Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi
Selama dekade 1960-an, tingkat pendidikan masyarakat Amerika Serikat (AS) meningkat secara drastis. Warga Afrika-Amerika yang selama dekade sebelum termarjinalisasi mendapatkan haknya untuk memilih dalam pemilihan umum.
Bahkan pendaftaran pemilih yang selama ini menjadi hambatan berarti untuk meningkatkan jumlah pemilih justru dipermudah. Bahkan, dalam kurun waktu ini diperkenalkan alternatif yang memudahkan masyarakat untuk memilih dengan tidak harus datang ke bilik suara seperti "motor-voter" law, unrestricted absentee voting, vote-bymail , dan same-day registration. Namun, fakta ini tidak bisa mendorong peningkatan partisipasi pemilih di AS (Macedo, dkk 2005:23).
Hal tersebut menggambarkan bahwa faktor-faktor yang selama ini dianggap sebagai penentu tingginya partisipasi pemilih tidak membawa dampak yang berarti bagi peningkatan partisipasi pemilih di AS. Fenomena serupa, juga bersemi di Indonesia.
Pascareformasi, tingkat non-partisipasi pemilihan umum (Pemilu) atau yang dikenal dengan golongan putih (golput) cukup tinggi. Misalnya, pada Pemilu 2004, tingkat golput mencapai 23,24% atau naik 300% dari angka golput pada pemilu 1999, sementara dalam pemilu 2009, golput meningkat menjadi sekitar 29% (Yanuarti 2009: 26-27).
Bahkan, kita pun masih menjadi saksi sejarah tingginya angka golput pada tahun 2014 lalu. Padahal, di masa-masa itu tingkat pendidikan, kebebasan, dan akses memilih relatif lebih baik.
Anehnya, alih-alih merangkul golput ini dan memetakan masalah-masalah yang bisa menghambat penggunaan hak pilih karena hal-hal administratif dan teknis, golput justru dimusuhi. Bahkan timbul desakan agar warga bangsa yang memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya itu untuk dipidana. Apakah bijak sikap seperti ini?
Fenomena golput ini menyiratkan adanya dua macam golongan. Pertama, yaitu golongan orang yang tidak mau menggunakan haknya karena berbagai alasan, entah itu ideologis ataupun pragmatis. Dan kedua, orang yang tidak mampu menggunakan haknya karena terhambat berbagai hal.
Untuk golongan kedua, soalnya agak lebih mudah untuk diatasi, paling tidak hal itu ditunjukkan dalam pemilihan presiden 2014 yang lalu. Masih segar dalam ingatan penulis betapa Komisi Pemilihan Umum (KPU) benar-benar memfasilitasi pemilih luar daerah yang ingin memilih agar tidak kehilangan hak pilihnya.
Hal ini adalah salah satu prestasi KPU pada periode lalu yang kurang diapresiasi. Terlepas dari itu, jenis golput semacam ini akan hilang apabila penyelenggara berani berbenah dan menggunakan pendekatan yang akomodatif serta tidak rigid dalam penyelesaian persoalan.
Namun, golput yang karena memang tidak mau menggunakan hak pilihnya adalah yang paling mengkhawatirkan. Golput ini menyiratkan betapa Pemilu tidak dianggap sebagai instrumen utama bagi legitimasi partai politik untuk mengendalikan pengambilan keputusan politik. Fenomena ini juga menunjukkan betapa masyarakat kurang tertarik pada partai politik sebagai representasi demokrasi perwakilan atau bahkan sikap apatis pemilih (Solijonov 2016: 9-13).
Jika kesimpulan ini dipakai sebagai pangkal bagi kita untuk mengurai masalah golput, maka ketidakpercayaan pemilih bukan jadi penyebab tunggal oleh penyelenggara pemilu saja.
Elite politik, entah mereka yang ikut kontestasi langsung dalam pemilihan, atau para elite yang berada di belakang layar juga memainkan peranan. Apakah mereka akan menumbuhkan kepercayaan kepada sistem demokrasi yang sedang dijalankan bangsa kita atau justru ambil bagian dalam memperparah ketidakpercayaan publik kepada demokrasi yang sedang berlangsung di Indonesia.
Untuk itu, sikap elite politik yang senang mendelegitimasi penyelenggara pemilu. Misalnya menuding pemerintah yang sedang memimpin berbuat curang, tidak adil, berpihak untuk membenarkan kekalahannya. Sikap ini adalah suatu tindakan yang hina.
Sikap elite semacam ini hanya akan semakin memberikan justifikasi bagi keengganan masyarakat untuk memilih. Dan seharusnya, elite-elite semacam inilah yang seharusnya dipidana karena telah mencederai proses Pemilu.
Setiap tuduhan tentang kecurangan Pemilu seharusnya tidak diadili dalam ruang gosip media sosial (medsos), namun harus diberikan jalur yuridis karena hal ini bukanlah perkara ringan. Dan, kita mengenal hal ini dimana sengketa Pemilu diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi (MK).
Elite politik harus bisa memelihara fatsun politik untuk memakai mekanisme hukum untuk membuktikan tuduhannya terkait Pemilu karena Pemilu bermasalah hanya akan mendelegitimasi kekuasaan yang mereka miliki.
Selain itu, sangat penting bagi para elite politik untuk menyuguhkan demokrasi yang menarik, dan betul-betul menggugah hati warga bangsa ini untuk meluangkan waktunya menggunakan hak pilihnya. Salah satunya, dengan mulai berfokus pada program dan berhenti mengkultuskan diri, mulai dari memakai silsilah nenek moyang sebagai sebuah keunggulan ataupun mempersamakan dandanan dengan tokoh-tokoh besar di masa lampau. Bahkan mempersamakan diri dengan tokoh-tokoh dalam kisah agama seperti Abu Bakar As-Shidiq ataupun Usman bin Affan, sekalipun memang belum ada yang cukup jujur untuk mempersamakan diri mereka dengan Yudas Iskariot.
Di AS, fenomena yang sama juga terjadi. Dalam debat wakil presiden AS, Dan Quayle yang mempersamakan dirinya dengan John F Kennedy (Jack Kennedy) berhadapan dengan Lloyd Bentsen. Lloyd Bentsen dengan mudah menepis klaim sepihak Dan Quayle itu dengan "
Senator, i served with Jack Kennedy, i knew Jack Kennedy. Jack Kennedy was a friend of mine. Senator, you are no Jack Kennedy." Apakah politisi kita harus dipermalukan di depan publik seperti itu? Sampai mereka harus sadar dengan kapasitas diri mereka sendiri?
Hal-hal semacam ini seharusnya dapat diatasi jika elite politik kita memiliki kepribadian yang matang. Elite-elite semacam ini akan mampu menjawab skeptisisme berdemokrasi dan meyakinkan masyarakat bahwa kebebasan dan demokrasi beserta segala manfaatnya bukanlah sesuatu yang taken for granted.
Kita butuh negarawan yang tidak akan mendelegitimasi demokrasi hanya demi memenangkan suara. Masalah ini terlalu besar jika hanya dibebankan kepada KPU semata. Untuk itu, para elite juga harus memanggulnya jika kita memang ingin serius menyikapi golput.
Demokrasi memang harus diperjuangkan, namun menghukum orang yang tidak mau menggunakan hak pilihnya karena tidak percaya dengan sistem politik yang ada sekarang ini, tentu bukanlah hal yang bijak. Langkah menghukum ini hanya semakin memupuk antipati mereka pada kekuasaan.
Tibanya pesta demokrasi adalah pertanda musim semi bagi golongan putih. Pertanyaannya, bagaimanakah demokrasi kali ini akan menjawab warga bangsa yang sudah telanjur apatis itu?•
Michael H. Hadylaya
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Litigasi, Jakarta
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News