| Editor: Tri Adi
Banyak analis dan pengamat ekonomi menyebutkan kinerja perekonomian Indonesia di pertengahan tahun 2017 ibarat anomali. Data agregat perekonomian menunjukan tren positif, meski angkanya masih stagnan 5,01%.
Di level data mikro, kinerja perusahaan masih bagus. Ambil contoh, kinerja Ramayana pertumbuhan labanya mencapai 45,3% di paruh pertama. Matahari Department Store juga mencatat pertumbuhan 15,5%. Begitu pula perusahaan makanan dan minuman seperti Indofood Sukses Makmur yang masih mencatatkan pertumbuhan laba 1,6% , lantas Unilever Indonesia 2,5% di periode yang sama.
Tapi, ironinya, kondisi di pasar modern atau tradisional malah sepi pembeli. Banyak pengusaha yang mengeluh, adanya penurunan penjualan selama bulan Ramadhan, Idul Fitri dan liburan sekolah. Yang seharusnya menjadi masa puncak transaksi penjualan. Pertanyaannya: ada apa dengan data itu? Apakah terjadi pelemahan daya beli?
Hanya melihat dari satu sudut pandang data, risiko terjebak pada analisis yang salah sangat dimungkinkan terjadi. Tapi coba kita lihat secara lebih komprehensif untuk menjawab: apa benar terjadinya pelemahan daya beli masyarakat saat ini?
Kita mulai dari update data inflasi yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Untuk bulan Agustus 2017, terjadi deflasi sebesar 0,07%. Sedangkan, tingkat inflasi tahun kalender bulan Januari-Agustus 2017 sebesar 2,53% dan tingkat inflasi tahun ke tahun (y-on-y) sebesar 3,82%.
Menurut BPS ini disebabkan penurunan harga beberapa komponen pengeluaran. Indeks kelompok pengeluaran yang mengalami penurunan adalah bahan makanan sebesar 0,67% dan transportasi, komunikasi serta jasa keuangan 0,60%.
Secara teori ekonomi, penurunan harga bisa disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya adalah penurunan permintaan. Jika faktor pendorongnya adalah penurunan permintaan, argumentasi ini bisa dimaklumi. Karena data laju konsumsi rumah tangga di triwulan II/2017 juga menunjukan tren penurunan.
Pada triwulan II/2017 laju pertumbuhan konsumsi hanya 1,32% (qoq) dan 4,95% (yoy), lebih rendah dari pertumbuhan agregat sebesar 4% (qoq) dan 5,01% (yoy). Dan dibanding pertumbuhan di tahun 2016 juga lebih rendah, pada triwulan II/2016, pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebesar 5,07 (yoy).
Percepatan penyerapan anggaran
Jika dirinci menurut jenis konsumsi, penurunan laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga terjadi pada kelompok makanan dan minuman selain restoran yang turun dari 5,26% menjadi 5,24%, kelompok perumahan dan perlengkapan rumah tangga justru anjlok signifikan dari 4,72% menjadi 4,12%.
Kelompok konsumsi yang juga anjlok adalah transportasi dan komunikasi yang turun dari 5,51% menjadi 5,32%. Juga kelompok kesehatan dan pendidikan yang terpangkas dari 5,49% menjadi 5,40%.
Hanya dua komponen konsumsi yang melonjak yaitu kelompok pakaian, alas kaki dan jasa perawatannya yang naik dari 3,35% menjadi 3,47%. Dan, kelompok restoran dan hotel yang tumbuh dari 5,48% menjadi 5,87%.
Penurunan ini jelas memberikan implikasi terhadap daya dukung sektor konsumsi rumah tangga terhadap perekonomian secara agregat. Kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap PDB menyusut dari 55,93% di triwulan II/2016 menjadi 55,61% di triwulan II/2017.
Dari data tersebut disimpulkan telah terjadi pelemahan daya beli rumah tangga satu semester terakhir. Walau tidak semua sektor mengalami pelemahan seperti pakaian, alas kaki, jasa perawatan, serta restoran dan hotel.
Kita tidak perlu khawatir karena pelemahan daya beli itu belum mengganggu kinerja perekonomian secara keseluruhan. Tapi kalau pemerintah terus membiarkan tanpa ada solusi yang konkrit dalam jangka pendek, efek pelemahan daya beli bisa jadi bom waktu.
Lalu, apa yang perlu dilakukan baik oleh pelaku usaha dan pemerintah untuk memperbaiki daya beli masyarakat?
Solusi bagi pelaku bisnis adalah efisiensi. Nah, ini adalah saat yang tepat bagi pelaku usaha merancang ulang desain tata kelola bisnis yang lebih efisien. Salah satunya dengan memanfaatkan perkembangan teknologi dan informasi serta merespon perubahan tren konsumsi masyarakat yang lebih getol belanja online.
Matahari dan Ramayana bisa menjadi contoh, di mana pertumbuhan laba masih tumbuh saat daya beli lemah. Ternyata, kedua peritel ini melakukan inovasi dan inovasi penjualan.
Bagi pemerintah, ada alternatif solusi untuk mendongkrak daya beli untuk jangka pendek. Pertama, mendorong percepatan penyerapan anggaran baik di pusat maupun di daerah. Sebab penyerapan anggaran yang lambat bisa berdampak negatif bagi daya beli masyarakat. Seharusnya, pemerintah menstimulusnya dengan agresif mendorong belanja pembangunan agar perputaran uang di masyarakat meningkat. Saat ini, rata-rata penyerapan belanja pembangunan baik nasional maupun daerah masih rendah. Malahan, di DKI Jakarta baru sekitar 30%.
Kedua, mendorong kebijakan bantuan langsung bersyarat melalui program pembangunan infrastruktur dasar yang melibatkan langsung masyarakat (cash for work). Ini cara yang efektif dalam jangka pendek mendorong peningkatan daya beli. Selain itu, pemerintah juga mendapatkan keuntungan dari percepatan pembangunan infrastruktur dasar seperti: jalan desa, irigasi, jaringan air bersih dan lainnya.
Ketiga, menunda penerbitan surat utang negara (SUN) dan menurunkan tingkat suku bunga pinjaman agar memberi ruang bagi perbankan melakukan ekspansi pembiayaan terutama untuk sektor riil.
Dampak penerbitan SUN telah menyebabkan penurunan dana pihak ketiga (DPK) di perbankan karena banyak diserap oleh SUN. Akibatnya, likuiditas di perbankan menjadi kering dan sulit melakukan ekspansi pembiayaan.
Selain itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus mendorong perbankan menurunkan tingkat suku bunga pinjaman agar bisa memberikan ruang ekspansi bagi dunia usaha. Apalagi, Bank Indonesia (BI) sudah menurunkan suku bunga acuan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News