Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Banyak analis dan pengusaha, menurut Anton Hendranata, cenderung menyalahkan tingginya suku bunga kredit sebagal alasan melambatnya pertumbuhan kredit perbankan Indonesia. Namun ia menemukan pertumbuhan kredit perbankan lebih dipengaruhi pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat dari pada tingkat suku bunga.
Bila demikian, perlu pertimbangan lebih mendalam atas potensi imbas negatif dari penurunan suku bunga kredit secara berlebih. Mengingat manfaat langkah tersebut dalam mendongkrak penyaluran kredit ternyata terbatas.
Berbeda dengan dua dekade lalu, perbankan Indonesia saat ini tidak lagi kebanjiran likuiditas. Seperti yang diutarakan Anton Hendranata, tahun 2000, likuiditas perbankan Indonesia berdasarkan rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (loan to deposit ratio/LDR) berada pada posisi 38%, sedangkan pada akhir 2017 telah mencapai 90%. Artinya, dalam sistem perbankan saat ini, hanya terdapat 10% dari dana pihak ketiga (DPK) yang belum disalurkan melalui kredit, dibandingkan tahun 2000 yang mencapai 62%.
Lebih menariknya, Indonesia saat ini memiliki 115 bank umum dan kelima bank terbesar di Indonesia (bank BUKU IV) memiliki ketersediaan likuiditas yang lebih tinggi dibandingkan 110 bank lainnya. Hal ini tercermin dengan LDR bank BUKU IV yang bertengger pada posisi 86% dibandingkan 97% untuk bank kelompok BUKU III, 92% untuk bank BUKU II dan 89% untuk bank BUKU I. Maka, tidak mengherankan bila pertumbuhan kredit bank besar pada beberapa tahun terakhir jauh melampaui bank kecil seperti yang diutarakan Anton Hendranata.
Terlebih, 66% dari DPK bank BUKU IV berasal dari tabungan dan giro, jauh lebih tinggi dibandingkan 44% untuk bank BUKU III dan BUKU II, dan 19% untuk bank BUKU I, di mana suku bunga deposito lebih tinggi dibandingkan dengan suku bunga tabungan dan giro. Per Desember 2017, rata-rata suku bunga tabungan dan giro berkisar 1,56% hingga 2,16%, sementara deposito berjangka 1 bulan pada kisaran 5,74%.
Maka, beban bunga yang ditanggung bank BUKU IV menjadi lebih rendah dibandingkan dengan bank BUKU I, BUKU II dan BUKU III. Sehingga, keuntungan dari kredit yang disalurkan, diukur melalui net interest margin (NIM), dari bank BUKU IV (5.99%) lebih tinggi dari bank BUKU I (5.5%), bank BUKU II (5.17%) dan bank BUKU III (4.4%).
Karena beban bunga yang lebih tinggi, bank kecil harus mematok bunga kredit yang lebih tinggi pula. Akibatnya, peminjam dengan profil risiko lebih aman cenderung memilih bank besar karena bunga kredit yang lebih rendah. Artinya, peminjam pada bank kecil cenderung memiliki profil yang lebih berisiko. Hal ini tercermin dengan lebih rendahnya rasio kredit macet di bank BUKU IV (1,9%) dibandingkan bank BUKU III (2%), bank BUKU II (2,4%) dan bank BUKU I (2,8%) per Desember 2017.
Penurunan suku bunga secara berlebih dapat menggerus potensi keuntungan hingga tidak lagi menarik secara ekonomis bila dibandingkan dengan risiko kredit yang diserap. Bila hal ini terjadi, dapat menyebabkan bank kecil enggan untuk menyalurkan kredit. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin, penurunan suku bunga kredit secara berlebih malah menggerus pertumbuhan penyaluran kredit, terutama oleh bank kecil.
Selain itu, bank kecil cenderung memiliki efisiensi operasional yang lebih rendah dibandingkan bank besar. Rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional bank BUKU I (87%), dan bank BUKU II dan bank BUKU III (86%) cenderung lebih tinggi dibandingkan bank BUKU IV (70%). Maka, saat NIM tergerus oleh karena penurunan suku bunga kredit secara berlebih, dapat menyebabkan laba bersih pada bank kecil terpangkas secara signifikan.
Singkat kata, bila suku bunga kredit diturunkan menjadi lebih rendah dari tingkat wajarnya, dari analisa diatas, dapat disimpulkan bahwa bank-bank kecil yang akan paling terimbas.
Ancaman efek domino
Sistem perbankan yang tersegmentasi dengan jumlah bank yang besar membuat sistem perbankan Indonesia relatif unik. Hal ini membuat transmisi kebijakan moneter menjadi cenderung lebih lambat dan bahkan lebih sulit. Namun, menggenjot transmisi kebijakan moneter secara berlebih, seperti penurunan suku bunga kredit yang terlalu agresif, memiliki potensi imbas negatif pada bank-bank kecil yang dapat mengancam kesehatan bank-bank tersebut.
Lebih tingginya beban bunga bank kecil menyebabkan bank-bank tersebut harus mematok suku bunga kredit yang lebih tinggi pula. Hal ini memberikan ruang bagi bank besar untuk mematok suku bunga kredit yang relatif tinggi pula guna mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi. Maka, salah satu potensi solusi adalah dengan mencoba menekan beban bunga bank-bank kecil. Namun, mengingat cakupan jaringan yang lebih sempit dan tingkat risiko yang dipandang lebih tinggi dibandingkan bank besar, bila tidak diizinkan menawarkan suku bunga yang lebih tinggi, bank-bank kecil akan sulit menggalang DPK. Hal ini dapat berimbas pada ketersediaan likuiditas pada bank-bank kecil yang dikhawatirkan kemudian dapat mengancam kesehatan bank-bank tersebut.
Menjaga kesehatan bank-bank kecil tidak dapat dipandang sebelah mata karena terdapat risiko efek domino yang dapat mengancam stabilitas dari seluruh sistem perbankan Indonesia. Sebagai contoh, bila terjadi ancaman pada bank ke 115, terdapat risiko nasabah kemudian berspekulasi bahwa berikutnya bank ke 114 akan mengalami ancaman serupa. Efek domino ini dapat terus berlanjut hingga akhirnya mengancam bank-bank besar, seperti yang terjadi di krisis moneter tahun 1998. Ancaman yang bermula hanya pada bank-bank kecil pada akhirnya mengancam seluruh sistem perbankan kita.
Tentunya suku bunga kredit yang terlalu tinggi melebihi tingkat kewajaran bukanlah sesuatu yang diinginkan. Namun, kita perlu memahami keunikan dari kondisi sistem perbankan kita. Sehingga, mendorong penurunan suku bunga kredit secara berlebih atau tergesa-gesa memiliki dampak risiko. Tentunya, tidak ada salahnya mengejar pertumbuhan, selama tidak mengorbankan stabilitas.
Teddy Oetomo
Pengamat Ekonomi dan Pasar Modal
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News