang berada pada kisaran 2% serta Thailand 2,6%. Harapannya tentu margin bunga di Indonesia bisa mendekati negara-negara peers tersebut.

Pergerakan suku bunga kredit yang menurun bahkan pada kondisi normal (2019-red), ketika suku bunga simpanan relatif tetap memberi indikasi adanya potensi industri perbankan tanah air untuk menuju ke rezim suku bunga rendah. Faktor biaya dana nampaknya tidak menjadi konsideran utama bagi perbankan dalam mengubah bunga kreditnya. Premis tersebut didasari fakta bahwa ditengah melimpahnya likuiditas, perbankan hanya mampu menurunkan suku bunga simpanan sebesar 52 bps (yoy), sementara disatu sisi suku bunga pinjaman justru menukik jauh lebih tajam, 79 bps (yoy). Rendahnya permintaan kredit serta dalam rangka membantu mengurangi beban bunga nasabah ditengah kemerosotan ekonomi patut diduga kuat mendorong perbankan untuk menurunkan margin bunganya.

Momentum

Melihat fakta diatas, pada dasarnya masih terdapat ruang bagi perbankan untuk terus menurunkan suku bunga pinjaman. Dengan demikian, melandainya suku bunga simpanan dan pinjaman ditengah pelemahan ekonomi saat ini justru dapat menjadi sebuah momentum untuk menuju rezim bunga murah. Bukan proses yang instan tentunya, melainkan diperlukan upaya struktural baik aspek makro maupun aspek mikro perbankan.

Dalam menetapkan suku bunga pinjaman, terdapat formulasi yang memuat beberapa variabel utama, yakni biaya dana, biaya overhead, premi risiko dan ekspektasi keuntungan. Selain tentunya faktor diskresi dari manajemen bank. Terkait biaya dana, menjadi hal yang krusial sekaligus tantangan tersendiri dalam menciptakan struktur bunga kredit yang rendah. Dengan fakta bahwa penurunan bunga kredit jauh lebih dalam dibanding penurunan bunga simpanan, ketika terdapat ruang untuk menurunkan suku bunga simpanan, maka kedepan suku bunga kredit berpeluang juga untuk kian melandai.

Sebagaimana telah diulas sebelumnya, penurunan biaya dana (bunga) saat ini lebih disebabkan karena peningkatan likuiditas yang besar kemungkinan bersifat sementara.

Dengan demikian, terdapat potensi biaya dana meningkat seiring perbaikan kondisi ekonomi. Oleh karenanya, diperlukan upaya untuk meningkatkan likuiditas perekonomian melalui pendalaman sektor keuangan. Sementara itu, masyarakat yang melek atau terliterasi secara keuangan menjadi pra-syarat bagi terciptanya sektor keuangan yang inklusif.

Akan tetapi, literasi keuangan indonesia belum cukup optimal. Merujuk pada indeks literasi keuangan yang dirilis oleh OJK, diketahui bahwa indeks literasi keuangan tahun 2019 masih terkategori rendah dengan skor 38,03%.

Artinya hanya 38% masyarakat Indonesia yang memahami produk pemahaman yang memadai terhadap berbagai produk sektor keuangan. Relatif rendahnya literasi keuangan tersebut juga berimplikasi terhadap pemanfaatan produk keuangan oleh masyarakat yang tercermin dari indeks inklusi keuangan, sebesar 76,19%.

Memang belum seluruh masyarakat bisa mengakses dan memanfaatkan produk-produk dari sektor keuangan. Dengan meningkatkan literasi dan inklusi keuangan, maka berpeluang mendorong peningkatan likuiditas perekonomian dalam negeri, yang pada akhirnya akan berkontribusi terhadap penurunan suku bunga simpanan dan berujung pada rendahnya suku bunga kredit.

Selain melalui kebijakan moneter, bank sentral juga memiliki peran sentral dalam upaya meningkatkan inklusi keuangan melalui pengarusutamaan sistem pembayaran digital. Dengan terdigitalisasinya sistem pembayaran, maka akan mengurangi peredaran uang kartal yang akan berkontribusi terhadap peningkatan likuiditas perbankan. Dari sisi internal, bank diharapkan dapat secara bertahap menurunkan biaya overhead. Ditengah digitalisasi yang hampir terjadi di semua lini bisnis, maka potensi peningkatan efisiensi berpeluang dilakukan.

Dengan demikian, relaksasi kebijakan moneter harus didukung dengan kebijakan struktural non-moneter dalam rangka mendorong sektor keuangan yang inklusif. Sepanjang sektor keuangan masih dangkal, maka akan sulit diharapkan untuk menuju rezim bunga rendah.

Penulis : Teguh Santoso

Dosen Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×