| Editor: Tri Adi
Berita duka kembali datang dari dunia ketenagakerjaan kita. Kamis pagi, 26 Oktober 2017, terjadi ledakan dan kebakaran hebat di kawasan pergudangan Kosambi, Tangerang. Tepatnya di "pabrik" petasan milik PT Panca Buana Cahaya Sukses. Kecelakaan industrial ini menewaskan 47 tenaga kerja di lokasi kejadian, 1 orang meninggal di rumah sakit saat tulisan ini dibuat. Keberadaan anak-anak dalam daftar korban tewas menimbulkan perhatian khusus banyak pihak.
Sebelumnya (4 Oktober 2017), sebuah perusahaan pembuat keripik tempe skala rumah tangga di Malang, Jawa Timur juga terbakar. Kebakaran yang juga disertai ledakan keras tersebut, diduga dari tabung LPG, menyebabkan lima pekerja tewas, empat di antaranya adalah wanita.
Menurut penulis, dari dua kecelakaan industrial yang disertai kefatalan tadi, ada masalah pelanggaran UU Ketenagakerjaan yang jauh lebih berat dibanding penggunaan anak sebagai pekerja, yaitu urusan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) (UU No 13/ 2003, pasal 86-87). Keberadaan pekerja perempuan dan anak-anak dalam perusahaan dengan kondisi kerja mengandung bahaya berisiko tinggi mempertegas indikasi ketidakpedulian pengelola perusahaan terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Penggunaan istilah pabrik dalam kasus kebakaran industrial yang dahsyat di Kosambi, Tangerang menimbulkan kegundahan tersendiri, mengingat kawasan lokasi perusahaan pembuatan petasan tersebut sebenarnya diperuntukkan bagi kawasan pergudangan. Kegiatan pergudangan jelas sangat berbeda dengan kegiatan produksi. Mustahil masyarakat sekitar atau instansi pemerintah terkait tidak mengetahui keberadaan kegiatan produksi di dalam kawasan tersebut. Apalagi di sejumlah pemberitaan, pernah terjadi kebakaran pabrik thinner yang lagi-lagi disebut pabrik di kawasan yang sama.
Keberadaan perusahaan manufaktur dalam kawasan pergudangan perlu ada investigasi lebih lanjut. Mengingat definisi "industri" dalam PP Nomor 142/ 2015 tentang Kawasan Industri, secara tersirat mengacu pada kegiatan produksi atau manufaktur. Izin prinsip dan infrastruktur kawasan industri jauh lebih kompleks daripada kawasan pergudangan. Kesimpulan sementara, tidak semua kawasan dengan embel-embel industri benar-benar berstatus kawasan industri.
Sementara itu, sesuai Permen Perindustrian No 23/ Men-Ind/Per/4/2013, potensi bahaya dalam setiap material kerja wajib terdokumentasi dalam lembar data keselamatan material atau material safety data sheet (MSDS). Konsekuensi operasionalnya, setiap perusahaan pengguna bahan berbahaya dan beracun (B3) wajib memiliki MSDS terkait, menyebarkan isinya sebagai pengetahuan K3 yang sangat penting bagi tiap pekerja, dan melakukan tindakan manajemen bahaya yang direkomendasikan (piktogram, labelling, pengemasan, penyiapan alat pelindung diri atau APD dan lainnya). Berdasarkan karakteristik sistem produksinya -jenis bahan yang diproses, kegiatan produksi, hingga output produksi- pabrik petasan memiliki bahaya dan risiko kebakaran yang sangat tinggi. Bahan dasar petasan umumnya adalah mesiu (black powder) yang tergolong eksplosif (low explosive) dan padatan mudah menyala. Dari informasi yang tersedia, besar kemungkinan "pabrik" petasan di Kosambi alpa dari kewajiban tersebut.
Berikutnya, menurut Lampiran Permen PU No 20/PRT/M/2009 tentang Pedoman Teknis Manajemen Proteksi Kebakaran di Perkotaan, perusahaan-perusahaan dengan angka klasifikasi risiko kebakaran tinggi (ARK) tidak boleh dibangun dan dikelola sembarangan. Pabrik petasan memiliki ARK 3. Artinya, pabrik petasan termasuk industri dengan risiko kebakaran tertinggi. Pekerjaan di tempat seperti ini tidak boleh dilakukan sembarang orang. Mereka haruslah orang-orang dengan pengetahuan dan kemampuan kerja yang memadai, mampu memahami dan berperilaku aman saat bekerja di tempat berbahaya tersebut (behavior based safety).
K3 sebagai investment center
Konsekuensinya, pekerja di tempat berbahaya adalah pekerja berkeahlian khusus, yang pantas diberi imbalan di atas rata-rata. Perilaku pekerja yang tidak mendapat pelatihan memadai, sering jadi penyebab utama terjadinya kecelakaan kerja. Merokok di tempat yang penuh dengan bahan mudah terbakar, pengelasan di sekitar bahan mudah meledak, meletakkan B3 tidak pada wadah semestinya, bekerja tanpa alat pelindung diri (APD), menunjukkan perilaku tidak aman (unsafe behavior) yang berasal dari minimnya pengetahuan dan komitmen pengusaha maupun pekerja terhadap K3.
Lamanya waktu penanganan dan pemadaman kebakaran industrial lebih sering karena ketidaksiapan sistem manajemen proteksi kebakaran pada perusahaan yang mengalami kebakaran, bukan karena keterlambatan dinas pemadam kebakaran kota. Buruknya kualitas koordinasi antara instansi pemberi izin usaha dan dinas pemadam kebakaran di wilayah perkotaan membuat waktu tanggap kebakaran (15 menit) lebih sering di atas kertas. Penyediaan APAR (alat pemadam api ringan) saja jelas tidak cukup untuk mengatasi pabrik dengan risiko kebakaran tinggi. Keberadaan sistem manajemen kebakaran atau teknologi pencegahan dan pemadaman kebakaran yang handal seperti konstruksi bangunan tahan api, berbagai sistem peringatan dini kejadian kebakaran, sistem hidran, dan simulasi pemadaman kebakaran, wajib disiapkan secara serius.
K3 masih dipandang sebelah mata oleh banyak elemen tripartit dalam hubungan industrial di negara kita. Ada ribuan perusahaan lain yang memiliki risiko bahaya kebakaran, ledakan, dan bahaya kerja lainnya yang tidak kalah besarnya dengan PT Panca Buana Cahaya Sukses. Ratusan ribu pekerja bekerja di bawah risiko kecelakaan kerja yang dapat berakibat fatal. Ironisnya, tidak sedikit perusahaan dengan bahaya sangat tinggi justru diselenggarakan dengan asal-asalan. Memproduksi petasan di kawasan pergudangan dan mempekerjakan anak serta wanita di dalamnya memperjelas keinginan pengusaha untuk "menyembunyikan" tingkat risiko kerja yang sangat tinggi.
Keinginan meraih keuntungan ekonomi maksimal berbiaya murah, membuat banyak pengusaha memposisikan sistem manajemen K3 sebagai cost center, bukan investment center. Padahal tidak demikian. Dalam penelitian di India (2015), Seema Unnikrishnan menemukan fakta, kepedulian perusahaan (khususnya UKM) terhadap K3 justru meningkatkan dampak positif bagi kinerja dan daya saing perusahaan. Kepedulian para pengusaha konstruksi terhadap K3 pekerjanya terbukti berpengaruh besar terhadap kelangsungan usaha di Malaysia (M Yunus dkk, 2017).
Menyembunyikan bahaya kerja berarti sengaja menciptakan kondisi berbahaya bagi pekerja dan masyarakat di sekitar perusahaan. Dapat dikategorikan sebagai kejahatan industrial. Pengawasan dan evaluasi secara menyeluruh kesesuaian peruntukan kawasan dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah harus dilakukan terus menerus oleh instansi terkait, khususnya terhadap pelaksanaan kegiatan industrial. Demikian pula pengawasan ketenagakerjaan. Jadikan tempat kerja sebagai tempat untuk menyambung nyawa, bukan menyabung nyawa. Ayo sadar K3!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News