kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menyambut era baru emisi obligasi


Senin, 21 Januari 2019 / 12:20 WIB
Menyambut era baru emisi obligasi


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Salah satu faktor yang menjadi kendala yang dihadapi perusahaan untuk melakukan emisi surat utang adalah bond issuance process yang relatif lama. Bahkan, dalam banyak kasus tidak dapat diduga dengan pasti kapan proses tersebut akan berakhir. Dalam kasus pasar surat utang korporasi di India, masalahbond issuance process bahkan menjadi masalah paling utama yang menghalangi perkembangan lebih lanjut dari pasar surat utang korporasi India (Wells and Schou-Zibell, Indias Bond Market: Developments and Challenges Ahead, ADB Working Paper, 2008).

Proses emisi surat utang sudah terkendala sejak dari titik awal, yaitu saat proses pengurusan izin dan memperoleh pernyataan efektif tercatat dari otoritas bursa. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 11 tahun 2018 yang baru Agustus kemarin diundangkan bertujuan untuk memangkas proses emisi obligasi, khususnya bagi investor profesional.

Proses emisi yang cepat sangat penting karena manfaat dari emisi obligasi sangat dipengaruhi oleh kondisi suku bunga pasar yang dapat bergerak ke arah yang tidak favorable selama pengurusan izin yang berlarut-larut. Keuntungan yang semula diharapkan dapat diraih dapat berkurang bahkan hilang sama sekali karena perubahan suku bunga pasar ke arah yang tidak favorable. Sementara biaya selama tahapan bond issuance process tersebut sudah pasti harus dibayar oleh calon emiten: Apakah emisi itu akhirnya jadi dieksekusi oleh perusahaan atau perusahaan memilih menunda emisi.

Beberapa negara telah mencoba mengatasi masalah ini dengan cara menerapkan sebuah kebijakan yang dapat menyederhanakan, bahkan memangkas proses emisi obligasi. Jadi, perusahaan dapat segera mengeksekusi niat mengeluarkan surat utang dengan segera. Dan keuntungan yang diharapkan oleh emiten belum berubah terlalu banyak, karena perubahan kondisi makro ekonomi yang tidak terduga.

Negara-negara yang serius untuk mendorong perkembangan pasar surat utang domestik di negaranya masing-masing merasa tidak cukup untuk mengatasi masalah bond issuance process hanya dengan memangkas waktu maksimum yang diperlukan dalam mengurus izin proses public offering dari surat utang korporasi.

Sebuah terobosan digunakan oleh beberapa negara dengan menyederhanakan proses bond issuance di pasar perdana yang tidak harus mengikuti proses public offering yang umum. Rezim regulasi itu disebut sebagai hybrid offer regime (HBOR).

HBOR adalah sebuah bond issuance framework yang ditujukan kepada investor institusi yang diasumsikan sebagai sophisticated buyer yang dapat memitigasi risiko surat utang yang dibelinya sendiri. Jadi, regulator tidak perlu mewajibkan mereka untuk mengikuti peraturan-peraturan yang dibuat untuk melindungi investor publik yang diasumsikan kurang mampu untuk menganalisis risiko secara mandiri.

Alasan penerapan tahap-tahap yang harus dilalui oleh calon emiten dalam bond issuance process yang cukup panjang dan lama tersebut didasari oleh keinginan pemerintah untuk melindungi investor publik yang ada di pasar surat utang korporasi. Pemerintah perlu menerapkan beberapa prosedur untuk menyaring calon emiten surat utang korporasi dan memastikan informasi spesifik berkaitan dengan calon emiten surat utang korporasi dapat diketahui oleh publik dengan baik dan lengkap (Loladze, 2015).

Tentu saja, ketika investor tersebut bukan investor awam, profesional, cukup bertanggung jawab, dan mampu mengurus dirinya sendiri, maka izin emisi obligasi tidak lagi harus melalui tahapan yang lama dan berliku, seperti ketika surat utang tersebut dijual ke investor publik yang awam.

Pengalaman beberapa negara yang telah menerapkan hybrid offer regime menunjukkan peningkatan yang signifikan dari jumlah emiten dan nilai surat utang yang diemisi setelah hybrid offer regime diluncurkan. Indonesia sebetulnya sudah jauh tertinggal dalam implementasi hybrid offer regime ini dengan dirilisnya POJK Nomor 11 tahun 2018. Malaysia sudah sejak 11 tahun lalu, sementara Thailand sudah 9 tahun lalu menjalankan aturan serupa.

Premis utama kebijakan hybrid offer regime adalah investor institusi dapat dinilai sebagai investor yang canggih (sophisticated), sehingga regulator dapat mengurangi persyaratan tertentu untuk emisi surat utang yang akan dibeli oleh investor yang canggih ini.

Seperti hasil kajian atas beberapa negara yang pasar surat utangnya tertinggal dibandingkan dengan negara lain, masalah utama dari emisi surat utang korporasi lebih banyak disebabkan oleh kerangka regulasi yang tidak memadai (inadequate regulatory framework). Regulasi itu penuh berbagai persyaratan yang rumit dan tidak pasti (Loladze ,2015).

Motivasi regulator dalam menetapkan persyaratan public offering yang rumit tersebut sebetulnya baik. Yaitu, melindungi investor publik dari praktik-praktik keuangan perusahaan yang tidak baik. Namun, regulasi tersebut memiliki asumsi dasar yang sering kali tidak tepat, yakni semua investor adalah investor yang lemah dan awam sehingga perlu dilindungi pemerintah. One-size-fits-all regulations seperti ini justru menciptakan kondisi yang tidak kondusif bagi pengembangan pasar surat utang korporasi.

Kebutuhan keuangan dan profil calon perusahaan emiten surat utang yang beragam secara alamiah membuat setiap perusahaan sebetulnya memiliki target investor tersendiri. Target investor ini telah memahami secara lebih mendalam bisnis calon emiten, termasuk risiko keuangan, dan kapasitas perusahaan untuk membayar utangnya.

Jadi, setiap investor memiliki kemampuan yang unik dan khas dalam menganalisis risiko calon emiten tertentu sehingga regulasi untuk emisi surat utang tidak dapat dibuat seragam.

Misalnya, emiten dengan asset yang besar, sejarah bisnisnya sudah cukup panjang dan transparan, serta beroperasi pada industri yang relatif dikenal oleh para kebanyakan analis tentu berbeda dengan emiten yang kecil, yang pertama kali masuk ke pasar modal, atau beroperasi di industri yang unik dan spesifik.

Perusahaan yang bergerak di proyek infrastruktur tentu berbeda dengan perusahaan teknologi tinggi (high tech), perusahaan perkebunan tentu memiliki karakteristik risiko yang berbeda dengan perusahaan farmasi. Keunikan setiap industri dan setiap perusahaan menuntut kemampuan analisis yang khusus pula.

Logikanya, investor institusi besar dengan analis yang canggih dan memahami secara detil dan mendalam risiko keuangan dari suatu perusahaan yang akan mengeluarkan surat utang tentu tidak perlu dikenakan regulasi yang terlampau ketat, seketat investor publik yang awam. Tentu saja setiap investor akan memiliki tingkat kecanggihan yang berbeda-beda sehingga seharusnya proteksi dari regulator disesuaikan dengan tingkat kecanggihannya.

Beberapa negara memiliki istilah tersendiri untuk sophisticated investor dan bagaimana proses penetapannya. Ada yang hanya berdasarkan nilai asset dari investor institusi tersebut. Ada pula yang melalui suatu proses penilaian dan ditetapkan regulator.

Buddi Wibowo
Dosen Pascasarjana Ilmu Manajemen FEB Universitas Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×