kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45981,69   -8,68   -0.88%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menyikapi kekalahan RI di WTO


Minggu, 06 Oktober 2019 / 09:05 WIB
Menyikapi kekalahan RI di WTO


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Dalam waktu dekat impor daging ayam dan sapi menyerbu Indonesia. Tidak banyak masyarakat yang tahu bahwa Indonesia kalah pada sidang Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) melawan Brasil pada Oktober 2017 yang lalu. Dalam rangka mematuhi rekomendasi WTO, pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 29 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan. Keran impor daging ayam dan sapi dari Brasil pun dibuka.

Kekalahan di WTO dan masuknya berbagai produk impor sebenarnya hal biasa. Indonesia juga sudah beberapa kali mengalaminya. Dari delapan kasus yang melibatkan Indonesia di sidang WTO, hanya satu yang dimenangkan. Hanya, saat ini menjadi tidak biasa karena hal tersebut terjadi bersamaan dengan beberapa peristiwa lain yang memberatkan neraca perdagangan. Setidaknya ada dua hal yang terjadi bersamaan dengan kekalahan di WTO.

Pertama, penurunan harga komoditas global yang menyebabkan nilai ekspor Indonesia turun secara signifikan. Sementara sampai saat ini komoditas merupakan produk andalan ekspor Indonesia. Hal ini menyebabkan keseimbangan perdagangan internasional berubah drastis dari surplus menjadi defisit dalam jumlah yang signifikan.

Kedua, perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China menyebabkan barang-barang dari China mencari alternatif pasar selain AS, termasuk Indonesia dan negara-negara lain yang menjadi pasarnya Indonesia. Akibatnya, pasar Indonesia diserbu produk impor dari China. Pasar barang-barang Indonesia di luar negeri juga bersaing lebih ketat dengan produk dari China.

Sebenarnya perang dagang bisa menjadi keuntungan bagi negara yang tidak terlibat. Keuntungan ini bisa diperoleh jika negara tersebut bisa mengambil alih pasar yang ditinggalkan oleh produk China di AS. Atau bisa juga dengan menjadi lokasi alternatif bagi industri yang keluar dari China karena tidak mau terimbas perang dagang. Sayangnya, dari semua informasi yang tersedia, Indonesia tidak bisa memanfaatkan satu pun dari dua celah tersebut. Alih-alih Indonesia malah lebih banyak terkena dampak negatifnya.

Selain dua kejadian tersebut di atas, Indonesia juga akan mengalami hambatan ekspor crude palm oil (CPO) ke Uni Eropa setelah mereka akan memutuskan untuk mengurangi penggunaan CPO dari berbagai negara termasuk Indonesia mulai tahun 2021. Tentu saja hal ini akan memperburuk neraca perdagangan dalam beberapa tahun ke depan mengingat CPO adalah salah satu produk andalan ekspor Indonesia.

Kejadian-kejadian tersebut terjadi secara bersamaan dan membuat neraca perdagangan Indonesia negatif secara berturut-turut selama lima kuartal. Hal ini merupakan pertama kalinya terjadi pasca reformasi. Ditambah dengan kebijakan CPO Uni Eropa yang mulai akan efektif tahun 2021, maka masa depan neraca perdagangan kita tambah suram.

Jadi, kekalahan Indonesia di WTO terjadi pada saat yang benar-benar tidak tepat.

Dari berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah melalui berbagai kementerian, belum terlihat ada kebijakan yang terintegrasi dalam menghadapi defisit neraca transaksi berjalan berkelanjutan yang disertai kekalahan WTO ini. Tanpa kebijakan terintegrasi yang difokuskan untuk menyeimbangkan perdagangan kembali, maka defisit tersebut bisa dipastikan akan terus berlanjut.

Bahkan, terlihat pemerintah lebih memperhatikan inflasi daripada defisit perdagangan. Mungkin karena inflasi berdampak langsung kepada masyarakat, sementara defisit perdagangan masih bisa ditutup utang luar negeri.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), dari bulan Oktober 2018 (saat pertama kali nilai tukar bergejolak) sampai Agustus 2019 utang luar negeri pemerintah dan otoritas moneter telah meningkat lebih dari US$ 17 miliar. Itu semua digunakan untuk meningkatkan ketahanan moneter untuk mengimbangi defisit neraca pembayaran. Menahan defisit dengan cara berutang seperti ini tentu ada batasnya dan berbiaya sangat mahal.

Masih ada kartu

Sebenarnya masih ada satu kartu yang belum dimainkan oleh pemerintah sampai saat ini, yaitu nilai tukar. Strategi yang paling mudah dan bisa berdampak signifikan adalah melepaskan nilai tukar rupiah sampai pada titik normal. Karena nilai tukar rupiah saat ini sebenarnya tidak normal.

Nilai tukar saat ini bermuara pada defisit perdagangan yang berkelanjutan. Berbagai usaha pemerintah untuk meningkatkan perdagangan hanya efektif dalam jangka waktu yang sangat pendek, satu sampai dua bulan. Setelah itu, neraca kembali pada posisi defisit. Ini artinya, normal balance (posisi normal) perdagangan dengan nilai tukar yang sekarang memang defisit.

Nilai tukar ini masih dipertahankan karena pemerintah masih berharap pasar komoditas membaik. Sementara kenyataannya tidak seperti itu. Berbagai outlook yang dipublikasikan oleh berbagai lembaga kredibel di dunia menyatakan bahwa belum ada tanda-tanda pasar komoditas akan mengalami rebound.

Ditambah dengan perlambatan ekonomi yang terjadi di banyak negara dan adanya fenomena inverted yield dalam beberapa bulan terakhir di AS yang menurut Pengamat Ekonomi Faisal Basri bisa menjadi tanda-tanda awal dari resesi global, maka mempertahankan kurs yang terlalu optimis bisa menambah beban daya saing Indonesia.

Inverted yield adalah bunga jangka pendek yang lebih tinggi daripada jangka panjang yang merupakan tanda-tanda bahwa para pelaku pasar tidak yakin dengan ekonomi dalam jangka panjang. Ketidakpercayaan pelaku pasar dalam jangka panjang adalah ancaman perlambatan ekonomi.

Dengan mengembalikan nilai tukar pada nilai yang normal, maka neraca perdagangan Indonesia akan cenderung kembali pada posisi seimbang, bahkan bisa kembali surplus dalam jangka panjang. Dengan demikian. pemerintah bisa fokus pada faktor dalam negeri untuk menghadapi perlambatan ekonomi global.

Ekonom di Indef masih meyakini bahwa Indonesia tidak akan terseret ancaman resesi global dengan syarat kita mampu mempertahankan konsumsi domestik. Hal ini akan lebih mudah dicapai jika pemerintah tak menghadapi tekanan defisit neraca dagang.

Strategi mendevaluasi mata uang telah dilakukan China sekitar dua bulan yang lalu ketika terdesak menghadapi perang dagang dengan AS. Hal tersebut dilakukan untuk mempertahankan daya saing ekspornya tetap kuat.

Tentu saja strategi Indonesia tidak bisa disamakan dengan strategi China. China mendevaluasi mata uangnya dalam kondisi negara tersebut surplus besar. Tujuan devaluasi China adalah untuk mempertahankan ekspornya selama perang dagang dengan AS.

Strategi China ini bisa mengganggu keseimbangan pasar global. Sedangkan Indonesia, jika mendevaluasi mata uangnya, tujuannya hanya untuk menyeimbangkan kembali neraca perdagangan yang saat ini defisit.

Abdurrahman Arum
Pendiri Global Currency Initiative

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×