kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45926,73   11,38   1.24%
  • EMAS1.310.000 -1,13%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menyikapi Jatuhnya Rupiah


Rabu, 08 April 2020 / 10:23 WIB
Menyikapi Jatuhnya Rupiah
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Jatuhnya mata uang rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) seiring dengan terus meluasnya penyebaran virus Korona (Covid-19) di Indonesia harus disikapi dengan serius. Berdasarkan data Bloomberg, sampai tulisan ini dibuat, rupiah melemah sebesar 19,39% (year to date). Dibanding mata uang regional, kinerja rupiah yang terburuk di Asia, di bawah Won Korea dan Baht Thailand. Pada perdagangan intra-day, rupiah sempat menyentuh angka Rp 16.635, mendekati rekor terendah sepanjang masa pada level Rp 16.650 per dolar AS yang terjadi pada tanggal 17 Juni 1998. Kita semua tidak menginginkan hal yang semakin buruk terjadi, namun skenario terburuk tetap harus diantisipasi.

Memori kelam masyarakat tahun 1998 belum sepenuhnya hilang. Krisis mata uang, berlanjut ke krisis ekonomi, krisis kepercayaan dan akhirnya krisis politik. Timbul suasana chaos yang diikuti dengan tumbangnya Orde Baru. Belum terdeteksi jelas apakah kondisi sekarang ini juga ditunggangi aksi spekulasi masif dari para hedge fund nasional dan internasional, seperti tesis yang sering dikemukakan untuk menganalisis penyebab jatuhnya rupiah pada saat itu. Apakah saat ini, para politisi lokal juga bermain di tengah goncangan di pasar keuangan kita?. Belum ada analisis signifikan yang mengarah ke sana. Semoga saja kekhawatiran itu hanya ilusi saja dan tidak menjadi bukti empirik.

Jika dicermati dengan jernih, sebenarnya situasi yang dialami rupiah juga terjadi pada sebagian besar mata uang negara lain di dunia. Hal ini bisa dilihat dari indeks dollar (dollar index) yang merupakan transaksi berjangka (futures) dolar AS terhadap mata uang lain di dunia. Dollar index sempat menyentuh angka tertinggi di 103.96, dan telah menguat sebesar 6,46% year to year (yoy). Hampir semua mata uang melemah terhadap dolar AS, bahkan poundsterling nilainya mencapai titik terendah dalam 35 tahun terakhir. Artinya yang terjadi saat ini adalah fenomena super dolar. Dolar AS dianggap sebagai aset paling aman dalam situasi ketidakpastian global, menggeser pamor emas, yang secara konvensional selama ini disebut safe haven asset. Beberapa waktu lalu memang harga emas melambung tinggi sampai mencapai rekor di level 1.704,3 dolar AS per troy ounce, namun kemudian terkoreksi dan sekarang berada di kisaran level 1.500-an dolar AS per troy ounce.

Varibel non-ekonomi

Sejauh ini belum banyak analisis yang mengatakan bahwa ekonomi Indonesia di ambang bahaya. Sebab, jika dicermati lebih dalam, kondisinya memang jauh berbeda. Fundamental ekonomi Indonesia saat ini jauh lebih kuat dibanding tahun 1997/1998. Pertumbuhan ekonomi steady dibanding negara anggota G-20 lainnya, menyebabkan beberapa negara rating internasional menyematkan predikat layak investasi (investment grade) kepada Indonesia. Dunia internasional masih percaya dengan pemerintah, bahwa segala sesuatunya masih under control.

Cadangan devisa kita sekarang sekitar tujuh kali lipat dibanding tahun 1998 dan hitungannya cukup untuk membiayai impor selama lebih dari 7 bulan, jauh di atas standar minimal dunia yang dipatok pada akisaran 3 bulan. Struktur utang luar negeri (ULN) juga relatif lebih terkelola. Ada keseimbangan antara secara proporsional antara ULN pemerintah dan swasta. Utang swasta juga sudah banyak yang dilakukan lindung nilai (hedging), sehingga dengan kenaikan dolar AS, eksposurnya tidak terlalu mengkhawatirkan.

Persoalan yang ada sekarang lebih karena variabel non-ekonomi, khususnya bagaimana upaya pemerintah dalam menangani wabah Covid-19 ini. Sejak kasus positif pasien nomor 1 dan 2 diumumkan Presiden Joko Wiodo (Jokowi), terlihat fluktuasi di pasar keuangan domestik luar biasa. Indikatornya bisa dilihat dari pergerakan nilai tukar, IHSG, harga obligasi dan credit default swap (CDS). Mungkin pelaku pasar sudah mengantisipasi sebelumnya, bahwa cepat atau lambat, Korona akan masuk ke Indonesia. Ketika belum ada kasus di negara kita, sudah ada analisis dari ilmuwan Harvard yang menyangsikan pernyataan pejabat pemerintah bahwa belum ditemukan kasus positif di Indonesia. Dirjen WHO Tedros Adhanom Gebreyesus secara tersirat juga mengamini analisis dari pakar Harvard.

Pelaku pasar adalah orang yang selalu bertindak rasional. Mata dan telinganya ibarat intelejen yang selalu berusaha merumuskan keadaan yang mungkin terjadi di masa mendatang. Bisa dikatakan mereka bergerak mendahului data. Dengan kata lain, sebelum diumumkan Presiden Jokowi, big fund yakin virus Korona sudah masuk ke Indonesia. Apalagi jika menengok eratnya hubungan ekonomi, perdagangan dan investasi antara Indonesia dengan China. Artinya, harga aset-aset keuangan sudah mereka hitung, priced in dengan situasi mendatang yang akan muncul. Pengumuman Presiden Jokowi hanyalah trigger untuk merealisasikan rencana yang sudah disimulasikan.

Respon pemerintah dalam penanganan Covid-19 menjadi kata kunci yang ditunggu investor dan pelaku pasar saat ini. Jika ditengok dari respon pasar valuta asing yang ada, sepertinya pelaku pasar belum cukup puas dengan langkah yang diambil dan dipersiapkan pemerintah. Kesannya pemerintah, mohon maaf, masih gagap menghadapi situasi sekarang ini. Pernyataan pejabat kesehatan yang dulu disampaikan yang seolah yakin bahwa Indonesia akan kebal dari masuknya virus Korona terekam dengan kuat. Sebenarnya pemerintah saat ini sudah mengerahkan segenap potensi yang ada, tapi dianggap belum cukup. Pasar menuntut lebih dari itu.

Tetapi, yakinlah bahwa pandemi ini akan ditemukan solusinya. Karena ini virus baru, obat patennya (first liner) belum ditemukan. Avigan dan Cloroquin yang diklaim Presiden Jokowi menjadi obat mujarab untuk mengatasi pasien yang terinfeksi, ternyata kemudian ditegaskan lagi bahwa itu obat lini kedua (second liner), karena sekarang proses penelitian dan uji klinis terus dilakukan. Dalam situasi seperti ini, menurut penulis, biasa terjadi kesalahan karena memang upaya yang dilakukan kadang bersifat trial and error, bahkan oleh negara maju seperti AS sekalipun.

Kuncinya sekarang adalah bagaimana kemampuan pemerintah untuk memobilisasi potensi dari seluruh anak bangsa, baik dari segi ekonomi, ide dan kesediaan untuk sementara tidak berada di zona nyaman akibat dari social distancing. Partisipasi masyarakat sudah mulai tumbuh, kesadaran sudah muncul meskipun belum sepenuhnya, disiplin dan kesediaan untuk berkorban juga mulai ada, meski belum sampai pada tingkat militan.

Penulis : Riwi Sumantyo

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret Surakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×